Bram menatap lurus ke depannya. Tatapannya terfokus pada seorang gadis sedari tadi. Gadis yang sedang menjadi fokus perhatiannya itu tak lain adalah gadis yang ia cium secara tak sengaja kemarin, Keana Rhea Adisti. Sejak awal kegiatan PLS hari ini dimulai, Rhea terlihat sangat lesu. Padahal kemarin-kemarin cewek itu selalu terlihat penuh semangat. Bram yakin, hal itu ada kaitannya dengan kejadian kemarin.
Bram menghela napas singkat. Ia sempat membaca dan juga mendengar komentar-komentar hujatan dari orang-orang yang ditujukan pada Rhea. Padahal hal itu terjadi karena sebuah kesalahan kecil saja, tapi Rhea harus mendapat begitu banyak hujatan.
Tak terasa, waktu istirahat sudah tiba. Para murid baru dengan cepat meninggalkan tempat mereka. Ada yang ke kantin, mushola, toilet, dan lain-lain.
Rhea dan Dea sendiri memilih untuk memisahkan diri dari banyak orang. Mereka beranjak menuju sebuah taman yang terletak di belakang sekolah.
Diam-diam, Bram mengikuti dua bersahabat itu dan memperhatikannya dari kejauhan. Dea terlihat mulai mengeluarkan beberapa snack camilan dari tasnya dan menyodorkannya pada Rhea. Tapi Rhea tak menggubrisnya. Cewek itu lebih memilih untuk merebahkan kepalanya di atas meja.
Bram kembali menghela napas. Cukup prihatin melihat Rhea yang tak punya semangat gara-gara kejadian yang mereka alami bersama kemarin.
Bram akhirnya mengeluarkan ponselnya dari saku dan mengetikkan sebuah pesan dengan cepat. Beberapa detik kemudian, Rhea dengan malas melihat ponselnya yang baru saja mendapat notif pesan masuk.
Kak Bram๐ฟ
Hari ini lo gak perlu ke rumah gue
Rhea seketika menegakkan tubuhnya dan menatap pesan itu selama beberapa saat. Ia lalu menghela napas lega. Untunglah, pikir Rhea. Rasanya ia memang tak punya kekuatan untuk pergi ke rumah Bram hari ini.
๐ฟ๐๐ฟ
Bram sedang menikmati waktu santainya di ruang tengah dengan memainkan sebuah rubik dan ditemani dengan segelas ice americano. Tiba-tibaโ
Brak!
Pintu rumahnya terbuka dengan kasar. Bram yang duduk di sofa tak bereaksi apa-apa. Sudah menduga hal yang akan terjadi selanjutnya.
"Apa-apaan ini, HAH?!"
Syahreza Pradana, aktor terkenal Indonesia sekaligus Papa Bram menghampiri Bram dengan cepat. Papa Bram kemudian melemparkan ponsel mahalnya di depan Bram dengan penuh amarah. Layar ponsel itu menampilkan sebuah artikel tentang Bram yang mencium Rhea tempo hari.
Bram hanya melirik sekilas ponsel sang Papa kemudian kembali ke aktivitas sebelumnya, mengutak-atik rubik miliknya.
"BRAM!" teriak Papa Bram, marah karena diabaikan oleh putranya sendiri.
Bram tetap tak merespon, membuat Syahreza Pradana semakin murka hingga melempar ice americano yang ada di hadapan Bram.
Prang!
Gelas ice americao itu pecah berkeping-keping di lantai. Bram menghentikan gerakan tangannya dan meletakkan rubiknya di atas meja. Ia lalu segera berdiri menatap Papanya.
"Papa apa-apaan, sih?!" kesalnya.
"Papa yang harusnya nanya kayak gitu! Apa-apaan kamu?! Ciuman secara terang-terangan kayak gitu! Kamu mau ngerusak imej Papa, hah?!"
Bram memutar bola matanya malas. Sudah ia duga, yang dipikirkan Papanya hanyalah imej dirinya.
Bram menghela napas singkat. "Yang terjadi itu cuma kecelakaan."
"Kecelakaan atau bukan, itu tidak penting! Yang terpenting sekarang adalah semua orang sudah melihat apa yang sudah kau lakukan! Mereka akan berpikir bagaimana cara Papa mendidik anak?!"
Hah.
Bram tertawa sarkas. "Apa? Mendidik anak? Memangnya kapan Papa mendidikku? Aku sama sekali tidak ingat, tuh," kata Bram dengan nada meremehkan.
"Kamu!" marah Papa Bram.
Bram membuang muka. "Bastian lagi tidur. Jadi Papanya sebaiknya gak bikin keributan sekarang."
Setelahnya, Bram segera berlalu dari hadapan Papanya.
๐ฟ๐๐ฟ
Rhea memasuki kamarnya dengan gontai. Ia segera menghempaskan dirinya di atas tempat tidur. Energinya hari ini benar-benar terasa habis hanya untuk menghadapi ttatapn tajam dari orang-orang.
Rhea menghela napas panjang. Ia lalu bangkit dan mengambil ponselnya. Ada beberapa menit lamanya Rhea hanya menatap layar hitam ponselnya. Ia merasa cukup ragu dan khawatir.
