Ara membalas uluran tangan dari Diana dan tersenyum tipis. "Nama saya Deara Pramitta, panggil saja Ara. Senang berkenalan dengan anda nyonya Diana." Balas Ara.
"Maaf nyonya, saya permisi dulu. Ada kepentingan mendadak." Dusta Ara, padahal Ara menahan sakit di tubuhnya karena luka. Ia akan pulang ke rumahnya untuk mengobati lukanya.
"Tapi nak, apa lain kali kita bisa bertemu lagi, seperti makan malam gitu?" Tanya Diana.
"Bisa kok nyonya." Jawab Ara dengan senyum simpulnya.
"Berikan nomer kamu!" Pinta Diana menyodorkan ponsel miliknya. Ara pun meraih ponsel dari tangan Diana dan mengetik nomer ponselnya. "Ini nyonya, kalau begitu saya permisi dulu." Kata Ara mengembalikan ponsel Diana dan berpamitan. Lalu ia melenggang pergi meninggalkan Diana yang tengah menatapnya dengan senyum yang mengembang.
"Anak yang baik." Puji Diana lirih, ia pun memasuki mobilnya dan melenggang pergi.
***
Apartemen
"Aa..aauuu, sakit Sintya." Keluh Ara, luka-luka bekas Ara tertabrak sedang di obati oleh Sintya.
"Makanya kalau jalan itu hati² Ara. Lagian kau sendiri, sudah tau di jalan raya malah main ponsel." Gerutu Sintya memarahi Ara.
Sedangkan Ara hanya merengut dan meringis sakit ketika Sintya mengobati lukanya yang ada dilutut. "Aku kan juga tidak tau kalau bakalan begini Sintya." Celetuk Ara.
"Lain kali, kau jangan main ponsel ketika berjalan. Untung saja nyonya yang menabrakmu langsung mengerem mendadak. Kalau tidak, mungkin kau sudah berbaring di ranjang rumah sakit." Ujar Sintya menasehati Ara.
"Kau mendoakan aku, begitu?" Tanya Ara tak terima mendengar perkataan dari Sintya.
Sintya mendenguskan napasnya kesal "Tidak Ara, aku ini hanya menasehati mu saja. oh astaga." Jawab Sintya membulatkan matanya. "Besok kau jangan berangkat bekerja dulu, izin saja ke pada bosmu!" Kata Sintya yang masih mengolesi luka Ara dengan betadine, lalu ia tutup menggunakan kasa.
Ara mendenguskan napasnya pelan. "Tidak...tidak. Aku masih 2 hari kerja disana, bagaimana bisa aku langsung izin begitu saja. Lagian luka-luka ini tidak terlalu parah." Tolak Ara.
"Beneran kau tidak apa-apa Ara, luka mu yang ada di siku dan lutut lumayan parah lo. Jika kau tadi tidak langsung mengobatinya mungkin bisa menimbulkan infeksi." Ucap Sintya.
"Iya Sintya, lagian hari ini aku membuat kesalahan besar." Kata Ara, raut wajahnya berubah masam dan terlihat sedih.
"Kesalahan?" Sahut Sintya.
"Iya, berkas untuk bahan meeting yang aku buat tadi pagi ada banyak kesalahan didalamnya. Padahal saat aku mengerjakannya tidak ada sedikitpun kesalahan, bahkan aku sudah berulang kali meneliti dan memastikannya. Tapi saat tuan Bryan bos aku menyerahkan berkasnya kepada kolega yang bekerja sama di perusahaan, entah kenapa banyak lembaran file didalamnya yang salah. Tidak hanya satu lembar, tapi sepuluh lembar banyaknya. Dan didalam lembaran itu berisi persetujuan kerjasama antar perusahaan yang sangat penting. Sebab kesalahan itu, tuan Bryan dibuat malu saat rapat. Tapi...." Jelas Ara ucapannya terhenti saat ia menceritakannya kejadian tadi di kantor, karena ia tak kuat menaham tangisnya mengingat kejadian tadi, saat Ara di marahi di ruang rapat.
"Hiks...hiks..."
"Kalau kau belum bisa menceritakannya, jangan ceritakan dulu Ara." Ucap Sintya seraya memeluk tubuh Ara.
