"Permisi tuan, saya pergi dulu." Ucap Ara seraya menundukkan kepalanya memberi rasa hormat dan hanya dibalas senyum tipis oleh Bryan.
"Gadis yang baik." Puji Bryan lirih.
Lalu ia melangkahkan kakinya keluar dari pantry.
Kini Ara sudah berada diruang kerjanya dengan membawa jas Bryan yang terkena tumpahan kopi.
Ara meletakkan kopinya dimeja Rose.
"Permisi mbak, ini kopi yang mbak pesan tadi." Kata Ara lalu ia meletakkan jas Bryan di bawah laci mejanya.
Rose melirik ke arah kemeja itu sinis. "Apa yang kau lakukan? Membuat kopi saja lama sekali." Tanya Rose ketus.
"Maaf mbak, tadi saya ada urusan sebentar jadi agak lama." Jawab Ara bohong, bukannya ia berniat berbohong tapi hanya saja ia malas membahas perihal tadi kepada Rose. Pasti ujung-ujungnya ocehan yang dilontarkan Rose.
'Wanita kampungan ini mencoba berbohong kepadaku.'Batin Rose.
"Oh gitu. Apa kau anggap aku bodoh mata empat?. Asal kau tau, kau tidak akan pernah bisa merebut Bryan dari aku." Kata Rose membuat bingung Ara.
Ara mengernyitkan keningnya bingung, ia tidak mengerti maksud yang dikatakan Rose padanya.
"Apa maksud anda?" Tanya Ara kembali.
"Jangan pura-pura bodoh dan tidak tau. Jika kau sampai berani merebut dia dari aku, aku tak segan-segan akan membuat mu malu dan hidupmu hancur. Camkan itu!!." Jawab Rose dengan ancamannya.
Ara mengerutkan keningnya seraya membulatkan matanya sempurna. "Terserah anda, dan saya tidak pernah berniat merebut apapun atau siapapun dari anda." Ujar Ara dengan nada penekanan sambil mendudukkan pantatnya, lalu menyesap kopi yang telah ia buat tadi.
"Srlluuppp... Enak sekali kopi ini." Puji Ara dengan senyum tipisnya. Rose yang dari tadi melihat Ara menatap Ara dengan sinis. "Mata empat. Mana tugas yang aku berikan padamu tadi?" Tanya Rose.
"Oh, ini mbak. Sudah selesai semua, tinggal menyerahkannya kepada tuan Bryan dan meminta tanda tangan." Jawab Ara seraya menyerahkan map berwarna biru kepada Rose.
"Tanpa kau beri tau, aku sudah tau." Kata rose ketus. Lalu meraih map dari tangan Ara dan melenggang pergi menuju keruangan Bryan.
Jam berlalu begitu cepat. Pekerjaan Ara seudah selesai semua, dan akhirnya waktu pulang telah tiba. Ara membereskan barang-barangnya kedalam tas dan tak lupa ia mengambil jas milik Bryan yang terkena tumpahan kopi.
Ara berjalan menyelusuri lorong kantor sendirian. Sampai ia tiba di lift kantor. Ia memencet tombol lift, lalu memasukinya. Saat pintu lift akan tetertutup, seorang pria menahannya. Ara mengernyitkan keningnya, lalu menatap lekat kearah pintu lift memastikan siapa yang telah menahan pintu lift.
"Oh anda tuan." Sapa Ara. Pria yang disapa Ara membalasnya dengan senyum tipisnya.
"Bagaimana perkajaanmu hari ini? Apakah ada kesulitan?" Tanya pria itu.
"Tidak tuan Bryan, sama sekali tidak." Jawab Ara."Bagaimana dengan anda?" Lanjut Ara bertanya.
"Hari yang melelahkan."
"Pasti pekerjaan tuan Bryan sangat berat dan sulit ya?" Tanya Ara lagi.
Bryan menggelengkan kepalanya pelan. "Lalu?" Tanya nya lagi. "Hanya saja aku merindukan seseorang." Jawab Bryan singkat.
Lift sudah berhenti, pintunya pun terbuka. "Pasti kekasih anda ya?" Tanya Ara memastikan.
"Bukan. Tapi seseorang yang sangat spesial dan sudah lama sekali aku tidak bertemu dengannya." Jawab Bryan gamblang.
