Keesokan harinya, Ara sudah terbangun dari tidurnya sejak jam 5 pagi. Ia juga sudah selesai memasak dan membersihkan apartemennya.
Ara sangat bersemangat, ia sangat senang karena hari ini hari pertamanya bekerja. Walaupun masih berstatus sebagai karyawan magang, namun sangat ia syukuri. Sebelumnya ia tidak pernah menduga akan secepat ini mendapatkan sebuah pekerjaan. Ia kira mencari kerja di kota sangat sulit, tapi lain bagi Ara, mungkin keberuntungan sedang berpihak padanya.
Ara sedang duduk dimeja makannya menikmati sarapan paginya, hanya membutuhkan waktu 10 menit ia sarapan. Lalu ia beranjak pergi ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya yang sudah berbau sangit karena memasak sarapan untuk dirinya tadi.
'tok...tok...tok', suara ketokan pintu mengagetkan Ara yang hendak membuka kamar mandi. Ara menunda aktivitas mandinya. Ia berjalan ke arah pintu utama apartemennya.
"Eh, ternyata kamu Sintya, masuklah!" Sapa Ara dan menyuruh Sintya masuk kedalam apartmentnya.
"Maaf Ara, pagi-pagi aku mengganggu kamu. Sebenarnya aku kesini ingin meminta bantuanmu." Ujar Sintya dengan nada dan wajah melasnya.
Ara mengerutkan dahinya, "hem?? ", gumam Ara dengan nada bertanya. "Duduklah dulu Sintya, jangan berdiri seperti patung liberty." seloroh Ara dengan kekehan kecilnya agar sedikit bisa menghibur Sintya yang sedang lesu.
"Ara, ternyata kau juga sedikit ngeselin ya?" Celetuk Sintya cengengesan.
Ara membulatkan matanya sempurna menatap Sintya yang cengengesan, Lalu ia berjalan menuju kedapur untuk mengambil sisa sarapan yang telah ia buat tadi, kemudian meletakkannya dimeja dekat Sintya duduk. "Nih, sarapan dulu. Isi energimu. Sepertinya kamu sedang lesu, untuk sedih pun juga butuh tenaga Sintya." Kata Ara sedikit meledek Sintya.
"Kau meledek aku Ara?" Tanya Sintya,
"Sepeti yang kau dengar." Jawab Ara dengan smirk nakalnya.
"Makan dulu tuh, itu nasi goreng kesukaanku yang terakhir." Ucap Ara dengan nada melas.
"Ikhlas kan?" Tanya Sintya, dan dijawab anggukan oleh Ara.
Sintya tersenyum riang melihat sepiring sarapan dan segelas susu yang di berikan Ara padanya.
"Kau tau saja kalau aku sedang lapar Ara." Kata Sintya menampakkan deretan giginya.
"Jangan cerewet. Tuh makan, nanti kalau sudah selesai baru kau katakan mau minta bantuan apa." Ujar Ara menatap Sintya yang sedang menikmati sarapannya.
Sintya menganggukkan kepalnya pelan, "Enak juga masakan mu Ara." Celetuk Sintya dengan makanan yang masih ia kunyah dimulutnya.
"Kunyah dulu baru bicara." Sintya hanya meringis menampakkan giginya seraya mengunyah makanan yang sedang ia makan.
"Selesai." Ucap Sintya yang sudah menyelesaikan aktivitas sarapannya.
"Oke, sekarang kau sedikit lebih bersemangatkan dari tadi?" Tanya Ara seraya menyilangkan kedua tangannya diatas dada.
"Bukan sedikit lagi Ara, tapi malah lebih bersemangat." Jawab Sintya dengan kedua tangannya diangkat 'semangat'.
"Lalu apa yang bisa aku bantu untukmu?" Tanya Ara menaikkan kedua alisnya.
"Aku pinjam uang satu juta untuk melunasi sewa apartemenku." Jawab Sintya melas.
"Emm, oke. Untung sisa tabunganku masih lumayan. Kirimkan rekeningmu ke nomer ponselku."
Sintya menganggukkan kepalanya, ia meraih ponselnya yang ada disaku piyamanya dan mengirim nomer rekeningnya pada Ara.