Setelah mengumpulkan keberanian, Rhea akhirnya menyalakan ponselnya dan menyalakan data internetnya. Seketika, notif yang bertubi-tubi masuk. Rhea hanya bisa melongo menatap ponselnya itu.
Rhea menghirup udara kemudian menghembuskannya dengan pelan. Jarinya bergerak ke arah aplikasi Instagram. Rhea menelan ludahnya sebelum menekan aplikasi yang terlihat sangat menakutkan baginya saat ini.
Kedua mata Rhea seketika membelalak begitu aplikasi Instagramnya terbuka. Ada begitu banyak tambahan followers dan pesan yang masuk. Komentar-komentar hujatan di foto-foto yang ia posting juga ada banyak.
Rhea memejamkan matanya. Kepalanya terasa pusing melihat itu semua. Tiba-tiba, sebuah suara mesin motor yang sangat ia kenali masuk ke indera pendengarannya. Rhea melihat jam yang tertera di ponselnya dan mengernyit.
"Kakak pulang jam segini?" gumamnya heran. Ia kemudian bergegas keluar dari kamarnya.
"Kakak kok udah pulang? Tumben banget pulang jam segini," kata Rhea saat Kakaknya melangkah masuk ke dalam rumah.
"Rhea, duduk!"
Bukannya menjawab keheranan sang adik, Adara Fredella Kirania malah duduk di sofa ruang tamu dan menatap adiknya dengan datar.
Rhea seketika membeku mendengar suara tegas Kakaknya. Biasanya, Kakaknya akan bersikap seperti itu jika Rhea melakukan suatu kesalahan.
'Gawat. Apa Kak Dara udah tahu?' pikir Rhea. Dengan takut-takut, ia mulai mendekat dan duduk di ujung sofa.
Dara menatap pergerakan adiknya itu dengan seksama. Setelah Rhea duduk dengan sempurna, ia mengeluarkan ponselnya.
"Jelasin. Apa-apaan ini?" tanyanya sambil menunjukkan foto dimana Bram mencium Rhea.
Rhea meneguk ludahnya susah payah. Kakaknya memang terlihat tenang, tapi ketenangannya itu malah terasa lebih menakutkan.
"Iโitu cuma kecelakaan, kok. Gak sengaja!"
"Gak sengaja? Serius?" tanya Dara lagi.
Rhea mengangguk-angguk dengan keras. "Iya! Gak sengaja, Kak. Sumpah. Serius."
Dara memicingkan matanya menatap Rhea. "Gitu? Terus, bisa kamu jelasin kenapa kamu bisa ada situ?" tanya Dara kemudian dengan sebelah alis yang terangkat.
"Ah, itu ... aku ..." Mata Rhea bergerak gelisah. Tak sanggup menatap mata Kakaknya yang terlihat begitu mengintimidasi. "Aku ... jadi baby sitter, Kak."
Dara mengernyitkan keningnya. "Apa? Baby sitter?"
Rhea mengangguk pelan. "Iya, baby sitter."
"Kenapa kamu tiba-tiba jadi baby sitter? Kamu butuh uang lebih?" tanya Dara.
Rhea menggeleng dengan cepat. "Gak gitu, Kak."
"Terus kenapa?"
Rhea menunduk, memainkan jari-jarinya. "Aku ... aku gak sengaja ngerusakin rubiknya Kak Bram. Karena aku gak bisa ngebayar kerusakan rubik itu, sebagai gantinya aku jadi baby sitter adeknya," jelas Rhea dengan pelan.
"Emang harga rubiknya berapa, sih? Kakak bayarin."
Rhea meringis. "Tapi Kak ... harganya tuh ... 20 milyar."
"Apa?!" kaget Dara. "Hah. Orang kaya emang suka banget ngebuang uang mereka untuk hal-hal yang gak guna," kata Dara sambil menggeleng-geleng, tak habis pikir.
Rhea tak mengatakan apa-apa lagi. Ia hanya terus menunduk.
"Kamu gak papa?"
Rhea sedikit tersentak dan mendongak menatap Kakaknya. "Apa?"
Dara menatap Rhea dengan lembut. "Kakak tanya, apa kamu gak apa-apa? Kamu baik-baik aja?"
Rhea tak menjawab, ia hanya menatap sang Kakak dalam diam.
Dara menghela napas. "Kamu tahu? Daripada marah, Kakak lebih khawatir sama keadaan kamu. Hampir semua karyawan di perusahaan Kakak ngebahas kejadian itu. Kakak juga liat banyak yang ngirim komentar-komentar buruk di postingan Ig kamu."
Tes.
Air mata Rhea seketika meleleh membasahi pipinya. Air mata yang telah ia tahan sejak lama akhirnya keluar. Langsung saja, Dara memeluk adiknya itu.
"Pasti berat banget buat kamu, ya. Gak papa, nangis aja sepuas kamu," kata Dara lembut sambil mengusap-usap rambut adiknya.
Rhea pun meluapkan segala kesedihannya pada sang Kakak. Rhea benar-benar bersyukur punya Kakak yang begitu baik dan peduli padanya.
๐ฟ๐๐ฟ
To be continued