Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Love Rubik

🇮🇩Nhayya_18
--
chs / week
--
NOT RATINGS
19.8k
Views
Synopsis
"Tau gak sih, rubik yang udah lo rusak itu harganya berapa?" "Gak tahu. Emangnya berapa, Kak?" tanya Rhea dengan wajah polosnya. "20 milyar." Rhea melongo. "Hah?! Yang bener aja! Kok rubik bisa semahal itu, sih?!" _ _ _ Keana Rhea Adisti, cewek yang punya suara nyaring itu harus mendapat kesialan di hari pertamanya sebagai murid SMA. Ia merusak rubik mahal milik Ketua OSIS yang adalah putra sulung dari aktor paling terkenal se-Indonesia. Tentunya, Bramasta Neandro Abrisam, Ketua OSIS yang tampan itu meminta ganti rugi atas rubiknya yang rusak. Rhea yang bukan berasal dari keluarga kaya raya jelas tidak punya uang sebanyak 20 milyar. Karena itu, ia harus ganti rugi dengan cara lain. Kira-kira, ganti rugi apa yang harus dilakukan Rhea?
VIEW MORE

Chapter 1 - 1 - Rubik yang Rusak

Seorang cowok duduk di tepi rooftop sekolahnya. Kedua kakinya ia biarkan menjuntai ke bawah. Sementara tangannya sibuk dengan sebuah sebuah benda berbentuk kubus yang ia putar-putar.

Beberapa detik kemudian, cowok itu tersenyum tipis sambil memperhatikan rubik yang telah ia susun dengan baik. Semua warna telah berada di tempatnya masing-masing. Ia kemudian mengangkat rubiknya ke arah langit. Membiarkan cahaya matahari mengenai rubiknya dan memantulkan cahaya indah.

Ceklek!

Suara pintu yang dibuka masuk ke telinga cowok itu. Ia menoleh ke belakang dan mendapati seorang cewek yang baru saja naik ke rooftop tanpa menyadari kehadirannya.

Tak terlalu tertarik pada cewek itu, pemuda ber-name tag Bramasta Neandro Abrisam itu kembali memusatkan perhatiannya pada rubik yang ada di genggamannya. Tiba-tiba—

"SEMANGAT!"

Teriakan nyaring yang mendadak dan memekakkan telinga itu membuat Bram tersentak kaget hingga rubik yang tadi berada dalam genggamannya terjun bebas menuju ke lantai dasar sekolahnya.

"Ah! Sial!" desis Bram sambil melihat ke bawah. Ia kemudian berbalik menatap cewek yang baru saja berteriak itu dengan tatapan penuh kekesalan.

"Waduh, ternyata udah jam segini. PLS nya udah mau mulai. Gawat nih," gumam cewek itu lalu dengan terburu-buru pergi dari area rooftop.

"Hah. Anak baru rupanya," gumam Bram dengan tatapan tajamnya ke arah kepergian gadis tadi.

👿😇👿

Keana Rhea Adisti berlari menyusuri koridor sekolah yang panjang. Sesekali ia menatap jam tangannya dengan gelisah. Bagaimana tidak gelisah? Ini adalah hari pertamanya masuk SMA, dan jika ia terlambat mengikuti kegiatan PLS atau Pengenalan Lingkungan Sekolah, ia yakin akan disemprot oleh para senior.

Sialnya, setelah turun dari rooftop, ia tiba-tiba ingin buang air kecil sehingga mengharuskannya untuk singgah ke toilet terlebih dahulu.

Tepat apa yang Rhea perkirakan. Ia terlambat. Benar-benar terlambat. Tiba dengan napas ngos-ngosan dan keringat yang membanjiri wajahnya, ia menjadi pusat perhatian semua orang saat itu. Teman-temannya menatap dengan tatapan prihatin, sementara para senior menatapnya dengan tatapan dingin.

"Kenapa baru datang?!" gertak senior cewek dengan name tag Flora.

Rhea menunduk. "Maaf, Kak. Tadi abis ke toilet," jawab Rhea dengan pelan.

"Toilet? Hah! Jangan bohong deh!"

Suara menggelegar itu membuat seisi ruangan tersentak. Langkah kaki yang lebar menuju ke arah Rhea dengan cepat. Rhea hanya bisa diam membeku dengan keringat dinginnya.

