Chereads / Love Rubik / Chapter 2 - 2 - Ganti Rugi

Chapter 2 - 2 - Ganti Rugi

"Lo harus jadi babysitter," kata Bram sambil menatap Rhea dengan lurus.

"Apa?! Ba—babysitter? Kakak mau saya jadi babysitter-nya Kakak?" tanya Rhea sambil menatap Bram dengan aneh.

"Bukan buat gue!" sanggah Bram cepat.

"Hah! Kalau gitu, Kakak udah punya anak?!" seru Rhea sambil menatap Bram dengan tatapan terkejut dan menutup mulutnya dengan sebelah tangan.

"Enggaklah! Ya kali gue udah punya anak!" marah Bram tak terima.

"Terus maksudnya apa?" bingung Rhea.

Bram menghela napas panjang, memijat pangkal hidungnya frustrasi sambil terus membatin, sabar ... sabar Bram. Anak orang, jangan dibunuh ... jangan dibunuh.

Rhea hanya diam sambil menatap Bram yang tampak tengah mencoba mengendalikan emosinya.

Haaah.

Bram menghela napas sekali lagi. Ia kemudian menatap Rhea. "Maksud gue, gue mau lo jadi babysitter-nya adek gue."

"Adek?" ulang Rhea.

"Iya."

"Tapi kan saya juga harus sekolah, Kak," kata Rhea.

"Lo kan bisa ngelakuinnya kalau udah pulang," timpal Bram cepat.

Rhea terdiam dengan bibir yang sedikit mengerucut. "Tapi ... sampai kapan saya harus jadi babysitter?" tanyanya kemudian.

"Sampai adek gue bisa ngurus diri dia sendiri. Setidaknya, sampai dia kelas empat SD," jawab Bram.

"Empat SD? Emang umurnya sekarang berapa?" tanya Rhea lagi.

"Dua tahun."

"Oh ... dua tahun ...." Rhea manggut-manggut, lalu sedetik kemudian membelalak. "Eh???!!!! Tunggu ... dua tahun ...? Kalau gitu ... saya harus jadi babysitter-nya sampai dia umur sembilan atau sepuluh tahun, dong?! Dengan kata lain, saya harus jadi babysitter selama setidaknya delapan tahun?!"

Bram mengernyit mendengar suara Rhea yang melengking itu. Ugh. Ia tampaknya harus segera memeriksakan telinganya ke dokter setelah ini.

Bram kemudian menatap Rhea lurus. "Sebenarnya, lo kerja sebagai pembantu di rumah gue seumur hidup pun tetep gak bisa ngelunasin 20 milyar itu. Bersyukurlah, setidaknya gue cuma suruh lo jadi babysitter adek gue selama delapan tahun," kata Bram.

Rhea menganga sambil menatap Bram tak percaya. Ia disuruh bersyukur? Bagaimana bisa ia bersyukur? Padahal kejadian itu terjadi karena ketidaksengajaan. Ia bukannya sengaja merusak rubik mahal si Ketos. Ia hanya berteriak untuk mengusir kegugupannya akan hari pertamanya sebagai murid SMA. Lagipula, kenapa Bram membawa barang semahal itu ke sekolah, sih? Apa dia tidak takut akan ada yang mencurinya?

Saat ini, Rhea rasanya bisa melihat ada dua tanduk iblis yang muncul di atas kepala Bram yang berwajah tampan itu.

"Kenapa malah bengong?" tanya Bram, membuat semua pikiran-pikiran yang hampir meledak di kelapa Rhea tadi segera sirna.

"Lo mulai jadi babysitter setelah PLS besok. Pokoknya, setelah PLS langsung ke rumah gue. Kalau enggak, gue bakalan ngasih lo hukuman. Ngerti?" Bram menatap Rhea dingin dengan sebelah alis yang terangkat.

"Iya ... Kak," jawab Rhea pelan. Ia tak bisa membantah ataupun mengeluarkan pendapat apapun. Ia hanyalah anak baru biasa, sedangkan cowok yang ada di hadapannya adalah Ketua OSIS sekaligus putra pertama dari artis paling terkenal se-Indonesia, yang bahkan juga sudah mulai terkenal di luar negeri.