Ara tidak menggubris perkataan dari Sintya, yang ia inginkan saat ini adalah ia ingin mencurahkan masalahnya kepada temannya agar ia bisa sedikit lega. "Tapi, aku sangat yakin bukan kesalahan aku. File dari laptop ku berbeda dengan file yang sudah diprint. Dan aku yakin ada seseorang yang sengaja melakukan itu kepadaku. Usai aku selesai mengeprint aku sudah mengeceknya kembali, tetapi tidak aku temukan kesalahan sama sekali." Lanjut Ara.
Sintya melepas pelukannya, ia masih senantiasa mendengar cerita Ara. "Saat tadi sore aku menjelaskannya kepada tuan Bryan, ia malah menghinaku dan tidak percaya dengan perkataanku....hiks...hiks." Lanjut Ara lagi.
"Tenang Ara, diawal bekerja rata-rata memang begitu. Karyawn baru pasti saja membuat suatu kesalahan." Kata Sintya menasehati Ara.
"Bukan hanya itu Sintya, tuan Bryan sudah memperingati ku. Ia menganggap kesalahanku tadi untuk pertama dan terakhirnya, jika aku berbuat kesalahan lagi, ia terpaksa akan memberhentikan aku. Dan yang paling menyakitkan lagi, dia meremehkanku. Memang dia menghinaku bukan dengan kata kasar, tapi bagiku sungguh sngat menyakitkan." Ucap Ara masih menangis.
"Memang separah itukah kesalahan mu Ara, sehingga ia sudah memperingatkanmu di hari awal kerjamu?" Tanya Sintya.
"Bagaimana tidak parah Sintya? Asal kau tau saja, gara-gara kesalahan dalam berkas itu, kerjasama mereka hampir saja dibatalkan. Tapi untung saja tidak sampai memerlukan waktu 10 menit aku sudah selesai mengganti kembali dengan yang benar." Jelas Ara.
"Astaga Ara, memang besar masalahmu. Pantes saja atasanmu marah besar kepadamu. Tapi aku juga sependapat denganmu. Aneh sekali, jika yang telah kau kerjakan dilaptopmu sudah benar, lalu kenapa saat selesai kau print bisa berbeda. Memang benar kata mu, mungkin saja ada yang tidak senang denganmu dan dia melakukan itu agar kau di pecat." Jawab Sintya. Ara mengangguk kecil membalas perkataan Sintya.
***
Malam sudah mulai larut, seperti biasa Ara berdiri di balkon apartemennya untuk menikmati pemandangan malam kota dan menikmati kerlip bintang dilangit.
Ara memandang ke arah langit, melihat banyaknya bintang. "Ah, ada rasi bintang." Gumam Ara, ia mengikuti bintang dan menyatukannya dengan jarinya, sehingga membentuk rasi bintang.
"Canis Major." Gumam Ara lagi, ia tersenyum simpul melihatnya. Ara memang sedikit hafal nama-nama dan bentuk rasi bintang, karena dulu waktu ia masih kecil ibunya selalu mengajarinya dan hingga ia hafal sampai sekarang. Bahkan dirumahnya yang ada di desa, ia memiliki banyak buku yang membahas tentang bintang.
Ara menatap lekat ke arah bintang, memastikan apakah bentuknya masih sama atau tidak?. Namun malah keanehan yang ia dapati. "Kenapa rasi bintang itu cahayanya terang sakali ya?" Gumam Ara. Saat muncul cahaya putih di rasi bintang yang ada di langit, seketika kalung yang ada dileher Ara muncul cahaya biru yang sangat terang, sehingga membuat silau mata Ara. "Kenapa ini? Kok aneh." Gumam Ara lagi.
Lama kelamaan cahaya dari kalung Ara dan rasi bintang menyatu di tengah-tengah langit, badan Ara menahan guncangan karena saking besarnya cahaya yang di keluarkan dari kalung itu. Tangan Ara memegang kalung itu, mencoba meredakan guncangan. Tapi, entah kenapa cahaya itu berubah warna ungu, Ara memandangi cahaya itu. Namun, keanehan terjadi lagi, ia melihat sosok dari sekumpulan cahaya berwarna ungu itu. "Apa itu?" Gumam Ara. Sosok itu pun turun dari langit, arahnya menuju ke tempat Ara berada.