"Jawab yang jujur. Kenapa telat?" pertanyaan itu keluar dari bibir Bram, si Ketua OSIS dengan nada rendah yang membuat siapa saja yang mendengarnya merinding.

"..."

Tak ada jawaban yang keluar dari Rhea karena terlalu gugup, membuat Bram memajukan wajahnya mendekat ke arah Rhea. Spontan saja, Rhea menahan napas kala wajah dengan pahatan nyaris sempurna itu berada hanya beberapa sentimeter dari wajahnya. Tanpa sadar, para kaum hawa yang melihat itu juga ikut menahan napas dan menjerit tertahan.

"Kenapa gak jawab?" suara bariton Bram semakin terdengar berat dengan nada yang begitu rendah itu. Keringat dingin semakin deras keluar dari kening Rhea.

"Be—bener kok, Kak. Tadi saya ke toilet sebentar," ucap Rhea pelan.

"Selain toilet?" tanya Bram lagi.

"A—apa?"

"Gue tanya, lo kemana aja selain ke toilet tadi!" teriak Bram.

Rhea memejamkan matanya. Teriakan Bram yang tepat di samping telinganya benar-benar membuatnya takut.

"A—anu, Kak. Ta—tadi ... tadi, saya ke rooftop juga sebentar," cicit Rhea dengan masih menunduk. Terlalu takut untuk menatap mata tajam Bram.

"Ngapain ke rooftop?" tuntut Bram.

"Cuma mau cari udara segar, Kak."

"Oh, gitu?"

Bram menegakkan badannya kembali dan memerhatikan Rhea dengan lekat. Ia kemudian merogoh saku jas almamater OSIS-nya dan mengeluarkan sebuah rubik mini. Ia lalu melemparkan rubik itu pada Rhea. Untung saja, Rhea dapat menangkapnya dengan sigap.

"Selesaikan rubik itu dalam waktu satu menit, dan lo akan terbebas dari hukuman," ucap Bram sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya.

Kedua mata Rhea melebar menatap Bram. "Satu menit, Kak?"

"Oke, waktunya dimulai dari sekarang." Menghiraukan keterkejutan cewek yang ada di hadapannya, Bram mulai menghitung waktu yang berjalan.

Buru-buru, Rhea mengutak-atik rubik itu. Memutar sisi yang satu, lalu sisi yang lainnya juga. Ia yang sebelumnya tak pernah memainkan rubik tentu saja meraasa kewalahan.

"Waktu habis."

Bram segera menarik rubik yang ada di tangan Rhea dengan cepat.

"Lo gagal. Persiapkan diri lo. Selesai PLS, jangan langsung pulang. Lo harus berurusan dengan gue dulu. Sekarang, cepet duduk di barisan kelas lo," perintah Bram.

Hah.

Rhea menghembuskan napas berat. Ia berjalan pelan sambil menunduk menuju barisan teman-temannya.

"Jangan jalan kayak kukang! Cepet! Waktu banyak yang terbuang gara-gara lo, tahu!" teriak Bram.

"I—iya, Kak. Maaf!" Rhea mempercepat intensitas langkahnya dan segera duduk di samping sahabatnya.

"Apes banget lo, Re. Baru hari pertama juga," bisik Dea, sahabatnya.

"Gak tahu juga, nih. Hari gue dimulai dengan ketidakberuntungan," ringis Rhea.

"Padahal sebelum lo dateng, si Ketos baik-baik aja, lho. Eh, pas lo dateng malah langsung murka gitu.  Kayaknya dia punya dendam sama lo deh," bisik Dea lagi.

"Hah? Dendam apa coba? Kan baru ketemu tadi?" heran Rhea.

"Hei! Jangan ngobrol!"

Teriakan dari seorang kakak kelas itu membuat Rhea dan Dea segera menegakkan duduknya dan menutup mulut rapat-rapat.

😈😇😈

"Lo tahu, ini apa?"

"Rubik, Kak," jawab Rhea spontan. Kegiatan PLS telah berakhir beberapa menit yang lalu, dan kini tinggallah ia dan Bram di ruangan itu.

"Maksud gue, lo tahu ini rubik apa?" tanya Bram lagi.

Rhea memperhatikan rubik yang diperlihatkan Bram. Rubik itu terlihat unik dan cantik. Berbeda dengan rubik lain yang pernah ia lihat. Sayangnya, beberapa bagian ujung dari rubik itu terlihat pecah.

