Jam menunjukkan pukul 05:30 pagi. Ara terbangun dari tidurnya. Ketika ia mulai mengerjapkan matanya, yang pertama kali ia lihat adalah Aludra yang tengah memeluk tubuhnya. Sontak Ara terkejut dan menepuk tubub Aludra dengan keras, sehingga membuat Aludra terbangun dari tidurnya.
"Apa yang kau lakukan di kasurku bodoh? Ngapain kau disini?" Tanya Ara dengan nada tingginya memarahi Aludra.
Aludra menatap malas kearah Ara, karena ia masih dalam keadaan mengantuk.
"Bangun kau brengsek!!!" Maki Ara seraya menepuk-nepuk badan Aludra dengan kerasnya.
Aludra menggeliatkan badannya, ia mendenguskan nafasnya kesal. "Lima menit saja Ara." Kata Aludra.
"Apa kau bilang? Lima menit. Hei bodoh! brengsek!. Jika kau ingin tidur lagi, tidur saja tuh dikasurmu sendiri, ini kasurku." Perintah Ara dengan makiannya.
"Araaa...Ternyata kamu masih sama ya dari dulu. Saat kamu kesal, kamu selalu marah-marah dengan suaramu yang begitu menggelegar di telingaku." Ucap Aludra, lalu ia mendudukkan tubuhnya di samping tempat tidur.
"Cepat kau mandi dulu! Aku mau bersih-bersih apartemen dulu dan masak." Perintah Ara. Aludra pun beranjak dari duduknya berjalan menuju kamar mandi, entah ia mau mandi atau mau cuci muka.
Satu setengah jam kemudian, Ara sudah selesai dengan semua pekerjaan rumahnya. Bahkan ia juga sudah mandi dan rapi dengan setelan baju formalnya. Kali ini ia menggunakan setelan berwarna coklat muda.
Ara menata makanan yang telah selesai ia masak diatas meja makan, lalu ia pergi ke kamarnya membangunkan pria yang bernama Aludra yang tidur lagi setelah mandi.
"Woi, bangun...bangun!" Ucap Ara membangunkan Aludra dengan menggoyang-goyangkan tubuhnya.
"Hemmm." Gumam Aludra.
"Bangun woi, kau tidak butuh makan hah?" Tanya Ara dengan menepuk bahu Aludra.
Aludra pun membuka matanya, "Eh iya, makanlah." Jawabnya.
"Pergi ke kamar mandi sana! Cuci muka!" Perintah Ara. Aludra pun mengikuti perintah Ara menuju kekamar mandi untuk mencuci mukanya.
Ara sudah duduk rapi di ruang makan, 5 menit kemudian Aludra datang dengan tububnya yang sempoyongan masih mengantuk.
"Makanlah, nanti setelah ini kau bisa cari tempat tinggal lain. Jangan terus-terusan numpang dirumahku." Kata Ara seraya menyendok makanan kedalam mulutnya.
Aludra terkejut mendengar perkataan Ara, "Apa? Kau mengusirku Ara?" Tanya Aludra dengan nada terkejut.
Ara menganggukkan kepalanya pelan dengan mulutnya yang masih mengunyah makanan.
"Tapi Ara, kita tidak bisa berjauhan." Tolak Aludra.
Ara meletakkan sendoknya kasar setelah mendengar perkataan Aludra. "Kenapa? Apa kau mau macam-macam sama aku, hah?."
Aludra menggelengkan kepalanya pelan, "Bukan begitu Ara, tapi itu memang pantangan dari dewa bintang. Kita sudah dipersatukan dari dulu, dan kalung yang ada di lehermu itu adalah kalung pertanda bahwa kita telah bersatu kembali. Dan kau tau sendiri, kalung itu tidak akan bisa lepas dari lehermu. Apabila kita terpisah, kau akan mengalami kesulitan dan masalah dalam hal apapun. Dan apabila manusia bintang sudah menemukan pasangannya, maka selamanya mereka tak akan bisa terpisahkan sampai kita mati atau salah satu dari kita mati." Jelas Aludra.
Mata Ara terbelalak seketika mendengar apa yang dikatakan Aludra, "Apa katamu? Hei pria aneh bodoh! brengsek!, kau jangan ngawur ya. Dan satu hal lagi aku tidak percaya dengan kata-kata tahayulmu itu, semua kesulitan dalam hidupku memang sudah ditakdirkan oleh Tuhan. Dan juga, aku bukan pasanganmu." Celetuk Ara dengan nada kesal.
"Aku mengatakan hal benar Ara, aku jujur kepadamu. Aku mohon, setidaknya sedikit percayalah dengan kata-kata ku." Kata Aludra dengan kedua tangannya menelungkup, tanda memohon.
"Bodoh amat. Nih uang buat kau cari tempat tinggal, walaupun tidak banyak setidaknya kau bisa mencari tempat tinggal. Dan kau carilah pekerjaan, jangan mencariku lagi ataupun mendatangi rumahku lagi!" Ucap Ara. Ia telah menyelesaikan aktivitas makannya, lalu ia berdiri dari duduknya.
