CKLEK!
Lin Xiang baru saja menutup pintu rumah. Ia berjalan pelan agar tidak membangunkan paman dan bibinya. Lin Xiang bergegas masuk ke dalam kamar. Namun, pintu kamar yang dia lewati terlanjur dibuka pemiliknya. Refleks Lin Xiang mencengkeram kuat tas dan jas yang menutupi tubuhnya.
"Jadi benar kau menjual diri di kelab malam itu?"
Hati Lin Xiang tersayat mendengar kata-kata tajam yang terlontar dari Mu Tiansu. Sampai detik ini, Lin Xiang benar-benar tidak mengerti, kenapa sikap adik ibunya itu berubah 180 derajat. Padahal sewaktu orang tuanya masih hidup, paman dan bibinya sangat baik kepadanya.
"Berikan uangnya! Kau pasti mendapatkan banyak uang setelah berhasil melayani para pria hidung belang di luar sana!" desak Mu Tiansu.
"Tidak, Bibi. Aku bekerja sebagai pelayan, bukan pelacur ...," cicit Lin Xiang di akhir kalimat.
"Cih, kau pikir aku percaya dengan ucapanmu. Lihat saja penampilanmu sekarang. Kau sama saja seperti ibumu. Seorang pelacur!"
"Ibuku bukan seorang pelacur!"
PLAK!
Lin Xiang merasakan pipinya memanas. Ia juga merasakan sesuatu yang anyir, ah ... sudut bibirnya terluka hingga mengeluarkan darah.
"Beraninya kau berteriak padaku!" amuk Mu Tiansu. Ia masuk kamar kemudian keluar sambil membawa rotan. Tanpa ragu dia langsung memukulkan benda itu di betis dan punggung hingga pertahanan Lin Xiang roboh. Gadis itu meringkuk di lantai untuk melindungi dirinya sendiri, berusaha keras menahan rasa sakit untuk kesekian kali karena dipukuli Mu Tiansu.
"Hah, kau benar-benar merusak moodku!" Mu Tiansu melempar rotan itu asal, lalu masuk kembali ke kamar.
Dengan napas terengah-engah dan rasa sakit yang menyiksa, Lin Xiang mencoba bangkit. Ia berjalan tertatih masuk ke kamarnya yang ada di samping kamar Dong Liwen dan Mu Tiansu.
Sebuah kamar yang berukuran sempit menjadi satu-satunya tempat yang paling nyaman di rumah ini. Lin Xiang duduk pada kasur lipat yang hanya beralaskan tikar dan tidak mampu mengalahkan dinginnya lantai. Air mata yang sedari tadi ditahan perlahan turun secara dramatis.
"Ibu ...."
Lin Xiang selalu mencoba terlihat kuat di hadapan semua orang. Walau pada akhirnya runtuh setiap kali paman dan bibinya mengungkit masa lalu orang tuanya.
"Berjanjilah kau tidak boleh menangis lagi ...."
Isakan tangis Lin Xiang perlahan terhenti. Di saat Lin Xiang menangis karena teringat mendiang orang tuanya, dia teringat lagi pada pesan sosok pemuda yang dijumpainya di area pemakaman 11 tahun silam. Kata-kata itu terus terngiang dalam benaknya. Seperti obat penghilang kesedihan setiap kali Lin Xiang menangis.
Lin Xiang buru-buru menghapus air matanya yang membasahi pipi, kemudian mengganti pakaiannya. Sebelum tidur, ia mengobati luka akibat pukulan yang diberikan Mu Tiansu. Ia meringis pelan ketika punggungnya yang penuh memar menyentuh kasur lipat.
Lin Xiang menatap langit-langit kamar, lalu tersenyum tipis.
"Kau bisa melewatinya, Lin Xiang. Semangat!"
Lin Xiang mulai memejamkan matanya. Pergi ke alam mimpi yang selalu memberikan kebahagiaan daripada kehidupannya di dunia nyata.
***
Suara kicauan burung membangunkan tidur Gu Changdi. Ia menggeliat dari posisi tidurnya yang sedikit tidak nyaman di dalam mobil. Perhatian Gu Changdi seketika teralih kala mendengar suara berderit dari pagar rumah. Matanya membelalak lebar ketika melihat Lin Xiang sudah bersiap menaiki sepeda.
"Hei, cepat bangun!" teriaknya membangunkan sopir pribadinya yang masih tertidur. Pria itu terkesiap kaget dengan wajah yang masih tampak linglung.
"Jalankan mobil dan ikuti gadis itu!" Gu Changdi mendesah kesal karena reaksi lambat sopir pribadinya. "CEPAT!"
"Ba-baik, Tuan!" Teriakan Gu Changdi sukses mengembalikan kesadaran pria itu yang segera menyalakan mesin mobil, lalu menjalankannya mengikuti Lin Xiang yang sudah berada cukup jauh di depan sana.
Mobil yang mereka naiki akhirnya berhenti di sebuah area pertokoan kecil. Gu Changdi melihat Lin Xiang keluar dari salah satu toko sambil membawa setumpuk koran dan satu kantong susu.
"Apalagi yang dia lakukan sekarang," gumamnya bingung. Ia melihat Lin Xiang sudah menaiki sepeda dan mengayuhnya meninggalkan lokasi.
"Jalan!" titah Gu Changdi yang segera diangguki sopir pribadinya.
Di sisi lain, Lin Xiang yang tidak sadar jika sedang diikuti tetap melanjutkan pekerjaannya. Berpindah dari satu rumah ke rumah yang lainnya untuk mengantarkan koran dan susu. Sesekali ia mengusapkan kedua tangannya saat merasakan hawa dingin yang menelusup tubuh.
