"Ah, filmnya udah selesai," ujar Bram ketika film kartun yang ia tonton bersama Bastian kini menampilkan nama-nama pemain dan orang-orang yang terlibat di filmnya.
Bram menunduk untuk melihat Bastian. "Eh, udah tidur ternyata," katanya melihat adik kecilnya itu tertidur pulas di pangkuannya.
"Pantesan dari tadi gak ada suaranya," kata Bram lagi sambil menggendong Bastian dengan hati-hati. Ia melangkah menuju kamarnya dan meletakkan Bastian dengan pelan di atas tempat tidur. Setelah mengusap lembut kepala Bastian, Bram pun keluar dari kamar tanpa menimbulkan suara sedikitpun.
"Btw, tuh cewek kemana dari tadi?" gumam Bram sambil menoleh kesana-kemari. Film yang ia nonton bersama Bastian tadi berdurasi dua jam, dan selama itu pula ia tak melihat batang hidung Rhea.
'Apa dia masih belum selesai ngeberesin kamar mainnya Bastian?' pikir Bram sambil melangkah santai menuju kamar main adiknya.
Tiba di depan kamar main Bastian, Bram dengan perlahan mendorong pintu kamar.
"Lho? Diaโ" Bram berdiri di ambang pintu dengan tangan yang masih memegang knop pintu dan memandang lurus ke dalam kamar.
"Dia gak mati, 'kan?"
Bram mendapati Rhea yang tengah menelungkup tanpa bergerak sedikitpun.
"Apa Bastian terlalu nyiksa dia tadi?" gumam Bram sambil melangkah mendekat pada Rhea.
"Hei, hei!"
Bram mengguncang-guncang bahu Rhea, tapi tak ada respon apapun dari cewek itu.
"Dia tidur apa pingsan, sih?"
Bram menatap Rhea selama beberapa saat, lalu kemudian tersenyum miring. Sebuah ide muncul di kepalanya. Ia bergegas keluar dari kamar itu menuju kamarnya. Dengan cepat, ia menyambar ponsel dan earphone miliknya lalu kembali menuju kamar main Bastian.
Tiba di kamar main sang adik, Bram langsung mendekat ke arah Rhea. Dengan perlahan, ia memasang earphone miliknya di kedua telinga Rhea. Ia lalu mengambil ponselnya dan mencari beberapa lagu rock. Senyum Bram melebar ketika mendapati lagu yang ia cari. Langsung saja, ia menaikkan volume ponselnya hingga hampir full dan memainkan lagu rock itu.
Rhea sontak saja tersentak kaget dan segera membelalak mendengar lagu rock yang sangat memekakkan kedua telinganya itu. Dengan cepat, ia melepas earphone yang terpasang di kedua telinganya.
"Pfffffttttttt .... Hahahaha!" Bram tertawa puas melihat reaksi Rhea.
Rhea menoleh menatap Bram dengan tajam. Brengsek.
Dalam sekali gerakan, Rhea mendudukkan dirinya dan menatap Bram. "Kakak mau buat orang jadi budek, ya?!" kesalnya.
"Elo kan emang udah budek. Gue tambah dikit gak papa, 'kan?" santai Bram, tanpa rasa bersalah sedikitpun.
Rhea menganga menatap Bram tak percaya. Wah, serius. Nih cowok bener-bener, deh!
"Salah lo sendiri. Gue udah bangunin lo dari tadi, tapi lo masih molor aja."
Tapi bisa, kan ngebanguninnya gak gitu juga?!
"Pulang, gih," kata Bram dengan datar.
Sebelah alis Rhea terangkat. "Saya udah boleh pulang?"
"Kenapa? Lo masih mau tinggal di sini?" tanya balik Bram.
Rhea menggeleng dengan cepat berkali-kali. "Enggak. Kalau gitu saya pulang dulu!" katanya lalu segera berdiri dan berjalan keluar kamar dengan cepat.
"Besok bawa baju ganti! Jangan pakai seragam seharian!" teriak Bram sambil berdiri melihat kepergian Rhea.
"Woy! Lo denger, 'kan?!" teriaknya lagi.
"Ah, serah deh."
