Chereads / Meraih Cinta Sang Bintang / Chapter 2 - BAB 2 Maafkan Kakak Rena!

Chapter 2 - BAB 2 Maafkan Kakak Rena!

Alvano berdiri dan keluar dari rumah Ara, ia merasa gundah gulana. Kakinya lemah berjalan sempoyongan. Ia tahu, saat ini Ara sedang dalam mode marah dan sakit hati padanya. "Apa kau tidak menyesali perkataanmu Ara?. Sekali lagi aku tekankan padamu, suatu saat aku akan mencari mu kemanapun kamu berada dan aku akan kembali padamu." Ujar Alvano meyakinkan Ara, lalu ia melangkahkan kakinya memasuki mobilnya dan melenggang pergi dari rumah Ara.

Ara menutup pintu rumahnya, ia meluapkan tangisnya yang sempat ia tahan tadi. Ia menyandarkan tubuhnya dipintu menangis terisak, hingga tubuhnya merosot kelantai dengan posisi duduk dan kedua kakinya menekuk sejajar dengan wajahnya. Kedua tangannya menutupi mulutnya, agar suara tangisnya tidak terlalu terdengar.

"Aku sangat mencintaimu Alvano, tapi disisi lain aku lelah sebab sering sakit hati karenamu..hiks...hiks." Keluh Ara.

"Kakak, kenapa kakak menangis? Aku dengar tadi kakak sedang bersama kak Vano, apa kak Vano menyakiti kakak lagi?" Tanya Rena dengan polosnya. Entah sejak kapan Rena berdiri didepan Ara. Rena mendekatkan dirinya dan memeluk Ara dalam tangisannya.

"Kakak jangan menangis, laki-laki jahat seperti kak Vano tidak pantas untuk ditangisi. Karena ia telah menyakiti kakak, membuat kakakku menangis seperti ini." Ujar Rena. Ia tau selama ini, bahwa Ara sering menangis karena Alvano. Rena sering sekali melihat pertengkaran Ara dengan Alvano, namun tidak melihatnya secara langsung, melainkan ia mengintip dibalik pintu kamarnya.

Ara tersadar ketika mendengar perkataan dari Rena. Benar apa yang dikatakan Rena, laki-laki seperti Alvano memang tidak pantas ditangisi. Apa lagi Alvano sering sekali membuat ia menangis.

Ara menghapus air matanya, mencoba melupakan sakit hati yang ia rasakan. Menenangkan dirinya dengan membalas pelukan dari Rena. "Benar katamu Rena, laki-laki seperti Alvano tidak pantas untuk ditangisi." Ujar Ara mengulang perkataan dari Rena. Senyum mengembang di bibir Ara, memperlihatkan kepada Rena bahwa ia sedang baik-baik saja saat ini.

"Bagaimana tugas sekolahmu? Apakah sudah kau selesaikan?" Tanya Ara seraya melepas pelukan Rena dan beralih memegang kedua bahu Rena.

"Sudah selesai kak, berkat kakak mengajari ku kemarin. Aku bisa menjawab tugas yang diberikan guru." Jawab Rena dengan senyum dibibirnya.

"Syukurlah kalau begitu. Sekarang sudah waktunya makan siang, apa kamu lapar Rena?", Rena menganggukkan kepalanya.

"Yaudah, ayo kita makan siang."

Ara dan Rena menuju ke meja makan yang berada didalam dapur rumahnya. Mereka berdua makan siang dengan lauk dan sayur yang telah ia masak tadi pagi.

Saat mereka sedang menikmati makan siangnya, suara ketukan pintu mengagetkan mereka berdua. 'tok..tok..tok'. Ara berhenti dari aktivitas makannya, lalu ia melangkahkan kakinya menuju ke pintu depan dan membukanya.

"Paman. Silahkan paman masuk!" Pinta Ara, ternyata pamannya bersama seorang pria yang sedang mengunjungi rumahnya.

"Sebentar paman, Ara buatin minum dulu."

Beberapa menit kemudian Ara kembali dengan membawa nampan yang berisi teh dan sedikit camilan sederhana, lalu ia letakkan diatas meja.

"Bagaimana paman?" Tanya Ara.

"Silahkan kau katakan kepada keponakanku!" Pinta paman Roni kepada seorang pria yang duduk disampingnya.

"Begini nak, rumah kamu akan saya beli. Sebenarnya belum ada orang lain yang akan memebeli, akan tetapi setelah aku mendengar ceritanya dari paman mu. Jadi aku sendiri yang akan membeli rumahmu ini." Ujar pria setengah baya itu. Ara tersenyum senang mendengar perkataan pria itu.

"Maaf tuan. Apa uangnya bisa saya terima sekarang?" Tanya Ara dengan nada sungkan.

"Iya, kamu bisa menerimanya. Tapi apakah surat tanahnya masih ada?"

"Oh ada tuan, sebentar saya ambilkan dulu." Jawab Ara, lalu ia pergi mengambil surat itu kedalam kamarnya. Beberapa menit kemudian ia kembali dengan membawa surat rumah ditangannya.

"Ini tuan, silahkan tuan ambil.!"

"Oke, surat ini aku terima. Nanti uangnya akan saya transfer direkeningmu."

"Baik tuan." Jawab Ara, akhirnya ia merasa lega bisa membayar hutang orang tuanya. Walaupun ia harus mengorbankan rumah peninggalan ayahnya untuk membayar semua hutang itu.

***

Hari sudah mulai malam, suasana langit tampak cerah seperti biasanya. Namun kali ini beda, bintang dilangit terlihat lebih banyak dari biasanya. Kerlap-kerlip bintang membuat indah malam hari, disertai terangnya sinar bulan.

