Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Meraih Cinta Sang Bintang

🇮🇩Naima_Zahwa00
--
chs / week
--
NOT RATINGS
13.3k
Views
Synopsis
Terlahir dari keluarga pas-pasan memaksa Deara Pramitta atau Ara berjuang mati-matian sendiri untuk menghidupi dirinya dan adiknya. Semenjak meninggalnya kedua orang tuanya 1 tahun yang lalu karena kecelakaan. Bebannya semakin meningkat karena begitu banyaknya hutang yang ditinggalkan kedua orangtuanya. Kehidupannya langsung berubah. Ia tidak pernah menyangka kehidupannya akan sepahit ini. Belum juga kehidupan cintanya, masalah yang menimpanya dan kekasihnya. Namun, semua itu berubah ketika dengan tanpa sengaja Ara menemukan sebuah kalung berliontin bintang. Awalnya ia kira itu adalah kalung biasa, akan tetapi siapa sangka kalau sebenarnya kalung itu adalah kalung pembawa keberuntungan. Bukan hanya itu saja kalung itu juga bisa mendatangkan pangeran tampan entah dari mana datangnya. Semenjak kehadiran pangeran itu, kehidupan Ara menjadi berubah lebih berwarna dari sebelumnya. Hingga tumbuh cinta dihati keduanya. Tetapi kisah cinta Ara tidak dengan pangeran itu tidak semulus kisah cinta di drama Korea. Setiap orang memiliki kehidupan dan kisah cinta yang unik. Ada yang penuh warna warni bahagia, tapi juga ada yang diselimuti duka. Bahkan ada yang memberi pelajaran hidup dan menciptakan perubahan besar.
VIEW MORE

Chapter 1 - BAB 1 Awal yang Menyakitkan

"Arkh... sial." Umpat Ara di balik jendela rumahnya. Di luar rumahnya terdapat rentenir yang akan menagih hutang peninggalan orang tua Ara.

"Ada apa kak?" Tanya Rena adik Ara.

"Ada rentenir diluar." Jawab Ara dengan nada kesalnya.

"Terus gimana kak kita?" Tanya Rena dengan nada sedih.

"Tenang Rena, kakak akan urus ini semua. Sebentar kakak mau nemuin mereka dulu." Ara membuka pintu rumahnya, memberanikan dirinya untuk menemui rentenir menyeramkan itu.

"Mana uang yang kami minta?" Tanya seorang rentenir pria berpawakan tinggi dan besar, raut wajahnya yang menyeramkan ditambah bekas luka yang ada dipipinya.

"Maaf tuan, saya belum memiliki uang itu." Jawab Ara dengan raut ketakutannya.

"Aku tidak mau tau. Hari ini juga kau harus memberikan uang itu kepada kami!!" Pinta rentenir itu dengan nada penuh penekanan.

"Ba...baik tuan. Akan saya usahakan, Tapi tolong beri waktu saya satu hari lagi tuan!" Mohon Ara.

"Tidak bisa. Saya sudah banyak memberi waktu untuk mu. Jika kau menunda lagi, kau harus menikah dengan ku." Ancam rentenir.

"Baik. Kalau begitu beri waktu saya sampai jam 2 siang saja. Saya akan berusaha mendapatkan uang itu." Jawab Ara.

"Oke, jam 2 siang aku akan kembali lagi mengambil uang itu. Kalau hari ini tidak ada, ingat! kau harus menikah dengan ku." Ucap pria itu, lalu melenggang pergi meninggalkan Ara.

Ara mendenguskan napasnya, mencoba menenangkan pikirannya yang tidak karuan. "Astaga, aku harus cari uang sebanyak itu dimana." Keluh Ara mengacak rambutnya frustasi. Ara kembali memasuki rumahnya menuju dapur, melanjutkan aktivitas masaknya yang sempat tertunda.

"Kakak, bagimana dengan hutang itu? Apa kakak bisa membayar uang sebanyak itu?" Tanya Rena yang membantu Ara memasak.

