"Apa yang kau lakukan?" tanya Lin Xiang panik.
"Menggendongmu," jawab Gu Changdi cuek sambil melangkah masuk ke dalam mansion.
"Turunkan aku!" Lin Xiang terus meronta meminta diturunkan, tetapi pria itu mengabaikannya. "Gu Changdi!"
Seringaian muncul di bibir Gu Changdi. "Hei, seharusnya kau memanggilku kakak. Aku lebih tua darimu."
"Bukannya lebih pantas dipanggil paman?"
Mata Gu Changdi melotot, membuat Lin Xiang refleks menundukkan kepala. Takut melihat sepasang mata elang yang menatap tajam padanya. Tanpa sadar dia berdecak dengan bibir mencebil lucu.
"Jangan mainkan bibirmu seperti itu atau nanti kumakan."
Lin Xiang menatap Gu Changdi horor, "Aku mau turun!" pekiknya kesal.
Mereka baru saja melewati kolam renang. Sikap Lin Xiang yang menurut Gu Changdi terlalu banyak bicara membuat dia jengah.
"Baiklah." Gu Changdi spontan melepas kedua tangannya. Gadis itu berteriak panik ketika merasakan tubuhnya seperti terjun bebas ke bawah. Ia refleks mengeratkan kedua tangannya yang mengalung di leher Gu Changdi.
Batin Gu Changdi tertawa penuh kemenangan melihat Lin Xiang begitu panik saat mengira akan terjatuh ke tanah. Padahal dia hanya mengerjai Lin Xiang saja.
"Masih mau turun? Aku bisa menurunkanmu di sana."
Lin Xiang melirik arah yang ditunjuk Gu Changdi. Ia menatap Gu Changdi dengan penuh rasa kesal. "Kau pria paling menyebalkan yang pernah aku temui."
"Terima kasih. Kuanggap itu pujian."
Dan juga pria gila!—batin Lin Xiang semakin frustasi. Sepertinya tidak akan mudah menghadapi sikap Gu Changdi yang selalu membuatnya pusing 7 keliling.
***
Malam ini, ada pemandangan yang berbeda di ruang makan mansion keluarga Gu. Apalagi jika bukan karena keberadaan Lin Xiang yang ikut bergabung untuk menikmati makan malam.
Gu Jinglei dan Su Rongyuan saling memandang. Mereka sedikit bingung melihat ekspresi Lin Xiang dengan mata tak berkedip yang terus menatap meja makan. Berbagai hidangan lezat menggugah selera sudah tertata rapi di atasnya.
"Kau bisa makan sepuasmu."
"Sungguh?!" Lin Xiang secara spontan berseru gembira ketika mendengar ucapan Gu Changdi. Detik selanjutnya dia menundukkan kepala, sadar telah bersikap tidak sopan di depan ibu dan kakek Gu Changdi.
Lin Xiang bisa mengatasi Su Rongyuan, tetapi tidak dengan Gu Jinglei. Sejak dia diseret Gu Changdi ke ruang makan, Gu Jinglei terus memandanginya dengan tatapan sedikit mengintimidasi.
"Tentu saja." Gu Changdi menjawab santai. "Kau bebas memilih makanan yang kau sukai. Nikmatilah sepuasnya."
Lin Xiang melirik takut ke arah Gu Jinglei. Kakek Gu Changdi itu tidak bereaksi apapun, selain memilih menikmati sendiri makan malamnya. Lin Xiang lalu beralih ke arah Su Rongyuan. Sesuai perkiraan, wanita itu menganggukkan kepala.
Senyum mengembang di bibir, diiringi dengan gerakan tangan yang menangkup di depan dada. "Selamat makan!"
Teriakan nyaring Lin Xiang membuat ketiga orang lainnya terkesiap. Mereka menghentikan sejenak aktivitas menikmati makan malam, memilih fokus mengamati Lin Xiang yang tampak lahap menyantap hampir semua hidangan yang tersaji di atas meja.
Gu Jinglei terdiam. Ada perasaan hangat yang masuk ke relung hatinya. Ekspresi bahagia Lin Xiang mengingatkannya pada ekspresi wajah Gu Changdi semasa kecil, ketika putra kesayangannya—Gu Jiangzen—masih bersama mereka.
"Kenapa kau tidak memakan udangnya?" tanya Su Rongyuan terheran saat melihat Lin Xiang menyingkirkan udang di piring makan.
"Aku—"
"Dia alergi udang, Bu," jawab Gu Changdi lebih cepat.
Lin Xiang memandangi Gu Changdi dengan mata berkedip-kedip. Ia kaget mendengar jawaban Gu Changdi. 'Dia bahkan tahu kalau aku alergi udang,' batin Lin Xiang.
"Benarkah? Kalau begitu, lain kali aku akan menyuruh pelayan untuk menyiapkan makanan yang tidak mengandung udang. Calon menantuku tidak boleh jatuh sakit hanya karena keteledoran mereka," ucap Su Rongyuan dengan lantang mengklaim Lin Xiang sebagai calon menantunya.
Lin Xiang menatap horor. Astaga, ibu dan anak sama saja.
"Gu Changdi." Gu Jinglei menyela pembicaraan ketiga orang di depannya. Semuanya langsung terdiam kala mendapati wajah serius pria berusia 70 tahun itu. "Selesai makan malam, kita ke ruang kerja. Kakek ingin bicara denganmu."