"Sudah." Ucap Sintya, "Aku janji setelah gajian akan ku kembalikan uangmu." Lanjut Sintya.
"Iya terserah kamu."
"Oh, Astagaaaa....baik hati sekali temanku ini, tak pernah ku sangka aku mendapatkan teman sebaik ini." Puji Sintya dengan selorohannya kepada Ara dan memeluk Ara secara spontan.
"Em...menyebalkan sekali temanku ini, tak pernah ku sangka aku mendapatkan teman semenyebalkan ini." Seloroh Ara.
Sintya semakin erat memeluk Ara sehingga membuat dada Ara sesak.
"Sintya...hentikan...dadaku sesak." Teriak Ara kepada Sintya dan akhirnya dilepas juga pelukan Sintya.
"Kau sudah mendapatkan apa yang kau perlukan kan? Sekarang pulanglah, aku mau mandi dan bersiap-siap kerja." Seloroh Ara mengusir Sintya.
"Hehehehe, maaf Ara. Pagi-pagi aku sudah mengganggu mu." Ujar Sintya dengan senyum kecut, kedua tangannya ditelungkupkan didepan dada dan kakinya bergerak mundur keluar dari apartemen Ara.
Terdengar suara deritan pintu tertutup. Ara mendenguskan napasnya pelan. "Akhirnya aku bisa bersiap-siap juga." Ucap Ara, lalu ia melangkah memasuki kamar mandinya.
15 menit ia selesai mandi. Lalu ia memilih pakaian formal yang akan ia kenakan ke kantor. "Hari ini aku pertama bekerja, jadi penampilanku harus rapi dan sempurna." Gumam Ara.
"Ah, ini saja." Ucap Ara dengan tangan kanannya memegang kemeja putih sepasang dengan jas beserta rok sepan berwarna abu-abu. "Sempurna." Puji Ara pada dirinya.
Tak lupa juga Ara memasang kacamata minusnya.
Ara memang jarang sekali memakai make up, malah hampir tidak pernah. Ia saja hanya memiliki peralatan make up seperti bedak dan lipstick, yang paling sering ia gunakan adalah handbody dan minyak wangi, karena baginya wangi tubuh itu lebih penting dari pada make up wajah. Bukannya ia tidak suka, akan tetapi ia malas memakai make up. Baginya berpenampilan seadanya tanpa make up saja ia sudah tampak cantik. Peralatan make up sedikit mahal dijaman sekarang ini, menurutnya dari pada ia gunakan untuk membeli make up yang tidak terlalu penting baginya lebih baik ia simpan untuk membiayai sekolah Rena dan biaya hidupnya.
***
Jam sudah menunjukkan pukul 8 pagi. Ara sudah memasuki kantor tempatnya bekerja. Bukaan sapaan yang Ara dapat, melainkan tatapan aneh dan remeh dari semua karyawan yang ada dikantor itu, bahkan ada juga yang berbisik-bisik setelah menatap Ara. Ia pun juga tidak tau apa yang membuat mereka menatap Ara seperti itu, padahal Ara sudah melontarkan senyumnya dan juga menyapa karyawan lain yang sempat ia lewati.
Apakah ada yang aneh dengan penampilanku?, batin Ara menanyai dirinya. Ara tetap melanjutkan langkahnya, namun bukan ruangannya yang ia tuju. Melainkan ia menuju ke kamar mandi untuk memastikan apa yang salah dengan dirinya.
Ara menatap pantulan dirinya dalam cermin. Memandangi dirinya dari ujung kepala sampai kaki. Nihil, ia tidak melihat yang aneh dari dirinya. Yang ia lihat hanya pantulan dirinya dengan rambut gelombang diikat tinggi, kacamata yang senantiasa terpasang, baju formal yang rapi dan juga sepatu pantofel dengan hak yang tidak terlalu tinggi, menurutnya tidak ada yang aneh.
Saat Ara sedang menikmati mengoreksi dirinya dari pantulan cermin. Seorang wanita yang ada disampingnya dengan penampilan glamor, make up menor dan juga sepatu hak yang mungkin dihitung sekitar 10 cm yang entah sejak kapan wanita itu datang. Wanita itu mendekati Ara dengan kepalanya menunduk tepat mulutnya disamping telinga Ara, "Apa kau mencoba mencari tau kekurangan dari dirimu yang membuat semua karyawan menatap aneh padamu?" Tanya wanita itu dengan suara yang sangat pelan dan hanya bisa didengar oleh Ara. Ara menganggukkan kepalanya pertanda iya.