๐ฟ๐๐ฟ
"Hm? Kakak belum pulang, ya? Untung, deh," gumam Rhea ketika tiba di rumahnya. Ia merasa lega sang Kakak belum datang, sehingga ia tak perlu menjelaskan mengapa ia baru pulang.
Rhea segera menghempaskan dirinya di atas tempat tidurnya begitu masuk ke rumah. Hari ini ia benar-benar lelah. Dan ia harus mempersiapkan diri untuk hari esok yang ia yakini akan tak kalah melelahkan.
๐ฟ๐๐ฟ
"Oke, guys. Sekarang Kakak mau kalian ngelakuin sesuatu," beritahu senior cewek ber-name tag Flora.
"Kakak mau, kalian minta tanda tangan senior-senior kalian ini. Setiap tanda tangan punya satu poin. Yang punya poin paling banyak bakal dapet hadiah, dan yang punya poin paling sedikit bakal dapet hukuman," lanjutnya.
"Tapi para senior gak bakal ngasih tanda tangannya dengan gampang. Ada syarat yang harus kalian lakuin buat dapetin tanda tangan senior," tambah Flora lagi.
Rhea mendengarkan penjelasan seniornya itu dengan serius.
"Eh, tapi untuk tanda tangan Ketua OSIS ganteng kita, tanda tangannya punya poin 20, lho!" celetuk seorang senior cowok dengan name tag Adnan Darel Gibson.
Rhea membelalak mendengar itu. 'Gila. 20 poin? Gue sih gak perlu jadi yang punya poin terbanyak. Gue cuma gak mau jadi orang yang dapet hukuman. Kalau gitu, gue bisa minta tanda tangan Ketos aja. Gak perlu repot-repot minta tanda tangan banyak senior,' pikir Rhea sambil manggut-manggut.
"Oke. Kalian bisa mulai perburuan tanda tangan sekarang!"
Langsung saja, para murid baru menyebar menuju para senior. Tanpa ragu, Rhea segera menghampiri Bram. Beruntung, ia jadi junior pertama yang menemui Ketos itu.
"Tanda tangannya dong, Kak!" pinta Rhea sambil menyodorkan buku dan pulpennya.
Bram menatap buku yang disodorkan Rhea selama beberapa detik.
"Tapi lo tahu, kan kalau gue gak bakal ngasih tanda tangan gue semudah itu," kata Bram.
Rhea mengangguk. "Iya, tahu kok, Kak. Kakak mau saya ngapain?" tanya Rhea dengan wajah penuh tekad. Ia tak peduli Bram adalah jelmaan iblis dan sebagainya. Yang penting baginya saat ini, ia ingin menghindari hukuman dengan hanya satu tanda tangan si Ketos.
"Hm ... lo harus ...," Bram menaruh tangannya di dagu, berpikir. "joget," lanjutnya sambil tersenyum miring.
"Joget?" ulang Rhea.
Bram mengangguk santai sambil tersenyum. Rhea memejamkan kedua matanya. Gak papa, Rhe ... gak papa. Cuma sekali doang, abis itu udah. Lupain yang namanya malu. Gas aja!
"Oke," setuju Rhea kemudian dengan mantap. Ia kemudian mulai menggerak-gerakkan badannya secara sembarangan.
Bram tak bisa menahan tawanya ketika melihat Rhea yang bergerak-gerak kaku dengan wajah tanpa malu. Benar-benar terlihat aneh dan lucu.
"Oke, oke. Cukup," kata Bram kemudian sambil masih terkekeh pelan. "Sini buku sama pulpen lo," tambahnya.
Sambil tersenyum, Rhea menyodorkan buku dan pulpennya pada Bram. Tak sia-sia ia mengesampingkan rasa malunya.
Kedua mata Rhea fokus melihat pergerakan tangan Bram yang mulai menorehkan tanda tangannya di atas kertas.
"Nih." Bram menyodorkan kembali buku dan pulpen Rhea.
Rhea menyambutnya dengan senyum lebar. "Makasih, Kak!" Lalu setelahnya, ia segera kembali ke barisan kelasnya dan duduk manis.
Lima menit kemudian, kegiatan berburu tanda tangan itu selesai. Para senior mengumpul buku para murid baru dan mulai menghitung poin mereka.