Usia Rena yang masih menginjak 7 tahun memang terlihat masih kecil. Namun pemikirannya sedikit lebih dewasa. Rena mengkhawatirkan kakaknya, ia tidak mau jika kakaknya harus menikahi pria menakutkan itu jika tidak bisa membayar hutang orang tua mereka.

"Akan kakak usahakan."

"Kak, bagaimana kalau aku bantu kakak cari uang?"

"Kamu mau bantu aku gimana Rena?, kamu itu masih kecil."

"Aku mau ngamen. Siapa tau dapet hasil banyak kan juga lumayan buat bayar hutang." Jawab Rena dengan wajah polosnya.

"Astaga Rena, kamu tidak perlu aneh-aneh. Cukup fokus sekolah saja. Masalah hutang kakak bisa urus sendiri. Nih, makanannya sudah jadi. Kamu sarapan dulu, kakak mau pergi sebentar." Ucap Ara.

"Kakak mau kemana?" Tanya Rena.

"Kakak mau keluar sebentar. Kamu dirumah saja jangan kemana-mana. Kalau ada tugas sekolah kamu kerjakan." Rena menganggukkan kepalanya mengerti.

Kini Ara sudah berada di depan rumah pamannya, kakak dari ayahnya.

"Paman...paman." Panggil Ara.

"Ada apa kamu kesini?" Tanya Roni pamannya Ara.

"Maaf paman, Ara mengganggu waktu paman sebentar. Sebenarnya ada hal penting yang ingin Ara katakan." Ujar Ara, ia masih ragu harus mengatakannya kepada paman Roni atau tidak.

"Kamu masuk kerumah dulu!" Perintah Roni. Ara menganggukkan kepalanya dan masuk kedalam rumah pamannya.

Ara duduk di ruang tamu bersama Roni. Tidak lama kemudian dari arah dapur datang Miya istrinya Roni dengan membawa minuman dan sedikit cemilan.

"Apa yang ingin kamu katakan Ara?"

"Paman. Aku sungguh bingung harus bagaimana sekarang. Tadi rentenir itu datang lagi menagih utang, dan aku bingung harus bagaimana. Sedangkan aku tidak memiliki uang sebanyak itu." Celetuk Ara. Raut wajahnya berubah sedih, sungguh ia tidak ingin menikahi pria tua itu. Ia tidak ingin masa mudanya terbuang sia-sia karena harus menikahi pria tua dan jahat itu.

"Dan jika aku tidak bisa membayarnya hari ini jam 2 siang ini. Pria itu akan menagih haknya untuk menikahi ku." Lanjut Ara.

"Memang berapa uang yang kamu butuhkan Ara?" Tanya Miya.

"45 juta bibi, awalnya hutang ayah 55 juta tapi baru bisa aku bayar 10 juta 1 bulan yang lalu." Jawab Ara.

Ara menundukkan kepalanya setelah menjelaskan kepada paman dan bibinya. Terlihat Roni dan Miya sedang berbisik-bisik, entah apa yang sedang mereka diskusikan.

Kepala Ara serasa akan pecah. Sungguh ia tidak pernah menyangka orang tua Ara memiliki hutang sebanyak itu dengan rentenir gila itu. Ara tau hutang orang tua Ara digunakan untuk menguliahkan Ara dan menyekolahkan adiknya. Dan setelah kepergian orang tua Ara, ia lah yang memiliki kewajiban untuk membayar segala hutang orang tuanya.

"Ara." Panggil Miya

Ara tersadar dari lamunannya, "Eh iya bibi. Bagaimana?" Tanya Ara.

"Paman dan bibi hanya bisa membantu kamu sedikit, kami hanya bisa membantu 15 juta untuk melunasi hutang ayahmu dan nanti akan bibi transfer ke rekeningmu." Jawab Miya.