Wanita itu meluruskan kembali kepalanya yang menunduk. "Karena kau jelek dan penampilanmu terlihat kampungan." Jawab wanita itu dengan smirknya.
"Apa maksudmu?"
"Lihatlah dirimu gadis mata empat, penampilanmu yang kampungan seperti ini seharusnya tidak layak berada disini." Jawab wanita itu dengan tangan kanannya memegang jijik pakaian yang dipakai Ara. "Seharusnya kau koreksi dirimu, lalu perbaiki penampilan kampungan mu itu." Lanjut wanita itu, lalu melenggang pergi meninggalkan Ara yang berdiri kaku mendengar perkataan wanita itu yang menyakitkan.
"Apakah benar yang dikatakan wanita itu kalau penampilanku kampungan?" Tanya Ara pada dirinya. Tidak Ara, tidak. Jangan pedulikan kata orang lain, batin Ara.
"Maaf nona, anda dipanggil oleh tuan Bryan." Suara bariton dari seorang pria mengagetkan Ara yang sedang melamunkan dirinya.
"Ah, iya. Saya akan segera kesana." Jawab Ara. Ia memperbaiki penampilannya sebentar, lalu berjalan menuju ruangan Bryan CEO pemilik perusahaan.
Kini Ara sudah berada didepan ruangan Bryan Allan Martinez, ia mendenguskan napasnya pelan mengurangi rasa gugupnya. Bukan apa, karena ia gugup untuk bertemu atasannya. Dan akhirnya Ara memberanikan dirinya untuk mengetuk pintu. 'Tok...tok...tok'
"Masuk!" Perintah suara bariton dari dalam terdengar sampai ke telinga Ara.
"Permisi tuan, ada keperluan apa anda memanggil saya?" Tanya Ara yang masih senantiasa menundukkan kepalanya, tetapi senyumnya masih terus mengembang dibibirnya.
"Kamu tatap dulu lawan bicaramu, jangan menunduk!" Perintah Bryan,
"Ba..baik tuan." Jawab Ara gugup.
"Jangan gugup nona Deara Pramitta. Duduklah!" Perintah Bryan lagi.
Ara hanya menjawab nya dengan anggukan kecil dan duduk dikursi didepan meja kebesaran Bryan.
"Tujuanku memanggil mu kesini adalah, aku memindahkan mu untuk bekerja sebagai asisten sekretaris membantu pekerjaan Rosediana." Ucap Bryan lugas.
"Tapi tuan, bukannya dari awal saya ditempatkan dibagian staff biasa?" Tanya Ara kembali.
"Iya. Tapi mulai saat ini, saya putuskan kamu bekerja mendampingi Rose."
"Permisi tuan, saya masuk." Ucap seorang wanita dari pintu masuk ruangan Bryan.
"Itu Rosediana, tugasmu adalah membantu dia untuk menyiapkan segala keperluan meeting dan yang lainnya." Kata Bryan matanya menatap ke arah Rose yang baru saja masuk kedalam kantornya.
Ara menatap ke arah wanita yang sedang dikatakan Bryan tadi. Mata Ara terbelalak melihat wanita itu, ternyata adalah wanita yang mengatainya tadi di kamar mandi.
"Maaf tuan Bryan, untuk tugas itu saya bisa menyelesaikannya sendiri." Celetuk wanita yang bernama Rose menyela perkataan Bryan.
"Apa katamu? Kau bisa menyelesaikannya sendiri? Lihat sendiri dirimu itu, kau saja masih keteteran mengatur proposal meeting. Aku memerinthkan Deara mendampingimu agar kau tidak membuat kesalahan lagi seperti beberapa hari lalu." Ujar Bryan dengan sedikit penekanan disetiap katanya.
"Tapi tuan..."
"Tidak ada tapi-tapian, sekarang kau ajak Deara ketempat kerja mu dan ajari dia!" Perintah Bryan tidak boleh ada penentangan.
"Ba...baik tuan." Jawab Rose, "Ikut aku!" Perintah Rose kepada Ara, Ara pun mengikuti langkah Rose.
