Bram masuk ke kamarnya dan mendapati Bastian yang terduduk di atas tempat tidur dengan kedua mata yang masih setengah terbuka.
"Oh, Babas. Kamu udah bangun ternyata," kata Bram sambil menghampiri adiknya itu.
"Akak! Papa?" tanya Bastian tepat ketika Bram mendudukkan dirinya di tepi tempat tidur.
Untuk sesaat, Bram mendengus. Bastian pasti mendengar suara Papanya tadi.
"Kenapa? Kamu mau ketemu sama Papa?" tanya balik Bram.
"Iya!" sahut Bastian dengan semangat. Kedua matanya kini sudah terbuka lebar.
"Hm ... Oke, deh. Ayo kita keluar kalau gitu," kata Bram kemudian lalu menggendong Bastian keluar dari kamarnya.
Tiba di ruang tengah, Bram celingukan. Ia tak mendapati sang Papa. Yang ada di sana hanyalah pembantu rumahnya yang tengah membersihkan pecahan gelasnya tadi.
'Padahal beberapa menit yang lalu masih ada di sini, dimana dia sekarang?' batin Bram.
"Bibi liat Papa?" tanya Bram pada Bi Dinar, pembantu rumahnya.
"Udah pergi lagi, Den. Baru aja," jawab Bi Dinar.
Bram mendengus. Papanya benar-benar datang hanya untuk menanyakan berita dirinya. Tak ada niatan untuk berkumpul dan menghabiskan waktu dengan kedua putranya.
Bram menatap Bastian yang ada di gendongannya. "Papa udah pergi kerja lagi, Babas."
Bastian menatap Kakaknya itu dalam diam. Bibirnya mulai melengkung ke bawah, dan sesaat kemudian tangisnya pecah.
"Huwaaaaa ... Papa ... Papa ....!"
Bram menghela napas. Kasihan dengan adik kecilnya itu. "Cup ... cup ... jangan nangis, Babas. Papa kerjanya bentar, kok. Besok Papa pasti pulang dan main sama Babas."
Bram sendiri sebenarnya tak bisa memastikan kata-katanya itu, tapi ia tetap mengatakannya untuk menghibur sang adik.
"Gimana kalau kita nonton aja, hm?" ajak Bram kemudian.
Bastian menghentikan tangisnya dan menatap Bram.
"Nonton?" tanyanya dengan kedua pipi chubby yang masih basah oleh air matanya tadi.
Bram mengangguk sambil tersenyum. "Iya, nonton. Gimana?"
Bastian ikut tersenyum dengan lebar. "Mau! Nonton Papa!"
Senyum Bram seketika memudar mendengar itu. Karena tak bisa bertemu dengan sang Papa secara langsung, adiknya hanya bisa melihat wajah sang Papa yang selalu mucul di layar televisi. Entah itu di iklan, sinetron, film, variety show, ataupun berita-berita terkait para artis. Melihat wajah sang Papa hanya dari layar televisi sudah hampir menjadi keseharian adiknya itu.
"Hm, iya. Ayo kita nonton Papa," kata Bram kemudian sambil menyalakan TV. Ia kemudian duduk di sofa bersama Bastian. Remote dengan cepat dikuasai oleh Bastian. Bocah itu lalu dengan cepat mendapati sinetron yang dibintangi oleh sang Papa. Ia pun menontonnya dengan mata berbinar, sementara Bram hanya menatap jengah layar TV yang ada di depannya itu.
👿😇👿
Bram sibuk mengutak-atik rubiknya di kantin. Ia baru saja menghabiskan makan siangnya dan menunggu teman-temannya yang lain selesai makan.
Bara dan Edwin sudah hampir menghabiskan makanan mereka, sementara nasi milik Adnan masih ada setengah.
"Lo tuh kalau makan ya makan aja, gak usah merhatiin HP melulu. Kita udah pada kenyang, elo masih harus makan setengah jam," kata Edwin yang baru saja minum.
"Hah. Bener, tuh. Gak bisa apa lo gak megang HP dalam waktu semenit aja," tanggap Bara yang juga baru saja menyelesaikan makannya dan kini sedang mengelap bibirnya menggunakan tisu.