Gu Changdi tersenyum tipis. "Kakek tadi bertanya soal Lin Xiang bukan? Baik, aku akan mengenalkannya pada Kakek sekarang."
Lin Xiang memekik kaget ketika Gu Changdi secara tiba-tiba menarik bahunya.
"Dia adalah calon istriku, Kakek. Aku akan segera menikahinya dalam waktu dekat," ucap Gu Changdi lancar tanpa jeda. Mengabaikan ekspresi wajah Lin Xiang yang begitu spektakuler dengan mulut menganga lebar.
Reaksi serupa juga terlihat di wajah Gu Jinglei. Rahang pria itu mengeras, kesal atas jawaban cucunya yang terkesan frontal. Mungkin hanya Su Rongyuan yang memberikan reaksi berbeda. Mendukung keputusan putra semata wayangnya.
"Maaf, aku tidak bisa berbicara dengan Kakek setelah ini. Aku ingin fokus merawat Lin Xiang. Mungkin lain waktu saja kita berbicara," Gu Changdi sudah berdiri dari kursi. Lin Xiang terkesiap ketika pria itu ikut menariknya agar ikut berdiri. "Selamat malam."
Tanpa memberi kesempatan pada Lin Xiang untuk mengucap salam, Gu Changdi sudah menariknya pergi meninggalkan ruang makan. Melewatkan makanan penutup yang baru saja datang.
Su Rongyuan tersenyum melihat sikap Gu Changdi. Ia teringat pada sikap Gu Jiangzen dulu ketika mengenalkannya pada Gu Jinglei. Sama persis seperti yang dilakukan Gu Changdi barusan.
"Bagaimana bisa dia mewarisi sifat Jiangzen?" gerutu Gu Jinglei kesal.
Tawa Su Rongyuan berderai, membuat kekesalan Gu Jinglei memuncak.
"Aku tidak peduli. Pokoknya aku akan tetap mencari informasi tentang gadis itu. Titik."
Setelah berkata demikian, Gu Jinglei segera pergi ke kamar. Meninggalkan Su Rongyuan yang masih tergelak puas sambil menikmati makanan penutup seorang diri.
Su Rongyuan menyandarkan punggungnya sejenak, mendongakkan kepala lalu mengamati langit-langit mansion yang dihiasi ornamen mewah. Bibirnya melengkung sempurna, bersamaan mata doenya yang berbinar terang.
"Sepertinya suasana di mansion akan kembali hangat seperti dulu."
***
Lin Xiang duduk di tepian ranjang dengan kedua tangan tertaut di depan dada.
Setelah membawanya kembali ke kamar, Gu Changdi justru pergi mandi. Sampai detik ini Lin Xiang masih bisa mendengarkan suara gemericik dari dalam kamar mandi.
Lin Xiang merasa gugup menunggu Gu Changdi. Nyaris saja melupakan beragam kalimat protes yang siap dia layangkan untuk pria itu.
CKLEK!
Pintu kamar mandi terbuka. Refleks Lin Xiang menoleh, tapi setelahnya menyesal karena sudah melihat penampilan Gu Changdi yang baru saja selesai mandi.
Pria itu mengenakan pakaian santai. Kaos warna hitam melekat sempurna di tubuhnya yang kekar, sama halnya dengan celana panjang berbahan katun yang dia kenakan.
Butir-butir air masih menetes dari rambut Gu Changdi yang basah usai keramas. Menambah kesan seksi nan menggoda untuk penampilan pria itu.
Lin Xiang mengibaskan kedua tangannya di depan wajah. Tiba-tiba saja dia merasa kepanasan. Jantungnya semakin berdetak tak terkendali ketika Gu Changdi melangkah di depannya.
Hampir saja Lin Xiang kehilangan kendali diri, kalau tidak teringat dengan kejadian di ruang makan sebelumnya. Segera saja, Lin Xiang memasang wajah galak sambil berkacak pinggang.
Ia ingin memperlihatkan bahwa dirinya kesal atas ucapan Gu Changdi, yang bersi keras mengaku sebagai calon suaminya.
"Kau ini benar-benar sudah gila, ya?" Lin Xiang mengusap wajahnya kasar. "Kenapa bersikap tidak sopan sekali pada kakekmu?"
Gu Changdi tidak menanggapi ucapan Lin Xiang. Ia justru berjalan mendekati nakas di samping ranjang, mengambil sebuah paperbag di atasnya. Sambil sesekali mengusap kepalanya dengan handuk.
"Aku sedang bicara denganmu, Tuan Gu!" Lin Xiang semakin emosi karena diabaikan, tetapi detik selanjutnya langsung bungkam ketika mata elang Gu Changdi menatap tajam padanya.
Lin Xiang berdecih dalam hati. Kesal karena Gu Changdi kerap membungkam aksi protesnya hanya dengan tatapan mata yang begitu tajam.
Lama terdiam, mendadak Lin Xiang teringat jika sedari tadi dia tidak melihat ponselnya di kamar pria itu.
"Di mana ponselku?" Lin Xiang memandangi sekeliling. "Apa kau yang mengambilnya?"
Gu Changdi hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Berikan ponselku!"
"Sudah kubuang."
"APA?!"
TO BE CONTINUED