Hilang Kontak
Seorang pria khas keturunan perkawinan campuran bernama Griffin Kyler yang memiliki kekuatan tiada batas. Dia seorang mafia yang sangat di segani. Perawakan tinggi setinggi seratus delapan puluh lima centi meter, sangat menjulang bagi orang Asia pada umumnya. Hidung yang macung flashy, rahang yang tegas, dan jangan lupa kulit putih bersih terawat. Mata coklat yang sanggup menjatuhkan lawannya jika menatap bagai elang.
Dia adalah simbol kesuksesan dari seorang pria mapan. Tampan, kaya raya dan berwibawa. Di balik itu, dia memiliki banyak perusahaan senjata moderen. Usianya masih sangat muda dengan satu anak. Hmmm, hot daddy sepertinya. Dia baru saja pulang dari perjalanan bisnisnya menyusuri Eropa. Sebelum pergi, Helia dan Griffin sempat cek-cok mulut.
"Helia, aku tidak masalah kamu jalan-jalan ke manapun. Tapi, pikirkan Nevan." Helia Menajamkan matanya.
"Apa? Gue kawin sama lo bukan mau jadi babu, ya? Sudah ada pengasuh, kenapa lo ribet sih." Setelah perdebatan itu, Griffin mendapat telepon kemudian pergi ke Eropa.
"Papa, pulang sendiri? Mama mana?. " tutur seorang anak laki-laki. Dia berlari membenturkan badannya ke arah Griffin, karena jarak tinggi badan yang terlalu jenjang menjulang, maka Griffin mengangkat tubuh anak itu untuk dia gendong.
Griffin menggendong putra kesayangannya. "Sayang, memang mama pergi?" Dia memandang putranya sambil tersenyum. Lelah karena perjalanan tidak terasa setelah melihat putranya tersebut.
"Baiklah, jagoan . Memang mama pergi?" ucap Graffin pada putra kesayangannya.
"Iya, mama pergi dan sudah beberapa hari tidak pulang-pulang." Dengan santai sang anak mengatakannya. Nevan memang lain dari anak seusianya. Nevan Kyler putra semata wayangnya lebih terlihat dewasa dari usianya. Sesungguhnya, Griffin merasa marah. Akan tetapi, dia tidak mampu marah di depan putra semata wayangnya itu. Dia selalu bisa mengendalikan diri.
"Baiklah. Nevan mau mama, nggak?" tanya Griffin sambil memegang tangan putranya dan meletakkan di pipinya.
"Mau nggak mau, Pa. Nggak ada mama juga nggak apa-apa?" Nevan dengan santai menunjuk mainannya.
"Hah, kau akan menyesal Helia. Anakmu bahkan tidak peduli kamu pergi." Griffin Berkata dalam hatinya. Mengapa dia mau menikah dengan seorang wanita iblis macam Helia.
Griffin membopong putranya dan duduk di ranjang carakter khas anak laki-laki itu. Lelaki itu mengelus-elus puncak kepala putranya sehingga lambat laun anak itu tertidur lelap dalam pelukan Griffin. Lelaki itu menghempaskan nafasnya berat. Ini sudah biasa terjadi. Istrinya akan pergi jalan-jalan ke luar negeri tanpa anaknya, tanpa persetujuan darinya. Jika tidak karena putranya, dia sudah menceraikannya dari dulu.
"Bi," panggil Griffin pada seorang asisten rumah tangga. Dia sudah berusia senja, karena bekerja dari Griffin masih belum ada sampai hari ini.
"Iya, Ndoro." Wanita itu berlari dengan sedikit tergopoh-gopoh. Banyak pelayan yang lain, namun Griffin lebih suka memanggil dan bertanya sesuatu pada Mbok Minah. ART itu bernama Mbok Minah.
"Kemana Helia?" tanya Griffin.
"Anu, itu. Anu, pergi, Ndoro. Nyonya Helia pergi." Wanita itu sedikit gemetar.ar.
"Pergi? Sejak kapan?" Griffin kembali melemparkan pertanyaan.
"Anu, sudah tiga hari."
"Oh, ya sudah. Bibi bisa kembali." Griffin berlalu melenggangkan kaki menuju ke kamarnya. Dia sudah malas dengan istrinya tersebut. Tapi, demi anaknya, dia bertahan dalam rumah tangga yang kacau ini.
"Selidiki semua kemungkinan. Temukan Helia!" perintah mutlak Griffin tidak dapat di bantah lagi.
Ronald, Leo dan juga Nathan sudah sangat hafal dengan perintah mutlak dari pemilik perusahaan senja tersebut.
"Siapkan mobilku!" perintah absolutnya ditujukan kepada body guardnya. Dengan sigap, body guardnya menyiapkan mobil jenis Bugatti Veyron La Voiture Noire yang berharga lebih dari dua ratus milyar. Mobil tersebut hanya diproduksi sebanyak tiga puluh enam buah didunia. Kecanggihan mobil ini sudah tidak bisa diragukan lagi.
"Silakan, Tuan." seorang asisten rumah tangga mempersilakannya untuk masuk ke rumah majikannya, setelah Evander sampai di sebuah rumah mewah gaya arsitektur Eropa moderen.
"Ada apa menantu?" tanya sang empunya rumah. Dia adalah Levin yang orang yang ketahui adalah ayahnya Helia . Lelaki itu mempersilakan menantunya untuk masuk ke rumah mewahnya.
