Chereads / Aku dan Mafia / Chapter 10 - Bikin Keki

Chapter 10 - Bikin Keki

Dengan hati-hati dia membuka pintu kamar. Akan tetapi ternyata mereka sudah tertidur pulas dengan Fatin memeluk putranya itu. Dia mengerutkan keningnya. Mengapa Fatin masih berpakaian yang sama saat dia datang? Griffin sangat murka. Dia menutup kembali pintu kamar anaknya. Rupanya Ronald belum datang dengan pesanannya.

"Ronald! Kau mau mati!" Ronald menjauhkan teleponnya dari telinganya. Teriakan dari bosnya itu sungguh memekakan telinga. Ronald sudah hafal dengan bosnuya itu, maka dia ubah panggilan telepon menjadi vidio call. Dia mempertontonkan pada bosnya tersebut bahwa ada jembatan yang rusak, sehingga tidak bisa sampai tepat waktu.

"Bukan kesalahan saya, Tuan. Saya akan memutar.tapi tidak janji dapat sampai tepat waktu, karena di sini juga macet total." Griffin menajamkan matanya, tapi kemudian menyadari bahwa ini memang bukan kesalhan dari anak buahnya tersebut.

"Tidak usah. Kamu bisa langsung pulang." Ronald merasa lega. Sedangkan Griffin sendiri berpikir sejenak. Ada memang baju-baju milik Sandra keponakannya dan juga milik Helia istrinya. Namun, dia tidak suka jika Fatin memakai baju milik mereka berdua. Biarkan saja, Fatin memakai baju miliknya saja. Dia akan mengingatnya terus saat mengenakan baju itu. Setelah menelpon Ronald dan tidak berhasil mendapatkan pesananya. Lelaki itu kembali masuk ke kamar Nevan.

Saat Griffin teriak, sebenarnya Fatin sudah terjaga. Dia sedikit sewot karena kaget mendengar teriakan dari Griffin. Lelaki itu ternyata bermulut besar. Sukanya teriak-teriak. Fatin bangun dan bermaksud untuk pamit pulang.

"Nevan sudah tidur. Saya harus pulang. Ibu saya pasti cemas karena belum pulang jam segini." Fatin menutup pintu kamar Nevan kembali.

Ada perasaan tidak rela dari diri Griffin saat Fatin pamit. Namun dia merelakan wanita itu pulang. Atau dia tidak mau lagi datang kerumah dan itu berarti dia yang akan rugi.

"Ah, baiklah. Aku akan mengantarmu pulang." Griffin dengan sangat mudah mengatakannya. Padahal pekerjaannya sedang menumpuk setelah ditinggal lebih dari dua hari karena permasalahan diperbatasan.

"Tidak perlu, saya bisa pulang sendiri." Fatin menolah diantarkan oleh Griffin. Dia belum tahu rupanya jika mension ini terlarang untuk kendaraan umum. Mension ini sangat pribadi. Griffin tersenyum, tidak juga menjawab. Dia melihat punggung wanita itu pergi menjauh dari hadapannya. Dia tersenyum miring. Bahkan mungkin dari rumah ini saja dirinya tidak bisa keluar karena sangat luas rumah ini.

Belum genap menit berganti, Fatin sudah kembali ke hadapannya. "Tuan Griffin, boleh meminta tolong?" tanya fatin. Dia nyengir saja meletakkan harga dirinya karena tadi sudah menolaknya.

"Apa?" tanya Griffin yang pura-pura tidak mendnegarnya. Lelaki itu berbalik badan seolah tidak mendengarkan wanita itu bicara.

"Tuan, tolong saya. Saya tidak tahu jalan keluar." Fatin setengah berteriak. Namun Griffin tetap berlalu. Fatin sedikit frustasi. Dia tidak tahu harus bagaimana? Dia bahkan tidak menghafal jalan keluar. Fatin berjalan-jalan menyusuri lorong-lorong itu dan mengingatnya. Wanita cantik itu menandai pilar rumah itu dengan lipstiknya, agar besok lagi tidak nyasar saat kemari. Setelah muter—muter dan berusaha, akhirnya dia dapat keluar.

"Dasar pria arogant, tanpa bantuanmu juga aku dapat keluar dari sini." Fatin memiringkan senyum kecutnya. Dia keluar dari rumah itu. Rasanya sudah lelah. Karena dari tadi muter-muter. Dia juga lapar karena belum makan.

"Ravin, Fatin masih di sana tidak?" tanya Griffin karena CCTVnya tidak menjangkau tubuhnya.