"Ya elah, guys. Slow dong, slow. Hidup itu harus dinikmatin, gak perlu terburu-buru. Gue terus-terusan ngeliat HP gue karena setiap saat, setiap detik, selalu ada info-info terbaru yang muncul," timpal Adnan santai.
Hah.
Edwin dan Bara hanya menghela napas malas mendengar itu.
"Ya, ya. Terserah lo aja deh kalau gitu," kata Edwin kemudian.
Sementara itu, Bram tetap diam. Tak ada niatan atau ketertarikan untuk menanggapi teman-temannya itu. Rubiknya lebih menarik dari apapun.
"Eh, eh, eh. Bro, bro. Liat ini deh, liat," heboh Adnan kemudian sambil mencolek-colek bahu Bram.
"Ah, apa sih?!" kesal Bram.
"Ini. Interview terbaru Papa lo," kata Adnan sambil memperlihatkan layar ponselnya.
Bram menatap Adnan dengan tajam. "Lo bercanda, ya? Sejak kapan gue penasaran dan mau ngeliat video gak guna kayak gitu?"
"Duh, bukan gitu. Masalahnya di Interview ini ada ngebahas tentang lo. Maksud gue, tentang berita lo sama cewek babysitter itu."
"Ah, serah deh. Gue gak peduli," ketus Bram.
"Aduh, jangan gitu, lah. Liat aja bentar," bujuk Adnan.
Bram menatap Adnan selama beberapa detik lalu akhirnya menghela napas kasar. Ia kemudian menyambar ponsel Adnan dan menekan tombol play video Interview Papanya itu.
"Halo, pemirsa. Saya sekarang bersama kembali dengan aktor terkenal dan kebanggaan Indonesia, Syahreza Pradana!"
"Halo semuanya, halo," sapa Papa Bram melambai-lambaikan tangannya dan tersenyum ramah.
"Sinetron Anda kali ini kembali diminati oleh banyak orang. Film terbaru Anda pun sangat sukses hingga ditayangkan di beberapa negara Asia. Benar-benar luar biasa."
Papa Bram tertawa renyah. "Yah, begitulah. Itu semua karena dukungan dari berbagai pihak. Saya benar-benar berterimakasih kepada semua orang yang sudah menyukai saya."
"Omong-omong, putra Anda sempat menjadi trending topik dimana-mana. Apa Anda juga tahu?"
"Ah, itu. Tentu saja saya tahu," jawab Papa Bram sambil tersenyum tipis.
"Bagaimana komentar Anda terkait hal itu?"
"Saya sudah berbicara tentang hal itu dengan putra saya, dan itu sebenarnya hanyalah kecelakaan. Gadis yang diciumnya itu hanyalah seorang teman, dan ciuman itu terjadi karena faktor ketidaksengajaan," jelas Papa Bram dengan santai.
"Ah, ternyata seperti itu."
Papa Bram mengangguk dan tersenyum. "Benar. Berbeda dengan penampilannya, putra saya itu sebenarnya terlalu baik dan polos. Dia bahkan tak berani memegang tangan perempuan lebih dulu. Jadi ketika pertama kali melihat berita itu, saya langsung tahu kalau itu tidak benar."
"Ah, astaga. Begitu rupanya. Putra Anda punya sikap baik seperti itu pastinya karena pengaruh dari Anda juga."
"Hahaha. Tidak juga. Dia tumbuh mandiri, saya tidak punya banyak waktu untuk keluarga saya, tapi setiap ada waktu luang saya selalu berusaha untuk berkumpul bersama mereka."
Bram menekan tombol pause pada video dan menyerahkan ponsel itu kembali Arga.
Bram kemudian tersenyum miring. "Hah. Semuanya bener-bener cuma omong kosong. Gak salah dia jadi aktor terkenal, dia emang jago banget nipu semua orang dengan wajah dan kata-katanya."
👿😇👿
Jam pulang sekolah.
Rhea berjalan keluar dari gerbang sekolahnya. Baru beberapa langkah ia berjalan, tiba-tiba sebuah mobil berhenti tepat di sampingnya. Kaca spion mobil itu kemudian turun dan menampilkan sosok Bram.