Raut wajah Ara berubah berseri, ia sangat senang mendengarnya. Walaupun suatu saat nanti ia harus membayar uang pemberian paman dan bibinya itu. "Ah, iya bibi. Tidak apa, aku janji akan mengganti uang itu." Jawab Ara dengan senyum yang mengembang dibibirnya.

"Iya Ara, tidak apa-apa."

Sebenarnya Ara sangat malu harus meminta tolong dengan paman dan bibinya. Mereka sudah sering membantu segala keperluan Ara. Menurut Ara, ia sudah sering merepotkan paman dan bibinya. Di umurnya yang ke 23 tahun ini dan lulusan S1, ia belum bisa menghasilkan apa-apa. Malu memang, itu yang dirasakan Ara. Namun, harus bagaimana lagi. Takdir hidup Ara memang sudah begini, ia sudah cukup mensyukuri karena masih bisa makan setiap harinya. Bagi Ara itu sudah cukup untuk dirinya.

"Lalu bagaimana sisa uangnya Ara, apa kamu punya?"

"Aku hanya punya sedikit tabungan paman, tapi aku akan mengusahakannya. Aku tidak ingin menyerahkan masa muda ku dengan menikahi pria tua dan menjijikkan itu." Jawab Ara.

Ara meraih ponselnya yang ada di tas slempang yang ia bawa. Ia menghubungi beberapa temannya untuk meminjam uang. Berharap, semoga teman Ara ada yang bisa membantunya. Tapi, nihil. Setelah setengah jam Ara menghabiskan waktunya untuk menghubingi semua temannya. Tak ada seorang pun yang membantunya.

Kebingungan melanda pada diri Ara. Tak terasa air matanya jatuh dengan sendirinya. Hidup tanpa kedua orang tua memanglah sangat sulit, apa lagi ia harus menjadi tulang punggung keluarga untuk membiayai hidupnya dan biaya sekolah adiknya hanya dengan pekerjaan sebagai pelayan restoran. Ditambah lagi hutang yang begitu banyak.

Miya menghampiri Ara yang sedang menangis dalam diamnya. Hanya paman dan bibinya lah keluarga yang ia miliki saat ini.

"Tenang Ara. Kamu jangan sedih, jangan nangis. Pasti ada jalannya kok, tenangkan dirimu." Ucap Miya menasehati Ara dan memeluk Ara.

Ara berhenti menangis, ia menguatkan dirinya untuk tidak lemah dengan masalah ini. Ia harus kuat, ia harus bisa.

Tanpa disengaja sebuah solusi melintas dikepalanya, walaupun mungkin solusi itu sangat berat bagi Ara. "Paman, bibi. Seperti nya Ara tau harus dapat uang dari mana." Ujar Ara.

Roni dan Miya menatap Ara bingung. "Bagaimana caranya?" Tanya Roni.

"Aku akan menjual rumah peninggalan ayah." Jawab Ara.

"Kamu yakin Ara mau menjual rumah ayahmu, banyak sekali kenangan dirumah itu Ara. Kamu benar-benar yakin?" Tanya Miya meyakinkan Ara.

"Aku yakin bi. Aku minta tolong pada paman untuk menghubungi teman paman yang penjual tanah itu. Dan setelah rumah itu laku terjual, aku akan pergi ke kota mencari pekerjaan yang lebih layak. Jika aku sudah benar-benar sukses, aku akan kembali dan membeli rumah itu lagi." Jawab Ara dengan nada meyakinkan.

"Baiklah jika itu keputusanmu Ara. Paman dan bibi hanya bisa mendukung dan mendoakan."

"Lalu, bagaimana dengan Rena adik kamu Ara?" Tanya Miya.

"Maaf paman bibi, Ara akan menitipkan Rena kepada kalian. Ara janji setiap bulan Ara akan mengirim uang kepada kalian untuk biaya sekolah Rena." Jawab Ara. Roni dan Miya menganggukkan kepalanya mengerti.