Ara menganggukkan kepalanya, walaupun ia tidak tau siapa yang Bryan maksud. Tetapi ia tidak ingin bertanya lebih jauh kepada Bryan, karena takut kalau tidak sopan.
"Kalau begitu saya permisi. " Pamit Ara. Lalu membungkukkan badannya memberi rasa hormat kepada Bryan.
"Tunggu." Tangan Bryan mencekal tangan Ara yang akan pergi keluar dari lift.
Ara menatap sebentar kearah tangannya yang dicekal Bryan. "Maaf tuan, ada apa?" Tanya Ara seraya melepas pelan tangannya dari cekalan Bryan.
"Saya antar kamu pulang!" Tawar Bryan kepada Ara.
"Tidak usah tuan, lagian tempat tinggal saya sangat dekat dari kantor." Jawab Ara menolak tawaran dari Bryan dengan senyum tipisnya yang mengembang.
"Oh begitu, emm...Kalau nanti malam apakah kamu ada waktu?"
"Sepertinya ada tuan, Memang kenapa?" Tanya Ara balik.
"Nanti malam saya akan jemput kamu untuk makan malam bersama." Jawab Bryan. Ara sedikit terkejut mendengarnya, bagaimana bisa atasannya pemilik perusahaan terbesar dikota ini mengajak Ara makan malam. Sedangkan Ara saja baru saja mengenal dan bertemu dengannya, apa lagi Ara banyak yang menganggap penampilannya kampungan.
"Sebelumnya saya minta maaf tuan, bukannya apa-apa. Hanya saja saya tidak pantas makan malam bersama anda." Tolak Ara dengan halus. Bukan maksud Ara menolaknya, akan tetapi ia merasa bahwa ia tidak pantas dan entah kenapa ia merasa ada yang aneh. 'Aneh', itu yang ada dipikiran Ara.
Tampak dari raut wajah Bryan terlihat kecewa. Namun, ia tidak bisa memaksa Ara. Ia takut jika ia memaksanya akan membuat Ara merasa tidak nyaman dan menjauh darinya. "Yasudah kalau gitu, nggak papa." Kata Bryan.
"Saya permisi dulu tuan." Pamit Ara.
Bryan menatap lekat kepergian Ara. Lalu senyum tipis terpancar dari bibirnya. "Belum saatnya kamu tau Deara." Ujar Bryan.
Ara berjalan kaki menelusuri pinggiran kota, ia menuju minimarket tempat Sintya bekerja untuk membeli keperluan makannya dan juga keperluan lainnya.
Ara tidak merasa bahwa sejak tadi ada mobil yang mengikutinya. Mobil mewah yang pastinya hanya orang elit yang bisa memilikinya. Mobil itu dinaiki seorang pria pemilik perusahaan tempat Ara bekerja, Bryan Allan Martinez. Ia ingin tau dimana tempat Ara tinggal. Sampai di sebuah minimarket, mobilnya berhenti dari kejauhan menatap Ara yang memasuki mini market itu.
"Maaf bibi, apakah Sintya sudah pulang?" Tanya Ara kepada seorang wanita paruh baya yang sepertinya pemilik dari minimarket itu.
"Barusan saja ia pergi." Jawab wanita itu. Ara hanya menganggukkan kepalanya dan tersenyum tipis. Lalu ia memilih dan membeli barang yang ia perlukan. Beberapa menit kemudian Ara telah selesai memilih dan kemudian membayarnya.
Ara keluar dari minimarket dengan belanjaan yang ia bawa, berjalan menuju apartemennya. Sampai akhirnya ia telah tiba di apartemennya.
Sedangkan Bryan menatap Ara memasuki apartemennya dari kejauhan. "Ternyata dekat juga tempat tinggalnya." Gumam Bryan, lalu melajukan mobilnya.
***
Malam hari telah tiba. Ara berdiri dibalkon apartemennya yang ada di lantai empat. Seperti biasa Ara sangat suka sekali memandangi langit malam yang cerah dengan dihiasi kerlap-kerlip bintang serta senyum tipisnya yang selalu mengembang. Dari kecil memang Ara sangat suka melihat bintang hingga larut malam. Bahkan ibunya saja sangat kewalahan menunggu Ara yang sampai berjam-jam melihat ke arah langit.
Ara menutup matanya dan menarik napasnya pelan menghirup udara malam, lalu ia keluarkan pelan.
"Sejuk sekali." Gumam Ara. Kemudian Ara kembali membuka matanya dan menatap kembali kearah langit yang dipenuhi bintang. "Sangat indah." Gumam Ara lagi.