Bram mengangguk-angguk pelan. Ia kemudian menyodorkan ponselnya pada Rhea. Rhea mengernyit lalu mendongak menatap Bram. "Maksud Kakak ngasih ponsel Kakak ke saya apa, ya?" tanya Rhea bingung.

"Kontak lo! Gue butuh kontak lo!"

Lama-lama, Bram bisa kena darah tinggi juga. Sedari tadi, ia rasanya terus-terusan emosi.

"Aaaah ..." Rhea mengangguk-angguk lalu segera mengambil ponsel Bram. Dengan cepat ia mengetikkan nomornya. Setelah selesai, ia segera menyodorkannya ponsel itu kembali kepada Bram. "Udah, Kak," katanya.

Bram menatap layar ponselnya yang menampilkan sebuah kontak bernama Keana Rhea Adisti. Bram kemudian menekan keyboard ponselnya, dan sesaat kemudian nama Keana Rhea Adisti tadi berubah menjadi Babysitter 20M.

Rhea mengerjap-ngerjapkan matanya melihat itu. Bisa-bisanya namanya yang cantik diubah seperti itu.

Bram memasukkan ponselnya ke dalam saku celana lalu menatap Rhea. "Besok gue bakal ngirim alamat rumah gue. Jadi lo bisa langsung ke sana abis PLS. Sekarang lo bisa pulang."

Rhea mengangguk pelan. "Iya, Kak."

"Oke. Gue juga mau pulang sekarang," kata Bram lalu melangkah pergi meninggalkan Rhea sendiri.

Rhea menatap kepergian Bram dalam diam. Tapi jangan salah. Di dalam otak Rhea, ribuan kata-kata umpatan untuk Bram sedang menari-nari. Hanya saja, Rhea masih berusaha untuk menahan diri. Ia tak mau keceplosan mengumpat Bram dan ketahuan olehnya. Jika itu terjadi, dapat Rhea pastikan ia akan membuat Bram tambah murka.

Huuuffftttt.

Rhea menghela napas panjang. Ia mulai mengambil langkah untuk pulang. Ia harus segera pulang dan beristirahat, karena besok akan menjadi hari yang melelahkan untuknya.

😈😇👿

"Oke. PLS hari ini selesai. Kalian boleh pulang."

"Yehey!"

Suara sorak sorai para murid baru terdengar riuh sambil berdiri dan meninggalkan tempat mereka masing-masing.

"Rhea, hari ini pulang bareng, 'kan?" tanya Dea yang juga sudah berdiri dari duduknya sambil menyelempangkan tasnya.

"Enggak dulu, De."

"Yah, kenapa?" tanya Dea dengan raut wajah kecewa.

"Gue harus pergi ke tempat lain dulu. Ada yang harus gue lakuin, " jawab Rhea lemah. Bibirnya manyun.

Sudut bibir Dea ikut menurun. "Yah, gak asik, nih." Dea menghela napas singkat. "Ya udah, deh. Gue duluan, ya kalau gitu. Bye, bye!" Dea melambai-lambai sambil tersenyum dan melangkah menjauh.

Rhea berdiri di tempatnya sambil tersenyum tipis dan membalas lambaian Dea. "Bye, bye."

Beberapa detik setelah Dea menghilang dari pandangannya, ponsel Rhea bergetar. Sebuah pesan Bram berupa lokasi rumahnya masuk. Rhea menoleh kesana-kemari, hingga kemudian mendapati Bram yang tengah berdiri tak jauh darinya.

Kok masih diem di situ?

Sebuah pesan dari Bram kembali masuk. Rhea menghela napas. Dasar, gak sabaran banget sih jadi orang. Ia kemudian segera mengetikkan balasan.

Iya, iya. Ini baru mau pergi kok, Kak.

👿😇👿

Rhea menganga menatap rumah megah yang ada di depannya. "Gila. Rumahnya gede banget," gumam Rhea.

"Tunggu. Masuknya gimana, nih? Gerbangnya segede itu," kata Rhea sambil matanya menatap gerbang rumah Bram yang panjang dan tinggi.

Rhea kemudian mengambil ponselnya dan mengetikkan sebuah pesan.