"Tempat kerjamu disini, dan kerjakan proposal ini kau ringkas dalam satu map, siang ini juga harus sudah selesai!" Perintah Rose.
"Ah yaa..dan satu lagi, kau jangan pernah berdekat-dekat denganku. Aku jijik melihat penampilan kampungan mu itu." Lanjut Rose.
"Maaf mbak, tapi apa yang salah dengan penampilan sederhana saya ini. Lagian juga tidak mengganggu mbak. Jika memang mengganggu mata mbak, lebih baik mbak jangan menatap saya sekalipun." Jawab Ara dengan nada perlawanan.
"Apa katamu?" Tanya Rose dengan giginya yang terkatup sehingga menimbulkan sedikit suara yang hanya bisa didengar oleh pemiliknya. "Berada didekatmu bisa membuat ku gila." Lanjut Rose seraya melangkahkan kakinya.
"Maaf mbak, saya tidak membawa pengaruh gila kepada siapapun." Jawab Ara yang masih bisa didengar Rose.
Ara menenangkan kembali napasnya yang sempat terengah karena emosinya menghadapi wanita gila yang bernama Rose itu. Lalu ia membuka dan membaca satu persatu map yang berisi proposal penting perusahaan yang akan ia ringkas.
"Astaga...banyak sekali proposal ini, bagaiman aku bisa meringkasnya jika sebanyak ini." Gerutu Ara. Namun tetap ia kerjakan.
"Nona Deara Pramitta kan?" Suara bariton dari seorang pria mengagetkan Ara yang tengah fokus mengerjakan tugasnya. Sontak Ara menghentikan aktivitasnya dan menatap kearah orang yang memanggilnya.
"Ah, iya tuan." Jawab Ara.
"Perkenalkan namaku Andrew Antama, asisten pribadinya tuan Bryan." Kata pria itu memperkenalkan dirinya seraya mengulurkan tangannya kepada Ara.
"Iya tuan, salam kenal. Senang bisa berkenalan dengan anda." Jawab Ara dengan senyum tipis dibibirnya seraya membalas uluran tangan dari Andrew.
"Benar juga yang dibilang Bryan, kau memang cantik dalam penampilan sederhanamu." Kata Andrew lirih.
"Maaf tuan, apa yang barusan tuan katakan?" Tanya Ara yang ternyata sedikit mendengar yang dikatakan Andrew.
"Ah, tidak. Lanjutkan saja kerjamu." Jawab Andrew, lalu melenggang pergi meninggalkan tempat Ara.
"Baik tuan." Jawab Ara seraya menundukkan badannya memberi rasa hormat.
***
Tidak terasa Ara sudah lama berkutat dengan laptop kerjanya. Mata dan jari tangannya sudah mulai lelah ia gunakan untuk mengeringkas proposal. Dan akhirnya sudah terselesaikan juga, tinggal melaporkannya kepada Bryan dan menunggu persetujuan darinya.
"Mata empat, buatkan kopi untukku!" Perintah Rose yang entah sejak kapan berada disamping Ara, namun duduknya berjauhan.
"Maaf mbak, sepertinya membuat kopi bukan tugas saya. Tapi tugas bagian pantry." Jawab Ara melawan.
"Dengar Deara, kau disini bekerja denganku. Jadi kau harus menuruti perintahku." Celetuk Rose."Dan kau mata empat kampungan, kau harus tau diri posisimu karyawan baru magang, jadi kau....."
Ara jengah mendengar celotehan dari mak lampir gila yang bernama Rose itu. Ia pun meninggalkan Rose menuju ke pantry dengan segala celotehannya yang tidak ia dengarkan sama sekali.
"Wanita gila." Gumam Ara, seraya berjalan menuju pantry yang tepatnya tidak terlalu jauh dari ruangan kerjanya.
Ara menatap ke sekeliling dapur mencari bubuk kopi dan gula. Namun, yang ia dapatkan hanyalah butiran kopi yamg utuh.
"Bagaiman cara buatnya, kopinya saja masih utuh-utuh begini." Gerutu Ara, tangannya memegangi alat yang ia tidak tau apa namanya. "Alat apa ini?" Tanya Ara penasaran.