"Aku tidak butuh ini semua Ara. Aku bisa mendapatkan apapun yang aku inginkan dalam sekejap, yang aku butuhkan hanya kamu."
Ara mendenguskan nafasnya secara kasar, "Sekali lagi kau mengatakan hal bodoh, aku akan segan-segan membunuhmu." Ancam Ara, namun ia tidak serius dengan kata membunuh. Ia hanya menakut-nakuti Aludra agar ia segera pergi dari apartemennya.
"Cepat selesaikan makanmu, lalu pergi dari apartemenku!" Perintah Ara dengan nada ketus.
"Kamu bisa pergi dulu Ara, nanti aku akan menyusul." Jawab Aludra.
"Tidak. Jika kau tidak pergi sekarang, aku tidak bisa menguncinya sedangkan kau ada didalam. Sekarang juga cepat habiskan makananmu!" Aludra mengangguk menjawab perkataan Ara.
Tidak lama kemudian Aludra ikut keluar dari apartement Ara.
"Sekarang kau berpisah dengan ku di sini dan Berpura-pura lah tidak mengenaliku. Jika ada orang yang menanyakanmu kau dari mana, jawab saka kau dari apartemen no 027. Paham maksudku?" Aludra menganggukkan kepalanya mengerti.
"Tapi Ara, apa yang aku katakan memang benar. Saat kamu berpisah denganku kamu akan mengalami kesulitan." Ujar Aludra mengingatkan.
"I dont care Aludra." Jawab Ara dan berlalu pergi meninggalkan Aludra yang tengah berdiri mematung dengan wajah melasnya.
****
Jam menunjukkan pukul 08.00, Ara sudah duduk manis di tempat kerjanya. Hari ini ia akan disibukkan dengan persiapan pembukaan market cabang baru. Dan sebagai asisten sekretaris ia akan selalu siap siaga membantu pekerjaan Rose.
"Heh mata empat, hari ini kau ada pekerjaan di cabang store baru mencatat dan membantu keperluan yang di perlukan untuk pembukaan nanti malam." Kata Rose mengagetkan Ara yang tengah sibuk mengirim file dari komputer ke flashdisk milik kantor.
"Baik mbak, nanti saya akan kesana setelah ini selesai." Jawab Ara.
"Okey, aku permisi dulu." Pamit Rose dengan nada yang dibuat-buat.
"Orang aneh." Guman Ara seraya sedikit melirik ke arah Rose.
"Okey, mengirim file sudah selesai dan sekarang waktunya aku menyerahkan flashdisk ini ke tuan Bryan, lalu pergi ke cabang market baru." Gumam Ara lagi. Namun saat Ara hendak pergi ke ruangan Bryan terdengar deringan ponselnya yang berbunyi.
Ara mengambil ponselnya yang ada didalam tas dan menatap ke layar yang ternyata Miya bibi-nya. Ia menggeser tombol hijau untuk mengangkat telepon nya.
"Halo bi, ada apa telepon Ara?" Tanya Ara sambil menyiapkan berkas untuk dibawa ke cabang store baru.
"Adek kamu sakit Ra, katanya kangen sama kamu dan minta buat nelpon kamu." Jawab Miya dari seberang telepon.
"Apa? Rena sakit bi?" Tanya Ara terkejut dengan nada khawatir.
"Bi, Ara alihin ke video call aja ya?" Tanya Ara lagi.
"Ehem, iya Ra."
"Hai Rena, ini kakak. Kenapa kamu sakit? Kan kakak nyuruh kamu biar jaga kesehatan?"
"Aku kangen sama kakak. Emang kakak nggak kangen juga sama Rena?"
"Iya, kakak malah kangeeeeeennn banget sama Rena, tapi kan kakak harus kerja buat sekolahnya Rena. Makanya Rena harus sembuh ya supaya kakak lebih semangat lagi kerjanya." Mata Ara mulai panas dan air matanya membendung di mata Ara, serasa ingin jatuh namun tetap Ara tahan dan tetap tersenyum untuk Rena.
"Kakak kerjanya cepet diselesaikan ya, supaya bisa cepet pulang dan bisa bareng sama Rena lagi. Rena kangen tauk sama kakak, rasanya aneh kalau nggak ada kakak. Sekarang aja belajar harus sendiri, biasanya kakak yang selalu ngajarin Ara." Ujar Rena dengan polosnya, walaupun sakit namun ia tetap terlihat ceria.
"Kan ada bibi Miya, minta bibi Miya buat nemenin atau ngajarin Ara. Atau minta ajarin kak Fildan aja kalau dia nggak sibuk." Balas Ara.
Rena menganggukkan kepalanya pelan dengan senyum manisnya. Ara sangat senang bisa melihat adiknya tersenyum walaupun hanya melalui video call ponselnya.
"Eh iya kak, kemarin Rena diejek temen lagi. Katanya Rena nggak punya ayah ibu, dan katanya Rena anak miskin gelandangan gitu."