"Anda cari Helia atau suplay dana ke perusahaan anda saya tutup," sarkas Graffin. Mata elangnya menusuk ke sukma setiap yang di tatapnya.
"Tunggu, Menantu! Ini ada apa sebenarnya?" tanya Levin kebingungan, tiba-tiba sang menantu kaya-rayanya menyuruhnya mencari Helia.
"Putri tercintamu pergi entah kemana!" sarkas Graffin. Levin menghembuskan nafasnya sangat lelah. Anaknya itu selalu berulah dari dulu.
"Baiklah, saya akan mencarinya." Levin tidak ada pilihan lain selain mengiyakan yang diinginkan menantunya itu.
Akhirnya, Graffin beranjak dari tempat itu. Dia tahu, pasti keadaan Levin sedang pontang-panting sekarang. Dia tahu Levin dan istrinya. Mereka tidak mau hidup miskin. Termasuk jebakannya untuk menikah dengan Helia, karena Griffin seseorang yang super kaya.
Levin mondar-mandir tidak karuan. Kemana dia harus mencari Helia? Bahkan teman-teman putrinya tersebut saja tidak mengetahuinya. Levin mengacak rambutnya gusar. Istrinya Anggelica melihat suaminya gusar, menghentikan aktifitasnya merawat mukanya dengan masker.
"Papa," Anggelica mendekati Levin dengan wajah masih berkalang masker. Wajahnya bagai mayat hidup atau vampire ala China.
"Hehhh!" Levin melonjak karena kaget dengan keberadaan istrinya dengan muka penuh dengan masker, sehingga terlihat pucat. Bagai mbak Kunti salah satu legenda makhluk halus khas Indonesia.
"Kamu itu, ya? bikin aku kaget aja," mau ngomong apa?" cecar Levin.
"Pa, kita harus cari solusi. Mama nggak mau, ya kalau miskin?" Wanita itu dengan sinis memasuki kamarnya dambil menghentakkan pintu kamar.
Dari pada bingung di rumah, lelaki itu pergi ke rumah sang kakak. Butuh waktu yang lumayan lama untuk sampai di rumah saudaranya. Dia mengendarai mobil yang lumayan mewah untuk sampai di rumah saudaranya.
"Kakak!" suaranya menggelegar memenuhi ruangan itu. Jangankan sopan dan mengucap salam. Bahkan mengetuk pintu saja tidak. Dia langsung nyelonong saja, kayak bajai yang selalu ngepot tanpa klakson.
"Kemu? berteriak layaknya di hutan, Ada apa?" tanya Leonard kakanya.
"Tolong aku! Aku, aku harus bagaimana? Helia pergi dan Griffin menyuruhku mencari. Aku harus bagaimana? Tolonglah aku."
"Lah, kamu mau berurusan sama mafia. Ya begitu itu. Kamu sudah kukasih tahu dari dulu saja ngeyel," ucap Leonard sang kakak sambil menyembulkan asap cerutu yang di hisapnya.
Mereka menuju perdebatan panjang yang tiada ujungnya. Mereka sepertinya akan mecari orang yang mirip dengan istrinya itu untuk mengelabuhi Griffin.
Sementara itu, Griffin menyuruh orang untuk mengikuti Levin."Tuan, ini adalah rekaman yang saya ambil saat tuan Levin pergi ke rumah saudaranya."
Graffin mendengarkan rekaman tersebut dia tersenyum miring. "Anak sama orang tua sama-sama menjijikkan." Tapi, dia masih ingin mengetahui bagaimana akhir kisah menjijikan yang di urai oleh keluarga itu. Apa keputusan yang akan mereka berikan pada permasalahan ini. Demi uang, ya demi uang. Graffin tersenyum menatap layar gawainya yang berisi gambar orang-orang munafik.
"Kakak,bagaimana kalau Diana saja yang menggantikan Helia. Bukankah wajahnya mirip?" Levin memberikan ide.
"Levin, kamu sudah kehilangan kesadaran! kamu akan mengorbankan anakku? Hah. Tidak! aku tidak akan menyetujuinya. Kamu dengar itu? Kau memang tidak waras. Selain dungu kamu goblok!" tukas Leonard.
"Ponakan kamu itu yang membahayakan dirinya sendiri. Dia yang menyerahkan dirinya pada mafia itu," Elak Levin.
"Apa yang terjadi sebenarnya?" seorang wanita cantik keluar dari kamarnya. Dia berperawakan sedang berkulit kuning langsat khas suku asli Indo β Melayu. Rambutnya terurai hitam legam sedikit mengombak. Dia sama persis wajahnya dengan Helia.
"Siapa dia?" Griffin mengernyitkan dahinya melihat gambar wanita itu. Tidak, dia sangat berbeda dengan Helia. Dia lebih kurus dan matanya lebih sipit.
"Ngapain kamu keluar?" tanya Leonard. Leonard tahu, putrinya itu terkadang sedikit aneh. Kalau merasa tertantang dia akan mau menggantikan saudara sepupunya itu.
"Aku pusing dengar kalian saling berteriak. Aku pake head set saja rasanya masih terdengar. Ada pa, sih?" Diana melepas head setnya.
"Tolong gantikan sementara si Helia. Dia pergi entah kemana?"
"Apa yang terjadi, jika aku menolak?" tanya Diana. Wanita itu duduk di kursi sebelah ayahnya dan memeluk ayahnya. Wanita itu memang manja. Griffin begitu muak melihat semua itu.
"Nyawa kita adalah taruhannya."