"Namanya drip coffee maker, alat ini digunakan untuk membuat kopi." Jawab suara bariton seorang pria, yang entah sejak kapan ia berdiri didepan pintu pantry.
"Eh, maaf tuan. Sejak kapan anda berada disitu?" Tanya Ara dengan kepalanya menunduk memberi rasa hormat.
"Tidak lama. Kau ingin aku ajari cara memakai alat ini?" Tanya pria itu yang ternyata Bryan CEO perusahaan.
"Kalau anda berkenan kenapa tidak?" Jawab Ara.
Bryan pun menjelasakan dan mengajari cara memakai alat drep coffee maker itu dengan sedikit candaan yang membuat Ara tersenyum riang.
Rasa nyaman memyelimuti diri Bryan, walaupun ia tau bahwa rasa itu sebatas rasa sewajarnya saja.
"Bagaimana? Sekarang kau mengerti kan cara memakainya?" Tanya Bryan.
Ara menganggukkan kepalanya menadakan iya.
"Sekarang coba kau lakukan sendiri!" Perintah Bryan.
Dengan ragu-ragu ara mencoba membuat kopi esspresso dengan alat itu. Setelah selesai membuatnya, Ara menuangkannya kedalam cangkir yang telah ia siapkan lalu ia taruh diatas nampan untuk membawanya kepada Rose.
Saat Ara berjalan keluar dari pantry tanpa sengaja ia menubruk tangan Bryan yang juga akan keluar dari Pantry, sehingga menumpahkan kopi itu dijas yang dipakai Bryan.
"Ehhh, maaf tuan." Ucap Ara meminta maaf, ia menaruh kembali nampan yang berisi kopi yang tumpah tadi dan membersihkan tumpahan kopi yang ada dijas Bryan dengan kedua tangannya.
"Iya nggak papa." Jawab Bryan tanpa sengaja memegang tangan Ara. Ara menatap sebentar ke arah Bryan, desiran aneh menggelayar ditubuh Ara ketika kedua mata saling bertemu dan menatap.
"Maa...maaf tuan, sebaiknya jas yang anda pakai dilepas saja. Akan saya bersihkan dulu." Ujar Ara seraya mengalihkan pandangannya yang tadi sempat bertemu dengan Bryan.
"Tidak perlu Deara. Lagian kamu juga tidak sengaja."
"Tapi tuan, ini adalah kesalahan saya. Jadi saya harus meminta maaf kepada anda dengan cara membersihkan jas tuan." Celetuk Ara.
"Oke baiklah." Jawab Bryan akhirnya menyerah. Bryanpun melepaa jasnya dan menyerehkannya kepada Ara.
Tanpa Ara dan Bryan ketahui, dibalik pintu pantry mata melotot yang lumayan lama melihat pemandangan yang tidak menyenangkan bagi diri wanita itu. Rose sangat marah dan cemburu dengan Ara. Bagaimana bisa pria setampan dan sekaya Bryan melihat Ara dengan senyumnya yang tulus itu, sedangkan pada Rose bahkan keberadaannya seperti dianggap tidak ada. Sudah lama Rose mendambakan Bryan. Telah banyak cara yang ia lakukan untuk menarik perhatian Bryan. Tapi nihil, bahkan Bryan memandangnya sebelah mata. Rasa suka dan cintanya secara sepihak membuatnya tidak membolehkan siapapun memiliki Bryan sejengkalpun.
"Kurang ajar gadis kampungan itu, bisa-bisanya dia menarik perhatian Bryan dari ku." Gerutu Rose kesal seraya kedua tangannya mengepal.
"Awas saja kau Ara, akan ku buat kau malu dan menderita." Lanjut Rose dengan ancamannya kepada Ara. Lalu melenggang pergi meninggalkan pemandangan yang tidak menyenangkan bagi nya.
Ara mengganti kopi yang tadi tumpah di baju Bryan dengan yang baru, lalu ia berjalan keluar dari pantry dengan membawa jas Bryan.
"Permisi tuan, saya pergi dulu." Ucap Ara seraya menundukkan kepalanya memberi rasa hormat dan hanya dibalas senyum tipis oleh Bryan.
"Gadis yang baik." Puji Bryan lirih.
Lalu ia melangkahkan kakinya keluar dari pantry.