"Kalau gitu Ara pamit dulu. Nanti kalau sudah

ada kabar tolong hubungi Ara." Pamit Ara, lalu ia keluar dari rumah pamannya dan melenggang pergi menaiki sepedanya.

***

Jam sudah menunjukkan pukul 11 siang. Ia masih berdiri mondar-mandir didalam kamarnya, berharap ada berita baik dari pamannya.

Tak lama kemudian dering ponsel mengagetkannya. "Astaga...mengagetkan saja." Gerutu Ara. Ia meraih ponselnya yang tergeletak di atas kasurnya.

Terpampang didepan layar ponselnya Alvano kekasihnya yang meneleponnya. Ara membulatkan matanya, lalu ia menekan tombol hijau mengangkat telepon dari kekasihnya. "Halo, ada apa?" Tanya Ara.

"Aku didepan rumahmu." Jawab Alvano dibalik telepon.

"Kenapa kamu kesini Vano? Ada apa?" Tanya Ara, padahal ia tidak ingin menemui Vano untuk sementara ini. Karena, ia sedang tidak ingin membahas masalah apapun dengan Vano.

"Aku ingin bicara penting padamu."

Ara keluar dari kamar menuju pintu depan rumahnya, ia mengintip dari jendela rumahnya sebelum membuka pintu.

"Masuk!" Pinta Ara kepada Vano.

Vano mengekori Ara yang sedang berjalan menuju ruang tamu rumahnya.

"Mau ngomong apa kamu Vano?" Tanya Ara.

Alvano terdiam sejenak menatap sendu kepada Ara. "Maafkan aku Ara, aku dijodohkan oleh mama ku dengan anak sahabatnya."

'deg' seketika jantung Ara Seakan-akan berhenti saat itu juga, matanya berkaca-kaca. Tubuhnya lemas seketika mendengar perkataan Alvano. Tak lama kemudian air matanya jatuh tak bisa ditahan.

Alvano mendekati Ara, lantas ia langsung memeluk Ara. Mereka berdua terhanyut menangis dalam pelukan. "Maafkan aku Ara, aku tidak bisa menolaknya..."

"Aku tau, aku miskin Vano. Tapi apa kamu tidak bisa meyakinkan orang tua kamu agar mereka merestui hubungan kita?" Tanya Ara dengan penuh penekanan, ia memukul-mukul lemah dada Alvano dan menangis tersedu-sedu.

"Aku tidak bisa melakukan itu Ara. Sungguh aku memang sangat...sangat mencintaimu Tapi jika masalah orang tua ku, aku tidak bisa menolaknya." Ujar Alvano.

Ara melepas pelukan Alvano, ia menghapus air matanya kasar. "Oke Alvano, jika memang itu keputusanmu. Aku akan menerimanya dan ya satu lagi aku besok akan pergi ke kota, aku akan membuktikan kepada mu dan orang tua mu bahwa aku bisa sukses." Jawab Ara lugas.

Sakit...itu yang sedang di rasakan Ara setelah mendengar perjodohan Alvano dengan wanita lain. Ara memang sangat mencintai Alvano, tapi ia tidak bisa pungkiri jika Alvano dijodohkan orang tuanya. Secara Alvano terlahir dari keluarga yang kaya, sedangkan ia hanya orang miskin dan yatim piatu. Pantas saja jika orang tua Alvano tidak merestui hubungan mereka.

"Tapi, Ara. Apa kamu tidak ingin berjuang demi hubungan kita, aku memang akan menerima perjodohan dari orang tuaku. Didepan orang tuaku aku bisa terlihat baik-baik saja menerima perjodohan mereka. Tapi dibelakang mereka, kita masih bisa berhubungan dan menunggumu agar bisa meyakinkan orang tuaku." Kata Alvano meyakinkan Ara.

"Apa aku terlihat bodoh Vano, hah?. Aku tidak sebodoh itu, jujur aku memang sangat mencintaimu. Tapi berjuang sendiri itu sakit Vano. Selama ini aku melakukan apapun agar aku terlihat baik dimata orang tuamu, akan tetapi apa? Mereka bahkan menghinaku didepan semua teman-temanmu. Apa kau tidak kasihan padaku Vano, ha?" Ucap Ara dengan nada tinggi dan penuh penekanan.