"Masih, Tuan. Dia terhalang oleh pohon didepan rumah. Mau saya panggikan?" tanya Ravin dalam sambungan telepon.

"Tidak perlu. Kamu awasi saja." Griffin memutuskan sambungan teleponnya. Setelah itu kembali mengawasi dari CCTVnya.

"Ravin, kamu tengok dia. Kenapa dia tidak bergerak. Terlihat dari sini kepalanya. Cepat!" Tiba-tiba muncul rasa takut yang berlebihan. Griffin lari lewat tangga yang menjulang untuk turun. Sedangkan satpam tersebut langsung menyerbu ke tempat di mana Fatin terduduk.

"Ya salam, ni bocah sudah buat seluruh mension gempar tidak tahunya dia hanya tertidur. Gampang banget ni bocah ngorok." Tidak lama kemudian Griffin sudah sampai dengan nafas terengah-engah.

"Hah, ternyata dia hanya tertidur? Panggilkan Toni." Ravin langsung lari menuju telepon untuk memanggil Toni. Ravin sudah tahu, jika disuruh panggil Ravin berarti untuk menyiapkan mobil. Toni yang sedang makan tersedak. Dia langsung cepat-cepat minum air putih dan lari ke arah garasi. Sepertinya akan sangat marah sang tuan jika dia tidak langsung datang. Dia langsung menyetarter mobil tersebut begitu sampai di depan.

Toni keluar dari ruang kemudi dan membuka pintu belakang. "Mau saya bantu, Tuan?" tanya Toni.

"Tidak usah!" Toni mengagguk saja. Griffin mengangkat tubuh Fatin untuk diletakkan di jok belakang. Wanita itu tidak juga membuka mata walau tubuhnya dpindahkan. "Busyet, ni anak tidur apa mati? Tidak bangun sama sekali?" Toni berkata dalam hatinya. Tapi tentu saja tidak berani mengucapkannya.

"Jalan!" Griffin meminta Toni untuk jalan.namundirinya sendiri juga tidak tahu kemana jalannya. Rasanya dia serba salah. Mau tanya, takut di bentak. Setelah beberapa meter dari mension tersebut, maka Griffin memberikan secarik kertas pada Toni untuk menuju alamat itu. Toni terlihat mengerutkan keningnya. Perumahan Nusa Dua adalah perumahan kecil yang ada di pinggiran kota. Tapi mungkin memang wanita itu tinggal di pinggiran kota.

Mereka melaju dengan kecepatan tinggi karena memang hari sudah agak malam. Sekarang sudah pukul sepuluh. Ibunya Fatin bahkan sudah gelisah karena anaknya tidak mengabari. Berkali-kali dia mencoba untuk mrnghubungi nomor gawai Fatin akan tetapi selalu hanya suara dari cuctomer service yang terdengar.

Griffin dan mobilnya sudah sampai di perumahan kecil itu. Setelah meninggalkan KTP di satpam depan, maka dia masuk ke blok G seperti dalam kertas yang dia berikan pada Toni sang sopir. Mereka mengikuti prosedur. Meskipun Griffin seseorang yang sangat kaya, bukan berarti dia bisa seenaknya 'kan?

"Mungkin ini rumahnya. Kau turun dan tanya, apa benar ini rumah Fatin." Toni turun dari kemudianya kemudian mengetuk hendle pagar itu agar berbunyi. Maka keluarlah seorang ibu paruh baya sedikit mengomel karena mengira itu Fatin.

"Tuan, saya kira anak saya, sudah malam belum pulang.maaf, Tuan ada perlu apa?" tanya Ibu Fatin dengan ramah.

"Apa ini rumahnya Nona Fatin?" tanya Toni.

"Benar, tapi dia belum pulang, Tuan. Ada perlu apa?biar nanti saya sampaikan." Toni menggeleng. Dia kembali ke mobil sport warna hitam itu dan terlihat mengatakan sesuatu pada seseorang. Ibunya Fatin mengerutkan keningnya bingung. Lelaki itu bertanya, tapi malah mengatakan pada orang lain tanpa memberi tahu tujuannya.

Muncul pria bertuxedo dengan gaya yang begitu elegan. Ibu Fatin menganga, dari mana Fatin mengenal lelaki itu? Mengapa dia bisa datang kemari? Ibunya Fatin masih mengamati saja polah Griffin. Sementara lelaki yang tadi bertanya pada ibunya Fatin terlihat hormat padanya. Berarti itu adalah tuannya.