"Siapa kau?" Tanya Ara pada sosok pria yang muncul dari cahaya ungu itu yang telah berdiri di samping Ara. Ia terkejut melihat pria didepannya, bagaimana tidak terkejut, sebab tiba-tiba muncul seorang pria tampan dari langit yang sudah didepannya. 'Tampan sekali', batin Ara.
Pria itu tersenyum tipis kepada Ara.
"Apa kau tidak mengenali ku?" Tanya pria itu balik.
Ara menggeleng-gelangkan kepalanya, bagaimana bisa Ara mengenali pria yang entah dari mana asalnya. Yang Ara tau, pria itu muncul setelah cahaya warna ungu datang.
"Tidak, siapa kau?" Tanya Ara lagi.
"Oke. Aku akan memperkenalkan diri ku lagi. Perkenalkan namaku Pangeran Bintang Aludra dari istana bintang Canis Major." Jawab pria itu dengan mengulurkan tangan kanannya.
Ara sedikit ragu untuk menerima uluran tangan itu, namun terpaksa ia terima untuk menghormati pria yang tidak ia kenal itu. "Benarkah? Di bintang ada istana dan ada manusia seperti mu?" Tanya Ara tidak percaya.
Pria itu menganggukkan kepalanya pelan. "Iya, aku memiliki 7 saudara dan aku yang nomer 5." Jawab pria itu.
"Aku tidak bertanya tentang saudaramu. Siapa Nama mu tadi?" Tanya Ara lagi.
"Pangeran Bintang Aludra." Jawabnya.
"Nama panggilanmu bodoh?." Tanya Ara mengumpat pada pria itu.
"Terserah kau saja ingin memanggilku apa." Jawab pria itu, "Eh, tapi dulu kau sering memanggilku Aludra." Lanjutnya.
"Dulu? Kapan kita pernah kenal satu sama lain? Jangan mengarang kau." Jawab Ara sewot, ia berjalan memasuki kamarnya dan duduk di atas tempat tidurnya.
"Sungguh, aku tidak bohong. Kita dulu saling mengenal satu sama lain, dan dulu kita sering..."
"Sssstttt...diam. jika kau bicara itu lagi, akan ku pukul kau." Celetuk Ara kesal. Bagaiman ia tidak kesal, pria yang baru ia temui mengaku-ngaku pernah mengenalnya. "Dan kenapa kau masuk ke kamarku, keluar!! Aku tidak ingin pria yang tidak aku kenal memasuki rumahku." Lanjut Ara kesal.
Wajah pria itu berubah masam, ia mendekati Ara "Tapi, aku di bumi tidak memiliki tempat tinggal." Jawab pria itu dengan raut wajah sedihnya.
"Aludraaaaa...Keluar kau sekarang!!" Teriak Ara kepada pria itu bernama Aludra. Ara berdiri dari duduknya dan mendorong pria itu kearah balkon untuk keluar dari kamarnya. Lalu Ara menutup pintu kamarnya.
"Orang aneh." Gumam Ara.
'krucuk....krucuk'
"Sepertinya aku sudah mulai lapar." Gumamnya lagi.
Ara berjalan ke arah dapur apartemennya untuk memasak makan malamnya. Ia membuka lemari es nya melihat bahan apa yang masih tersedia di kulkas. "Spaghetti dan sosis teriyaki kayaknya enak juga." Gumamnya lagi dengan senyum yang mengembang dibibirnya. Ara-pun mengambil bahan-bahannya dari kulkas. Ia mulai membuka bungkus mie dan merebusnya. Lalu ia melakukan aktivitas masak lainnya, dengan menyiapkan bumbu saus dan bumbu sosis teriyaki.
20 menit Ara selesai memasak. "Hemm, baunya wangi sekali. Sepertinya sangat enak." Puji Ara pada masakannya. Kedua tangannya memegang spaghetti dan sosis teriyaki yang sudah matang. Lalu ia membawa keduanya ke meja makan.