"Terus kamu gimana? Jawab apa ke mereka?"
"Ya Rena jawab, kalau Rena punya ayah sama ibu tapi Tuhan lebih sayang sama mereka dan memulangkan mereka lebih dulu. Terus aku juga bilang kalau kita semua juga bakalan dipanggil Tuhan untuk pulang, dan mereka pun pergi gitu aja setelah aku bilang gitu."
"Berarti mereka udah kalah sama kamu Rena, mereka udah nggak bisa jawab apa-apa lagi setelah kamu ngomong gitu sama mereka."
"Tapi, apa yang aku katakan ke mereka benar kan kak?"
Ara menganggukkan kepalanya dan tersenyum tipis.
Tanpa Ara sadari, sedari tadi ada seorang pria yang tengah berdiri tersenyum di ambang pintu ruangan yang tengah menatap dan mendengar perbincangan Ara bersama adiknya di telepon.
Pria itu Bryan, ia berjalan menghampiri Ara. "Nona Deara." Panggilnya.
Ara tersentak kala mendengar namanya di panggil dengan pemilik suaranya yang sangat familiar di telinganya.
"Hemm,, i..iiya tuan." Balas Ara.
"Rena kita udahan aja ya video call nya kakak mau kerja lagi, tuh bos kakak udah manggil." Pamit Ara, namun tangannya tiba-tiba dicekal oleh Bryan.
"Tak apa Ara, kamu lanjutkan aja. Lagian adikmu juga lagi sakit kan." Ucap Bryan membuat Ara terkejut, karena Ara sangka Bryan akan memarahinya, akan tetapi malah sebaliknya.
"Ta....tapi nggak papa tuan?" Tanya Ara gugup.
Bryan menggeleng-gelangkan kepalanya pelan. "Kalau boleh, saya ingin kenalan dengan adik kamu?" Ara menganggukkan kepalanya. "Tentu saja boleh tuan." Jawab Ara seraya menyerahkan ponselnya pada Bryan.
"Hai peri kecil, boleh kenalan nggak sama kamu?" Tanya Bryan dengan melambaikan tangannya dan tersenyum.
Rena menganggukkan kepalanya dengan wajahnya yang menggemaskan.
"Kalau boleh tau, nama kamu siapa?" Tanya Bryan lagi.
"Nama aku Rena om." Jawab Rena polos.
"Jangan panggil Om, panggil saja kakak. Lagian kan umur saya juga belum tua." Balas Bryan dengan kekehan kecilnya. "Oh iya, kenalkan nama kakak Bryan." Lanjutnya lagi.
"Hai kak Bryan, senang bisa kenalan sama kakak? kak Bryan pacarnya kak Ara ya?" Tanya Rena dengan polosnya, Ara yang merasa pertanyaan Rena sedikit menyinggung hanya bisa diam dan menundukkan kepalanya.
"Emm, bukan. Kakak pemilik perusahaan tempat kakak kamu kerja."
"Aku kira pacarnya kakak, lagian kakak ganteng. Beda sama kak Vano, kak Vano ganteng tapi jahat sama kak Ara." Balas Rena, perkataan Rena sukses membuat Ara semakin terkejut dan membuat Ara semakin malu.
"Sssstt Rena." Ara berdesis menghentikan perkataan Rena yang semakin ngaco.
Rena membalas desisan Ara dengan tersenyum dan menampilkan deretan giginya yang bergingsul.
Bryan yang melihat itu pun hanya bisa terkekeh geli, ia cukup senang bisa melihat senyum Ara dan Rena.
"Ara, tadi file nya sudh kamu pindahkan ke flashdisk nya?" Tanya Bryan seraya menyerahkan ponsel Ara.
"Sudah tuan, ini flashdisknya." Jawab Ara seraya menyerahkan flashdisknya kepada Bryan.
Bryan mendekatkan dirinya pada Ara dan menatap ke arah layar ponselnya Ara. "Hai Rena peri kecil cantik, kakak permisi dulu ya mau lanjutin kerja? Semoga kamu legas sembuh." Ucap Bryan berpamitan kepada Rena.
Rena tersenyum seraya melambaikan tangannya. "Bye kak Bryan." Balas Rena.
"Aku permisi dulu nona Deara." Pamit Bryan berlalu meninggalkan Ara.
"Baik tuan."
Ara kembali mengalihkan pandangannya ke ponselnya, "Rena, kakak mau lanjut kerja dulu ya?"
"Iya kak."
"Ya udah kakak matiin video call nya ya? Semoga kamu lekas sembuh lagi." Pamit Ara.
"Iya, bye bye kak Ara." Balas Rena seraya melambaikan tangannya.
Tut, video call pun berakhir.
"Kakak janji Rena, kakak akan berjuang dan membuat mu bahagia." Gumam Ara. Lalu ia mengambil berkas dan catatan kecil yang telah ia siapkan tadi dan pergi dari ruangannya untuk menuju ke cabang store baru.