Rhea melangkah dengan gontai menuju sekolahnya sambil terus menunduk. Ia lelah. Sangat lelah. Semalam, ia memberikan penjelasan panjang lebar pada Kakaknya dan Dea tentang hal yang terjadi antara dia dan Bram.
Haaaah.
Rhea menghela napas panjang. Bram benar-benar membuat masalah untuknya. Ia jadi takut membuka akun Instagramnya karena khawatir akan banyaknya hujatan yang masuk. Ia juga jadi tak bisa berjalan dengan bebas karena takut orang-orang mengenalinya. Terlebih, jika ia harus bertemu fans-fans Bram yang dapat dipastikan akan langsung mengamuk padanya. Benar-benar menyeramkan.
Tepat ketika kaki Rhea baru saja melangkah masuk ke dalam area sekolahnya, tiba-tiba ada yang menarik tangannya dengan cepat. Rhea berusaha memberontak, tapi kemudian tertegun ketika melihat siapa yang menarik tangannya.
"Kak—Kak Bram?!" kagetnya.
Bram tak mengatakan apapun, ia hanya menatap Rhea sekilas lalu kemudian melangkah cepat sambil tetap menarik tangan Rhea. Rhea yang masih terkejut pun hanya bisa mengikuti langkah Bram.
Tiba di area sekolah yang cukup sepi, Bram menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Rhea.
"Kenapa Kakak pake acara tarik-tarik tangan saya, sih? Saya kan jadi kaget tadi. Kirain yang narik saya fans Kakak yang mau nyiksa saya. Terus ngapain ngebawa saya ke sini?" cerocos Rhea cepat.
"Iya, iya. Sorry, deh. Sorry. Diem dulu. Gue kayak gini karena gue mau ngebuat kesepakatan sama lo," kata Bram.
"Kesepakatan?" ulang Rhea.
"Iya, kesepakatan. Atau lebih tepatnya, gue mau tanggung jawab atas apa yang udah gue lakuin."
"Hah? Maksud Kakak?" bingung Rhea.
Bram menghela napas singkat. "Gini. Karena gue udah terlanjur nyebut lo sebagai pacar gue, gimana kalau kita pura-pura pacaran aja?" tawarnya.
Rhea mengernyit. "Kok harus gitu, sih? Kakak kan bisa bilang kalau Kakak cuma bercanda aja kemarin."
"Gak semudah itu. Gue kan bukan cuma nyebut lo pacar gue, tapi gue juga nyium lo kemarin. Kalau gue ngomong gue cuma bercanda, bisa-bisa orang-orang pada ngehujat lo. Mereka bakal bilang lo cewek gampangan atau apalah itu," jelas Bram.
"Yang nyium kan Kakak, kok malah saya yang dikatain cewek gampangan, sih?" tanya Rhea tak terima.
"Ya mau gimana lagi. Orang-orang selalu ada di pihak gue. Mereka gak mungkin nyalahin atau bahkan ngehujat gue," ujar Bram santai.
Rhea mendengus. "Kalau gitu, gimana kalau Kakak bilang kalau kita udah putus?"
Bram menggeleng pelan. "Itu juga gak bisa. Lo juga bakal dapat banyak komen yang gak enak kalau gitu. Kalau gue langsung bilang kita putus padahal baru sehari gue nyium dan nyebut lo sebagai pacar gue, orang-orang bakal pada ngomong, Ah, udah gue duga. Kak Bram cuma khilaf sesaat. Dia gak mungkin suka sama cewek kayak gitu. Atau, Ah, Kak Bram pasti udah bosen sama cewek itu. Atau bisa juga, Ah, Bram cuma main-main sama cewek itu ternyata."
Bram menatap Rhea dengan serius. "Itulah yang bakal terjadi. Jadi, pilihan yang paling tepat emang cuma pura-pura pacaran."
Rhea tak memberikan tanggapan apapun. Ia hanya diam dan menghela napas.
"Kalau lo mau pura-pura jadi pacar gue, gue bakal ngebuat orang-orang gak bisa nyerang lo lagi," kata Bram, berusaha meyakinkan Rhea.
"Gimana caranya?" tanya Rhea.