Gadis itu menatap langit dari balik jendela kamarnya dengan senyumnya yang mengembang. Malam ini suasana hatinya sedikit lebih baik, walaupun ia sempat merasakan sakit yang amat dalam dihatinya karena kekasihnya itu. Ia melupakan sejenak pikirannya dari kekasihnya, menatap langit dan menarik napas dalam-dalam lalu ia keluar kan secara pelan. Entah kenapa, ketika ia mengehembuskan napasnya gelayar aneh menghinggapi tubuhnya. Seperti ada sesutu yang sedang masuk kedalam tubuhya, namun ia tidak tau apa itu. Gadis itu menggelengkan kepalanya, menjauhkan pikiran negatifnya. Lalu ia menutup kembali jendela kamarnya.

Gadis itu, Ara. Ia teringat sesuatu, ia lupa jika ia harus menyiapkan beberapa bajunya dan keperluannya untuk ia bawa pergi ke kota besok pagi. Ia kembali melanjutkan menyiapkan barang kedalam tas bawaannya.

Ia kembali tersenyum ketika tanpa sengaja ia melihat sebuah bingkai foto yang didalamnya terdapat foto-nya, kedua orangtuanya, dan adiknya. "Ayah ibu, aku janji akan membahagiakan Rena semampuku. Aku janji akan membuat ayah dan ibu bangga kepadaku." Ucap Ara, lalu ia mengecup sebentar foto itu. Hingga suara langkah kaki mengejutkan Ara. Ia mengalihkan pandangannya menatap kearah langkah kaki itu.

"Astaga Rena, kamu mengejutkan kakak saja." Ujar Ara.

"Lagian kakak ngelamun dari tadi, sambil memegang foto. Eh, tapi foto itu foto siapa kak?" Tanya Rena dengan nada menggoda.

"Oh ini, ini foto kita dengan orang tua kita." Jawab Ara.

"Pasti kakak sedang teringat ayah dan ibu ya? Sudahlah kak, jangan terlalu diingat. Jika kakak sedih, mereka juga ikut sedih." Ujar Rena.

"Enggak, siapa juga yang sedih. Kakak tidak sedih kok, hanya saja kakak sedikit rindu kepada mereka."

"Sama kak, Rena juga rindu kepada Ayah dan ibu." Mendengar perkataan Rena, Ara menggerakkan tubuhnya mendekati Rena dan memeluk Rena. Membuat Rena lebih tenang, agar ia tidak menangisi kedua orangtuanya. Ia tau, Rena adalah adik yang kuat bagi Ara. Rena sangat ceria dan periang. Bagi Ara, Rena adalah penenang hatinya dikala ia sedang sedih dan merindukan kedua orangtuanya.

"Kita doakan merek saja, jika kita sedang merindukannya." Ujar Ara. Rena menganggukkan kepalanya mengerti.

"Kakak mau pergi kemana, kok kakak menyiapkan barang-barang dikoper?" Tanya Rena setelah ia tanpa sengaja melihat koper dan bebarapa tas tergeletak di atas kasur Ara.

"Maafkan kakak Rena, kamu jangan sedih ya. Kakak mohon. Besok kakak akan pergi ke kota, kakak akan mencari pekerjaan yang layak disana. Dan kamu Rena, kamu akan kakak titipkan ke paman." Ara tau sungguh berat bagi Ara untuk mengatakan kepergiannya kepada Rena, tapi ia tidak tega jika ia tidak pamit kepada Rena.

"Kakak tidak mengajakku?" Tanya Rena.

Ara menggeleng-gelangkan kepalanya, "Kamu dirumah saja dengan paman dan bibi, fokus ke sekolah kamu. Kakak janji, kalau kakak sudah sukses disana kakak akan pulang. Dan ya, pastinya kakak akan membelikan apapun yang Rena inginkan." Ujar Ara, entah sejak kapan air matanya mengalir begitu saja dipipinya. Sedih, itu yang dirasakan Ara saat ini. Tapi ia berjanji pada dirinya, saat ia telah tiba di kota, ia akan berjuang mati-matian agar ia bisa menjadi orang sukses membahagiakan Rena dan membeli semua mulut orang yang pernah menghinanya, termasuk orang tua Alvano.

"Tapi, kak. Kalau Rena kangen sama kakak gimana? Kenapa kakak tidak mengajakku, Rena janji kalau Rena ikut kakak. Rena tidak akan menyusahkan kakak." Ucap Rena. Sungguh perkataan Rena membuat hati Ara terasa sakit, ia menjadi tidak tega Meninggalkan Rena. Air matanya mengalir dengan deras begitu saja. Begitupun Rena, ia juga menangis dibalik ketenangan kata-katanya.

"Maafkan kakak Rena, kakak tidak bisa mengajakmu. Kamu harus sekolah dulu, nanti kalau Rena sudah menyelesaikan sekolah. Rena bisa kok menyusul kakak, ikut kakak bekerja dikota." Jelas Ara menenangkan Rena.

"Aku yakin, kamu pasti kuat kok. Kakak harap, Rena jangan sedih sedikitpun. Kamu harus janji dengan kakak, ya?" Lanjut Ara, lalu ia melepas pelukannya dari Rena dan mengacungkan jari kelingkingnya.

Rena membalas acungan jari kelingking dari Ara dan menyatukannya. "Janji." Jawab Rena dengan senyum mengembang dibibirnya. Lantas Ara menghapus air mata yang telah jatuh dipipi Rena, begitupun Rena, ia juga menghapus air mata Ara. "Kakak juga jangan bersedih." Ucap Rena. Ara menggelengkan kepalanya dan senyum tipis mengembang dibibirnya.