Udah sampai nih, Kak. Masuknya gimana?

Ada jeda lima menit hingga akhirnya balasan dari Bram masuk.

Ya lewat pintu, lah.

Rhea menatap layar ponselnya tak percaya. Wah, serius. Nih orang bener-bener nyebelin. Dengan cepat, Rhea kembali mengetikkan pesan.

Maksud saya ... rumah Kakak kan punya gerbang gede yang ketutup rapat. Gimana saya bisa masuk coba?

Rhea mengetuk-ngetukkan jarinya di ponsel menunggu balasan dari Bram.

Bentar.

Rhea menatap balasan Bram itu dengan datar. Ia menunggu selama beberapa menit, tapi balasan Bram sangat singkat.

Tiba-tiba, gerbang besar rumah Bram bergerak, membuat Rhea berjengit kaget. "Astaga, ngangetin aja," gumam Rhea sambil mengelus dadanya pelan.

Setelah gerbang besar itu terbuka cukup lebar, seorang pria paruh baya keluar dengan cukup tergesa menghampiri Rhea.

"Babysitter suruhannya Den Bram, ya?" tanya pria paruh baya itu.

"I—iya, Pak."

"Langsung masuk aja kalau gitu."

Rhea mengangguk singkat lalu melangkah pelan sambil menatap pekarangan rumah Bram yang juga sangat luas. Ditumbuhi beberapa pepohanan rindang, rumput hijau, dan bunga-bunga cantik. Nyaman sekali.

Saat Rhea tiba tepat di depan pintu rumah Bram, seorang wanita paruh baya sudah menunggunya sambil tersenyum.

"Ayo ikut saya," kata wanita itu. Rhea pun menurut dan mengikuti langkah wanita itu masuk ke dalam rumah.

Untuk kesekian kalinya, Rhea kembali terpesona melihat isi rumah Bram. Benar-benar WOW.

'Rumah artis terkenal emang beda,' pikirnya.

Langkah Rhea kemudian terhenti ketika melihat sebuah lemari kaca yang berisikan bermacam-macam rubik cantik. 'Bener-bener maniak rubik,' pikir Rhea.

"Den Bastian ada di dalam. Masuk aja," kata wanita paruh baya itu ketika tiba di depan sebuah kamar.

Rhea segera menoleh pada wanita itu dan mendekat dengan cepat.

"Saya masih harus masak, jadi saya pergi dulu, ya," lanjut wanita itu.

"Ah, iya," timpal Rhea sambil mengangguk dan tersenyum kecil.

Selepas kepergian wanita paruh baya yang tak lain adalah pembantu rumah Bram itu, Rhea menatap pintu yang ada di depannya. Tak membuang waktu lama, ia kemudian mendorong pintu yang tidak tertutup rapat itu.

Bau minyak telon segera merasuk ke penciuman Rhea begitu membuka pintu.

Krak!

Kaki kanan Rhea yang baru saja melangkah masuk ke kamar menginjak sesuatu. Rhea menunduk dan mendapati sebuah mobil-mobilan ada di bawah kakinya.

"Waduh, gak rusak, 'kan?" paniknya sambil mengambil mobil-mobilan itu dan memerhatikan setiap sisinya.

"Ah, kayaknya baik-baik aja, deh. Untung aja," gumam Rhea kemudian.

Rhea kemudian menatap ke depannya berniat mencari si pemilik mobil-mobilan itu. Tapi kemudian-

Tak!

Mobil-mobilan itu seketika terjatuh dari genggaman Rhea yang melongo melihat apa yang ada di hadapannya saat ini. Ruangan luas warna warni itu dipenuhi dengan berbagai macam mainan. Tapi yang jadi masalahnya adalah, mainan-mainan itu bertebaran dengan sangat berantakan dimana-mana.

Satu sosok kecil sebagai pusat ruangan itu tampak sedang sibuk melempar-lempar mainan-mainannya dari sebuah kotak.

Bastian David Abraham. Adik dari Bramasta Neandro Abrisam itu tengah menikmati waktu sendirinya dengan menghancurkan kamar tempatnya bermain.

👿😇👿

To be continued