"Masuk," kata Bram singkat.
Rhea tetap berdiri diam di tempatnya dan memandang Bram dengan bingung.
"Tunggu apa lagi?! Gue bilang masuk! Sekarang!" perintah Bram.
"I—iya, Kak!" Dengan cepat, Rhea segera masuk ke mobil Bram. Sedetik setelah Rhea memasang sabuk pengamannya, Bram segera melajukan mobilnya dengan cepat.
"Tapi ... emangnya kita mau kemana, Kak?" tanya Rhea takut-takut. Wajah Bram terlihat tidak santai.
"Udah, diem aja. Lo juga bakal tahu nanti."
Rhea pun menutup mulutnya rapat-rapat, tak berani mengatakan apapun lagi.
👿😇👿
"Ayo keluar," kata Bram singkat setelah menepikan mobilnya. Ia keluar dari mobil terlebih dahulu, lalu kemudian beralih membukakan pintu mobil untuk Rhea.
"Ikut gue," kata Bram lalu menarik tangan Rhea dengan cepat.
"Duh, pelan-pelan dong Kak!" seru Rhea.
"Ini dimana sih, Kak?" tanya Rhea sambil menatap sekelilingnya. Ada banyak orang di situ yang tengah menatap dirinya dan Bram.
"Tempat syuting Papa gue," jawab Bram tanpa menoleh.
Hah? Tempat syuting? Gue bisa ketemu banyak artis, dong. Eh— Tunggu, tunggu. Bukan itu yang penting sekarang.
"Kenapa kita ke sini? Bastian gimana?" tanya Rhea kemudian.
"Gue ada urusan sama Papa gue. Bastian aman sama temen-temen gue," jawab Bram kembali tanpa menoleh dan terus berjalan sambil menarik tangan Rhea.
'Kalau ada urusan sama Papanya, kenapa gue harus dibawa-bawa juga, sih?' heran Rhea dalam hati.
Bram tiba-tiba menghentikan langkahnya, membuat Rhea menubruk punggung Bram.
"Aduh!" seru Rhea sambil mengusap-ngusap dahinya yang terasa sakit.
Ia mendongak menatap Bram kesal. Bram sendiri tak mempedulikan Rhea. Ia sibuk menoleh kesana-kemari. Sesaat kemudian, cowok itu tersenyum miring.
Bram lalu kembali menarik tangan Rhea dan berjalan dengan cepat menuju satu arah.
"Papa!" panggilnya.
Syahreza Pradana menoleh dan seketika mengernyit.
"Bram?" gumamnya. Tatapannya kemudian beralih pada tangan Bram yang menggengam tangan seorang gadis yang tak ia kenal.
"Hai, Pa. Gimana syutingnya? Lancar-lancar aja?" tanya Bram sambil memasang senyum palsu di wajahnya.
"Kenapa kamu datang ke sini?" tanya balik Papa Bram.
"Yah, cuma mau ngasih Papa semangat aja," jawab Bram santai.
"Oh, iya Pa. Kenalin," kata Bram sambil melirik Rhea yang ada di sampingnya.
"Ini pacar aku," lanjut Bram dengan suara yang cukup nyaring, hingga bisa didengar oleh banyak orang.
Seketika, kedua mata Papa Bram dan juga Rhea beserta orang-orang yang ada di sana membesar.
Menghiraukan tatapan terkejut semua orang, Bram tetap tersenyum. "Ah, dan juga soal ciuman kami ... itu memang hanya kecelakaan. Karena itu ... bagaimana jika kami melakukannya lagi dengan lebih baik?"
Dahi Papa Bram mengernyit. "Apa maksud kamu?"
Bukannya menjawab sang Papa, Bram malah menoleh ke arah Rhea. Ia menunduk dan memiringkan kepalanya, lalu dengan cepat menempelkan bibirnya ke atas bibir Rhea.
Sontak saja, Rhea membelakak kaget. Tidak, tidak. Bukan hanya Rhea. Tapi semua orang yang ada di lokasi itu juga membelalak kaget.
Satu kata segera muncul di otak Rhea.
GILA.
Bram benar-benar sudah gila.
👿😇👿
To be continued