"Mmm ... gak tahu, Kak. Rubik antik, kah?" tebak Rhea.

"Asal lo tahu, ini rubik termahal di dunia!" seru Bram.

"Wah, iya?"

"Dan lo!" Bram menaikkan telunjuknya tepat di depan wajah Rhea, membuat Rhea terkejut.

"Udah buat rubik kesayangan gue ini rusak!" lanjut Bram.

Sontak saja, Rhea memasang wajah bingung. "Eh? Kok saya sih, Kak?" herannya sambil menunjuk dirinya sendiri.

"Iya, ini gara-gara lo yang teriak-teriak di rooftop tadi dan ngebuat gue kaget sampai rubik yang gue pegang jatoh," jelas Bram.

Rhea mengerjapkan kedua matanya dengan cepat. Otaknya kemudian memutar kejadian pagi tadi yang ia lakukan. 'Aaah ... Jadi si Ketos ini juga ada di rooftop tadi pagi?' batin Rhea.

"Salah sendiri, kenapa juga harus duduk di tepi rooftop?" gumam Rhea pelan, yang masih dapat didengar oleh Rian.

"Apa lo bilang?!"

Rhea segera menggeleng-geleng dengan cepat. "E—enggak, Kak."

"Tau gak sih, rubik yang udah lo rusak ini harganya berapa?" tanya Bram.

"Gak tahu. Emangnya berapa, Kak?" tanya Rhea dengan wajah polosnya.

"20 milyar."

Rhea terdiam. Tunggu, ia pasti salah dengar tadi. Mana mungkin ada rubik yang harganya semahal itu.

"Berapa, Kak?" tanya Rhea, ingin memastikan pendengarannya.

"Lo budek, ya? Gue kan udah bilang tadi, 20 milyar!" sewot Bram.

"Ma—masa rubik semahal itu, sih?!" tanya Rhea, tak percaya.

"Ya mahal, lah! Ini tuh bukan rubik biasa!  Ini Masterpiece Rubik's Cube! Bahan pembuatan rubik ini gak kayak rubik lainnya. Bahan yang digunaiin untuk ngebuat rubik ini emas. Selain itu, rubik ini juga dilengkapi permata di setiap sisinya. Ada amethys 22,5 karat, emerald 34 karat, dan batu rubi 34 karat juga. Sedangkan emas yang ngebungkus base rubik ini 18 karat!" jelas Bram dengan emosi sambil menunjukkan rubiknya tepat di depan kedua mata Rhea.

Rhea hanya bisa menganga tak percaya mendengar penjelasan Bram. Rubik itu memang terlihat sangat mewah, tapi ia tak menyangka akan semahal itu. Pikirnya, kenapa ada orang yang membuat rubik semahal itu, sih? Dan yang lebih gilanya lagi, kenapa ada orang yang mau membelinya? Benar-benar menyia-nyiakan uang.

"Sekarang lo ngerti, 'kan? Karena lo udah ngerusakin rubik mahal gue ini, lo harus ganti rugi," kata Bram mantap.

"Ta—tapi Kak ... 20 milyar ... saya gak punya uang sebanyak itu," cicit Rhea.

"Terus gimana? Lo mau pergi gitu aja?" tanya Bram dengan menaikkan sebelah alisnya.

"Itu—" Rhea tak melanjutkan perkataannya. Ia hanya menunduk. Rhea yakin, selama apapun ia hidup, ia tak akan pernah bisa mendapat uang sebanyak itu.

Bram memasukkan tangannya ke dalam saku celana. "Oke. Karena lo gak mampu bayar pakai uang, lo harus ganti rugi dengan cara lain," putusnya.

Rhea mendongak menatap Bram. "Cara lain?" Rhea berpikir sejenak, lalu membelalak dan kemudian menyilangkan kedua tangannya di depan dada dengan cepat.

Bram mengerutkan keningnya. "Ngapain lo?"

"Kakak mau nyuruh saya ganti rugi ... pake tubuh saya, 'kan?" tebak Rhea takut-takut, masih dengan menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

Bram menatap gadis yang ada di hadapannya dengan tatapan tak percaya. "Gue bukan cowok yang kayak gitu, ya!" marahnya.

"Kalau gitu, Kakak mau saya ganti rugi dengan cara apa?" tanya Rhea.

Bram menghela napas sejenak lalu menatap Rhea dengan lurus.

"Lo harus jadi babysitter."

- - -

To be continued