"Eh, Rhe. Lo dapet berapa tanda tangan?" tanya Dea.
"Satu," jawab Rhea santai.
"Hah? Kok cuma satu, sih?! Lo mau dapet hukuman?!" seru Dea setengah berbisik.
"Tenang aja. Gue dapet tanda tangannya si Ketos. Jadi poinnya ada 20."
Dea mengangguk-angguk. "Ah, gitu ya. Bagus, deh."
"Lo sendiri dapet berapa?" tanya balik Rhea.
"Sepuluh doang," jawab Dea dengan wajah cemberut. "Semoga ada yang dapet lebih dikit dari gue," harapnya.
"Oke! Kakak-kakak udah selesai ngitung poin kalian semua."
Perhatian para murid baru segera terpusat pada Flora.
"Kakak akan ngumumin yang punya poin paling sedikit dulu," lanjut Flora.
"Eh, tapi sebelum itu, Kakak mau minta maaf, nih," celetuk Adnan. "Tadi Kakak bilang tanda tangan Ketos 20 poin, kan?"
Rhea menatap Adnan dengan penasaran. Kenapa dia bahas itu?
"Duh, maaf, ya. Kakak salah ngomong. Sebenarnya, Kakak mau bilang kalau tanda tangan Ketos pun tetep satu poin, gak bakal keitung jadi 20 poin. Hahaha."
Seketika, wajah Rhea mengeras mendengar itu.
W H A T . T H E . H E L L .
'Sialan! Apa maksudnya, hah?!' batin Rhea kesal sambil menatap tajam Adnan yang tengah cengengesan dengan wajah tanpa dosa.
Dea menoleh menatap Rhea. "Duh, Rhe. "Kalau gitu loโ "
"Yang punya poin paling sedikit adalah Keana Rhea Adisti. Poinnya cuma satu."
Rhea memejamkan matanya dengan kedua tangan yang mengepal kuat. Jika ini adalah anime atau komik, sudah dipastikan akan ada banyak api di sekitarnya dan asap mengepul dari kepalanya.
"Keana Rhea Adisti? Mana nih orangnya? Ayo maju ke sini," panggil Flora.
Dengan sangat-sangat-sangat terpaksa, Rhea berdiri dan melangkah pelan menuju ke depan.
"Sebagai hukuman, kamu harus nyatain perasaan kamu sama salah satu senior di sini," kata Flora tanpa basa-basi.
"Gimana kalau sama Ketos aja? Berhubung tanda tangan yang lo punya cuma punyanya Ketos," ujar Adnan.
Rhea menatap Adnan penuh kekesalan kemudian beralih menatap Bram yang tengah berdiri santai.
"Oke. Lakuin sekarang," perintah Flora.
Dengan perlahan, Rhea melangkah ke arah Bram. Tiba di depan Bram yang memasang wajah angkuh, Rhea menunduk. Ia menarik napas panjang lalu menghembuskannya.
"Saโsaya ...ย Saya ...."
'Suka sama Kakak.'
"Benci sama Kakak."
. . . .
. . . .
. . . .
Untuk sesaat, ruangan itu menjadi hening.
"Eh? Apa?"
"Dia bilang apa tadi?"
"Dia bilang benci gak, sih? Apa gue salah denger?"
Tersadar, Rhea seketika melotot. ANJIR! Gue salah ngomong! Kata-kata gue kebalik! Yang harusnya gue bilang dalem hati malah gue keluarin!
Dengan takut-takut, Rhea mendongak menatap Bram. Bram menatap Rhea dengan datar. Kedua tangannya ia lipat di depan dada.
Rhea mengerjap cepat. "Maโmaaf, Kak. Maksud saya ... saya ...."
"SAYA SUKA SAMA KAKAK!"
Bram mengernyit mendengar teriakan nyaring Rhea yang berada tepat di depannya. Sementara itu, wajah Rhea memerah bagaikan tomat matang. Ia malu. Sangat malu.
'ARGH! RASANYA GUE MAU NGILANG DARI BUMI SEKARANG JUGA!'
๐ฟ๐๐ฟ
To be continued