"Kalau dipikir-pikir pria itu kasihan juga. Dia sudah makan apa belum ya?" Gumam Ara.
"Tau ah, nggak usah dipikirin. Mungkin dia sudah balik ke tempat asalnya." Ucap Ara menyuapkan satu suap spaghetti ke mulutnya.
"Iiiihh, kenapa aku tetap mikirin pria itu sih? Dari pada kepikiran terus mending aku lihat, dia masih disana atau tidak." Kata Ara meletakkan sendok dan garpu nya kasar. Ia berjalan ke arah balkon untuk memastikan keberadaan pria tadi. Ara membuka gordennya, ia melirik dari pintu yang terbuat dari kaca.
"Dia masih disitu, sepertinya dia sangat kedinginan." Pelan-pelan Ara membuka pintunya, ia melangkahkan kakinya mendekati pria itu yang tengah berdiri menatap langit. Ara menepuk bahu pria itu pelan. "Sepertinya kau sedang kedinginan. Apakah kau sudah makan?" Tanya Ara.
Pria yang bernama Aludra itu menggelengkan kepalanya pelan. "Belum." Jawabnya.
"Masuklah! Makanlah dulu, pasti kau sangat lapar. Eh tapi apakah manusia bintang juga memiliki rasa lapar?" Tanya Ara tidak yakin, ia menggaruk-garuk keningnya yang tidak gatal.
"Aku juga manusia seperti mu tapi bedanya, kau tinggal dibumi sedangkan aku tinggal di istana bintang." Jawab Aludra.
Ara menganggukkan kepalanya pelan. "Ouhh."
"Yasudah kalau gitu, masuklah! Makan, lalu kau mandi dan ganti pakaian anehmu itu dengan pakaianku!" Ucap Ara, Lalu ia meninggalkan Aludra yang tengah berdiri menatapnya.
"Kau masih sama seperti dulu Ara, selalu perhatian walaupun kau masih belum mengingatku." Ujar Aludra lirih, lalu ia mengikuti langkah Ara memasuki apartemen.
"Duduklah! Makanlah dulu." Perintah Ara yang berjalan dari arah dapur menuju meja makan dengan membawa sepiring spaghetti dan sosis teriyaki sisa makanan yang telah ia masak tadi.
Aludra menatap aneh ke arah makanan itu, mungkin ia bingung makanan apa yang ada didepannya. Sedangkan yang ia tahu di istananya makanannya tidak seperti ini. Baginya yang paling enak di istananya adalah kelinci dan rusa bakar.
"Makanan apa ini? Aku tidak pernah melihatnya." Tanya Aludra.
Ara membulatkan matanya "Namanya yang ini spaghetti dan yang ini sosis teriyaki." Jawab Ara dengan menunjukkan ke masing-masing makanan dan di balas anggukan kecil oleh Aludra.
Aludra pun menyantap makanannya dan menikmatinya. "Ternyata enak juga." Pujinya.
"Kalau sedang makan jangan berbicara." Nasehat Ara.
Aludra hanya menganggukkan kepalanya dengan mulutnya yang masih mengunyah makanan.
***
Hari sudah mulai larut, jam menunjukkan pukul 12 malam.
Malam yang begitu tenang mengiringi keindahan suasana apartemen itu dengan ukurannya yang minimalis. Sayup-sayup terdengar suara jangkrik memecah keheningan malam. Sesekali suara burung malam terbang penuh harapan. Nyamuk juga tidak mau kalah, terbang kesana kemari berhamburan mencari hamparan kulit untuk mengobati kehausan. Udara terasa dingin menyegarkan.
Sejak tadi Ara sudah berbaring di ranjangnya, akan tetapi matanya tetap saja belum ingin di pejamkan. Ia masih senantiasa melamun menatap langit-langit kamarnya dan sesekali memainkan ponselnya. Pikirannya masih tertuju pada hal yang sama ingatan kejadian tadi siang, apalagi rasa malunya dan perkataan Bryan yang begitu menyakitkan baginya.
Rasa takut dan bersalah terus saja menghampiri dirinya, walaupun bukan kesalahannya.