Kecewa, yang sedang dirasakan Ara saat ini. Sudah 2 tahun lebih Ara berpacaran dengan Alvano, namun ia tidak pernah sedikitpun direstui oleh orang tua Alvano. Bahkan, saat didepan orangtuanya Alvano, ia tidak membela Ara. Hanya diam membisu melihat Ara yang sedang dihina habis-habisan oleh orang tua Alvano. Selama ini Ara hanya diam menahan dan bersabar, mungkin memang butuh waktu untuk meyakinkan orang tua Alvano, itu yang ada dipikiran Ara.

Alvano terdiam mendengar perkataan Ara, ia juga tau bahwa ia juga salah selama ini. Ia sadar selama ini yang berjuang mati-matian hanya Ara semata. Namun, disisi lain ia tidak bisa menolak orang tuanya. Ia takut jika ia menolak ia tidak bisa mewarisi harta kekayaan yang dimiliki papanya. Itu yang ada dipikran Alvano saat ini, ia melakukan itu semua juga demi Ara, agar Ara bisa hidup bahagisa dengannya.

"Aku melakukan ini juga demi kamu, aku ingin hidup bahagia dengan kamu. Setelah aku mendapatkan semuanya, aku berjanji akan kembali padamu untuk menikahimu dan hidup bahagia denganmu." Ujar Alvano, ia mendekat kepada Ara seraya tangannya memegang kedua tangan Ara untuk meyakinkan Ara.

"Demi aku katamu? Apa kau tidak pernah memikirkan rasa sakit dihatiku Alvano Josheptian?" Tanya Ara dengan nada penuh emosi, hatinya sangat sakit. Ia ingin menangis sejadi-jadinya, tapi ia tidak ingin terlihat lemah dan bodoh lagi dihadapan Alvano. "Lebih baik kita akhiri saja hubungan kita sampai sini, jangan pernah hubungi aku apa lagi menemui aku. Aku akan pergi dari sini dan aku akan menunjukkan kepadamu bahwa aku bisa lebih baik lagi." Lanjut Ara.

Alvano terdiam kikuk mendengar perkataan Ara, ia sama sakitnya dengan apa yang dirasakan Ara. Egois, memang julukan yang pantas untuk ia. Ia menangis dalam diamnya Mendekati Ara, memohon pada Ara agar Ara bisa mengerti keadaannya. Namun apa yang ia dapatkan berbanding terbalik dengan keinginan awalnya. Ara terlanjur sakit hati dengan Alvano. Ia pun tidak tau apa yang bisa ia lakukan agar Ara mau memberinya kesempatan lagi.

"Aku mohon Ara, beri aku kesempatan sekali lagi saja....Aku berjanji padamu aku akan kembali padamu dan menikahimu." kata Alvano. Ia menangis berjongkok memegang kedua tangan Ara, memohon agar Ara memberinya kesempatan lagi.

"Tidak.. Hatiku terlanjur sakit Vano. Aku tidak ingin mengulangi kebodohan ku kedua kalinya. Sekarang kau pergi dari rumahku, kekuar!!!" Perintah Ara. Matanya berkaca-kaca, namun ia tahan agar tidak jatuh.

Alvano berdiri dan keluar dari rumah Ara, ia merasa gundah gulana. Kakinya lemah berjalan sempoyongan. Ia tahu, saat ini Ara sedang mode marah dan sakit hati padanya.

"Apa kau tidak menyesali perkataanmu Ara?. Sekali lagi aku tekankan padamu, suatu saat aku akan mencari mu kemanapun kamu berada dan aku akan kembali padamu." Ujar Alvano meyakinkan Ara, lalu ia melangkahkan kakinya memasuki mobilnya dan melenggang pergi dari rumah Ara.