"Lo bakal tahu kalau lo setuju jadi pacar pura-pura gue. Ah, dan juga ... lo tenang aja. Kita pacaran pura-pura gak bakal lama, kok. Cuma beberapa bulan." Bram kemudian menggeleng. "Ah, enggak. Maksud gue, cuma sampai perhatian orang-orang ke kita reda. Kalau ada berita yang lebih panas atau menghebohkan, berita tentang kita bakal ketutup dan lama kelamaan bakal dilupain sama orang-orang. Ketika orang-orang udah lupa, kita bisa ngehentiin pacaran pura-pura itu," jelas Bram.
Rhea terdiam, mencoba untuk berpikir. Otaknya bekerja dengan keras mencerna dan menimbang-nimbang kata-kata Bram.
"Hm ... Oke, deh kalau gitu. Saya mau pura-pura pacaran sama Kakak," setuju Rhea kemudian. "Tapi Kakak harus nepatin janji Kakak, ya. Kakak harus ngelindungi saya," lanjutnya.
Bram mengangguk-angguk. "Iya, iya. Gue bukan orang yang suka ingkar janji, kok," timpal Bram.
"Oh, ya. Karena kita bakal pura-pura pacaran, kita harus ngubah cara ngomong kita."
"Cara ngomong gimana maksud Kakak?" tanya Rhea tak mengerti.
"Kita ngomong pake aku-kamu," jawab Bram cepat.
"Aku-kamu?!"
"Iya, aku-kamu. Orang-orang yang pacaran kan biasanya kalau ngomong emang gitu," kata Bram yang kemudian menatap smartwatch yang melingkar di pergelangan tangannya. "Udah mau jam masuk, nih," gumamnya.
"Yuk, kita pergi sekarang," ajaknya kemudian.
Rhea mengangguk kemudian mulai melangkah menuju kelasnya.
"Lho, Kakak mau kemana?" tanya Rhea ketika melihat Bram yang berjalan di sampingnya. Rhea tentu saja heran, karena ruang kelas Bram dan Rhea saling berbeda arah.
"Mau nganterin elo, lah," jawab Bram.
"Eh, salah. Maksudnya, aku mau nganterin kamu, lah," ralatnya kemudian dengan nada yang sedikit dilembutkan.
Rhea menatap Bram aneh. Telinganya terasa geli mendengar ucapan Bram tadi.
"Ngapain pake diantar, sih? Gak usah," tolaknya.
"Bukannya orang-orang pacaran emang sering gitu? Mereka nganterin pacar mereka ke kelas," kata Bram.
"Cuma beberapa yang kayak gitu. Kakak gak usah repot-repot," tolak Rhea lagi.
"Udah, deh. Terima aja niat baik pacar lo— pacar kamu ini," kukuh Bram. Ia kemudian menarik tangan Rhea.
"Ayo!" katanya dan segera melangkah pergi bersama Rhea yang akhirnya hanya bisa pasrah.
Sepanjang perjalanan menuju kelas Rhea, keduanya menjadi tontonan orang-orang. Semuanya berbisik-bisik melihat mereka, membuat Rhea menunduk. Ia mengumpat dalam hati, kenapa Bram harus menarik tangannya, sih?!
"Udah sampe, Kak," kata Rhea kemudian ketika ia dan Bram sudah tiba di depan kelasnya.
"Hm ... Iya." Bram tersenyum, tangannya lalu naik dan mengelus rambut Rhea. "Kamu belajar yang rajin, ya," katanya.
Seketika, jeritan-jeritan dari murid-murid perempuan terdengar ketika melihat perlakuan Bram kepada Rhea itu. Sementara itu, Rhea hanya tersenyum kikuk dan mengangguk. "I—iya, Kak."
Bram kemudian mengalihkan perhatiannya ke dalam kelas Rhea. "Kakak nitip pacar Kakak. Jagain, ya!" teriaknya pada teman-teman sekelas Rhea. Rhea melotot mendengarnya, sementara teman-teman sekelasnya dengan serempak menjawab Bram.
"Siap, Kak!"
Bram tersenyum dan mengangkat jempolnya. Ia lalu kembali menatap Rhea. "Ya udah, kalau gitu aku pergi dulu, ya," pamit Bram lalu melangkah pergi sambil melambai-lambai.
Rhea menatap kepergian Bram mulut yang sedikit menganga.
'Wah, bagaimana dia bisa ngelakuin semua hal tadi dengan begitu alami? Anak artis terkenal emang beda, ya. Kemampuan akting Papanya kayaknya menurun ke Bram. Jago banget sampe ngebuat gue gak bisa berkata-kata lagi.'
😈😇😈
To be continued