"Mengerjai kamu? Mana ada orang dikantor ini mau mengerjai mu, sedangkan ia juga tau kalau file itu penting untuk rapat hari ini. Dengar Deara Pramitta, orang-orang dikantorku ini berkualitas semua. Jadi tidak mungkin ada yang mau melakukan hal sepele itu. Dan satu lagi jika memang ada yang mengerjaimu, hal apa yang membuatnya iri padamu. Sedangkan kamu tau sendiri bagimana dirimu dan apa kelebihanmu."
Perkataan itu sesekali terlintas pada ingatannya. Hatinya terasa sesak dan sakit, entah kenapa perkataan Bryan membuat Ara berpikir dalam dan melukai hatinya. Walaupun sebenarnya perkataan Bryan tidak kasar, tetapi lembut tapi menyakitkan. Namun, disetiap perkataannya mengandung sindiran yang dapat Ara pahami. Tanpa ia sadari air mata yang telah lama terbendung mengalir sendiri di pipi mulusnya.
Ara merubah posisi tidurnya menghadap ke sebelah kanan, berharap Aludra tidak mendengar tangisannya. Aludra tidur di bawah samping tempat tidur dengan beralaskan kasur tipis.
"Hiks...hiks....hiks. Ya Tuhan, kenapa aku terus mengingat perkataan tuan Bryan tadi? Kenapa hari ini begitu sial bagiku?" Keluh Ara.
"Aku ingin sukses, aku ingin membalas semua orang yang pernah menyakitiku, hiks...hiks...hiks." Ucap Ara lagi.
Aludra yang tengah tertidur samar-samar mendengar suara tangis Ara. Ia mulai mengerjapkan matanya pelan-pelan dan mengusap matanya agar tidak buram, lalu duduk.
"Ara menangis. Kenapa ia menangis?" Gumam nya. Aludra pun berdiri dari duduknya dan mendekati Ara.
Ara yang merasa kasurnya tiba-tiba bergerak, ia pun langsung menghapus air matanya. Berpura-pura tidur dan baik-baik saja.
"Kenapa kamu menangis Ara? Apa kamu sedang ada masalah?" Tanya Aludra, namun tidak ada jawaban dari Ara. "Aku tau kamu tadi menangis. Kalau kamu ingin menangis meluapkan masalahmu, maka menangislah!" Ucap Aludra yang sudah berbaring miring menghadap Ara yang membelakanginya.
"Kenapa kau disini, di kasurku. Turun!" Perintah Ara sedikit kasar, namun nada bicaranya masih bergetar karena menahan tangis.
"Aku kesini karena mendengar mu menangis. Tak apa kalau kamu ingin menangis, luapkan lah!" Ucap Aludra. Ara yang mendengar perkataan Aludra, ia pun tidak bisa menahan tangisnya. Ia merubah posisi berbaringnya berhadapan dengan Aludra. Aludra langsung memeluk tubuh Ara. Ia pun menangis dalam pelukan Aludra. Rasa nyaman menyelimuti diri Ara, entah kenapa ia sangat nyaman dengan pelukan hangat Aludra. Hingga akhirnya terlelap dalam tidurnya.
"Apapun masalahmu, aku berharap kamu akan selalu baik-baik saja. Aku yakin suatu hari nanti kamu pasti akan mengingatku. Andai saja kecelakaan itu tidak menimpamu dan aku saat itu ada di bumi, pasti aku bisa menyelamatkan mu dan kecelakaan itu pasti tidak akan terjadi." Ucap Aludra dengan raut wajahnya yang sedih, seraya mengusap lembut puncak kepala Ara. "Kenapa hanya ingatanmu tentangku yang hilang dalam ingatanmu. Apa kau juga masih mengingat pria itu atau malah juga melupakannya." Gumamanya lagi.
"Mulai dari sekarang, aku akan selalu di sampingmu. Menemani hari-hari mu, hingga kamu bisa mengingatku kembali. Aku berjanji padamu, aku tidak akan meninggalkanmu sejengkalpun dan akan selalu menjagamu sampai kapanpun." Ucap Aludra dengan seyum tipisnya terpancar dari bibirnya. Lalu ia mengecup sebentar kening Ara dan ikut terlelap dalam tidurnya.
ΔΔΔ