"Andai saja ada pangeran tampan dan baik tidak seperti Alvano yang selalu menyakitiku, mungkin hidupku akan sedikit berwarna." Gerutu Ara.
Entah kenapa saat Ara menatap salah satu bintang dilangit, ada sedikit yang aneh. Bintang itu seakan-akan bergerak turun kebumi. "Kenapa bintang itu seperti akan jatuh?" Tanya Ara kepada dirinya. Tidak lama kemudian bintang itu jatuh, Ara menatap kearah bintang jatuh itu. Ia merasa arah bintang itu munuju kepada dirinya. Ara sedikit menundukkan badannya dan menutup matanya, karena ia takut jika bintang itu mengenai dirinya.
'Celebuk'
"Suara apa itu? seperti suara benda jatuh ke air." Tebak Ara.
Ara celingukan melihat-lihat disekelilingnya mencari air yang mungkin dijatuhi suatu benda itu.
"Tadi aku dengar sekali, ada benda jatuh ke air." Gumam Ara memandangi sekelilingnya. Hingga akhirnya ia menemukan sebuah ember berisi air bekas cuciannya tadi pagi. Ara mendekat ke arah ember itu, kemudian menatap lekat kedalam air.
"Tidak ada apa-apa, tapi aku tadi mendengarnya." Gumam Ara lagi.
"Mungkin hanya perasaanku saja." Ara pun menjauh dari ember itu dan akan masuk kedalam apartmentnya.
Cahaya biru terpancar entah dari mana, membuat mata Ara silau. Ara membalikkan badannya melihat kearah cahaya itu berada. "Dari ember." Gumam Ara memastikan. Ia mendekati ember itu lagi, semakin ia mendekat cahaya itu semakin membuat mata Ara silau. Ara menutup kedua matanya, namun tidak terlalu rapat dan masih ada renggangnya.
Ara berjalan pelan, ia takut jika itu benda berbahaya. Sampai akhirnya Ara berani mendekatkan dirinya. Lama kelamaan cahaya itu semakin redup saat Ara mendekatinya. Ara melihat kedalam air yang ada diember itu. "Apa itu? Seperti kalung." Gumam Ara memastikan. Ara memberanikan dirinya mengambil kalung itu, pelan-pelan Ara mengambilnya. Lalu ia menatap kalung itu, kalung dengan liontin bintang dan permata berwarna biru keunguan ditengahnya. "Aneh sekali, apakah kalung ini benar-benar jatuh dari langit?."
Ara membawa masuk kalung itu kedalam apartemennya. Kemudian Ara duduk ditepi tempat tidurnya, memandangi kalung berliontin bintang itu. "Bagus juga kalungnya, apa aku coba pakai saja ya?."
Ara pun berdiri dari duduknya menuju ke meja rias yang terdapat kaca besar. Lalu Ara memasang kalung itu ke lehernya. "Cantik." Gumak Ara memuji kalung itu.
Kemudian Ara mencoba melepas kembali kalung itu. Tapi aneh, kenapa kalungnya tidak bisa dilepas?. Ara mengambil gunting yang ada dilaci meja riasnya, ia mencoba memotong kalung itu. Namun sudah berkali-kali ia lakukan, hasilnya tetap sama. Kalung itu bahkan sangat kuat tidak bisa dipotong dengan gunting atau apapun yang Ara sudah coba.
"Kalung aneh, biasanya kalung lain hanya dengan sedikit tarikan tangan yang kuat saja sudah putus. Bahkan aku sudah mencoba memotongnya, kenapa tetap tidak bisa?." Gumam Ara bingung.
Lalu ia duduk diatas tempat tidurnya dengan memegangi kalung yang ada dilehernya. Entah kenapa detak jantung Ara berdetak dengan cepat saat memakai kalung itu. Rasa aneh muncul dihatinya. Salah satu tangan Ara memegangi dadanya. "Ada apa ini? Kenapa jantung ini berdetak begitu kencang? Dan kenapa ada perasaan aneh muncul dihatiku?" Pertanyaan-pertanyaan dilontarkan Ara.
"Woaah.." Ara menguap. Tiba-tiba rasa ngantuk melanda Ara. Hingga akhirnya Ara tertidur dengan tangan kanannya memegangi kalung dan tangan kirinya diatas dadanya.