"Uhuk!" Lin Xiang terbatuk. Napasnya terengah-engah dan dia merasakan sakit di bagian perut. Salahkan Lin Xiang yang semalam hanya makan sedikit, ditambah bekas pukulan dari Mu Tiansu yang membuat tubuhnya kesakitan.
Ketika Lin Xiang hendak melanjutkan pekerjaannya, ia merasakan kepalanya berdenyut hebat. Matanya mulai berkunang-kunang hingga memaksanya duduk sejenak di depan rumah orang.
Tes!
Lin Xiang terkejut saat mengetahui sesuatu yang mengalir keluar dari hidungnya. Darah.
Refleks Lin Xiang mendongak -tidak sadar kalau itu adalah cara yang salah-, kemudian buru-buru mengambil sesuatu dari saku celana untuk menghentikan darah yang terus mengalir keluar dari hidungnya.
Sret!
"Kau seharusnya menunduk saat mimisan!"
Mata Lin Xiang membelalak lebar, terkejut karena untuk kedua kali Gu Changdi datang menolong. Pria itu mengeluarkan saputangan yang segera digunakan untuk mengusap hidung Lin Xiang.
"Apa yang kau—"
"Diamlah!" Gu Changdi sedikit membentak Lin Xiang. Ia kesal bukan main dengan sikap gadis itu yang memforsir tenaganya hingga tampak menyedihkan seperti ini.
Lin Xiang tidak bertanya lagi. Rasa sakit di kepalanya kembali menyerang. Gadis itu mengerang kesakitan, bersamaan napasnya yang semakin tidak beraturan. Keringat dingin mulai membanjiri pelipisnya hingga kesadaran gadis itu berkurang.
Satu-satunya yang didengar Lin Xiang sebelum matanya terpejam adalah teriakan Gu Changdi yang terus memanggil namanya.
***
Su Rongyuan sedikit berlari menuju kamar Gu Changdi. Semula dia sedang menikmati pemandangan di kebun bunga yang berada di belakang mansion. Namun, ia dikejutkan dengan kabar kepulangan Gu Changdi bersama seorang gadis.
Terlalu terburu-buru, Su Rongyuan sampai tidak sadar baru saja membuka pintu kamar Gu Changdi secara kasar. Dua orang pelayan yang ada di ruangan itu menoleh kaget, tidak dengan Gu Changdi yang terus fokus pada sosok gadis yang kini terbaring di ranjang.
"Gu Changdi, kau sudah pulang?" Su Rongyuan sedikit berbasa-basi, lalu mendekati ranjang agar bisa melihat dengan jelas sosok gadis yang dibawa pulang putranya. Ia tertegun kala mendapati wajah pucat di balik kecantikan yang dimiliki gadis itu.
"Siapa gadis itu?"
Gu Changdi tidak menoleh sedikit pun ke arah Su Rongyuan. "Dia gadis yang sering kuceritakan padamu, Ibu ...."
"Benarkah?" Su Rongyuan segera duduk di sisi ranjang lain. Ia amati dari dekat bagaimana sosok ayu itu yang kini terbaring lemah tak berdaya. "Apa yang terjadi padanya?"
"Dia pingsan. Aku rasa kelelahan." Gu Changdi beralih memandangi Su Rongyuan, "Maukah Ibu membantuku mengganti pakaiannya?"
Su Rongyuan mengangguk, "Tentu," ia pun mulai mengganti pakaian Lin Xiang. Dengan dibantu dua pelayan yang sudah dipanggil oleh Gu Changdi.
"Ya Tuhan!" pekikan kaget Su Rongyuan membuat Gu Changdi yang semula sudah sampai di pintu kembali masuk. Ia melangkah tergesa dan memilih menerobos dua pelayan yang berjejer di sekeliling ranjang.
"Ada apa—" kalimat Gu Changdi terhenti saat matanya melihat sebuah pemandangan yang tersaji di depan mata.
Su Rongyuan buru-buru memakaikan selimut untuk menutupi tubuh Lin Xiang, tetapi Gu Changdi secara paksa menariknya.
"Gu Changdi!" Su Rongyuan membentak putranya karena bersikap tidak sopan. Namun, dia terdiam kala melihat ekspresi terluka di wajah Gu Changdi.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" Gu Changdi merasakan sakit yang menyiksa kala mendapati tubuh Lin Xiang penuh luka. Ada banyak warna biru keunguan di bagian punggung. Sisanya warna merah di bagian betis, seperti luka baru.
Mata Gu Changdi melotot tajam ketika dia menyadari sudut bibir Lin Xiang juga terluka. Tangannya mengepal kuat. Ia pun berbalik keluar dari kamar dengan ponsel yang dipasang di telinganya.
Su Rongyuan menatap kepergian Gu Changdi, lalu beralih memandangi Lin Xiang. Cairan bening tanpa sadar menetes dari mata doenya. Ia mengusap lembut wajah Lin Xiang, hingga merasakan suhu tubuh gadis itu yang begitu panas.
"Kasihan sekali." Su Rongyuan memperhatikan luka-luka di sekujur tubuh Lin Xiang. "Gadis secantik dirimu seharusnya tidak memiliki luka seperti ini."
Dua pelayan di kamar itu turut menatap iba kepada Lin Xiang. Siapa yang menduga, gadis yang sangat cantik seperti bidadari, ternyata menyimpan luka yang begitu menyedihkan.
TO BE CONTINUED