Pintu kantor itu dibuka kembali." Ayo! Jadi pulang tidak?" Griffin berkata.
Fatin memutar bola matanya. Mengapa lelaki itu susah dipahami kemauannya. Rasanya dia ingin marah dan mengumpat. Fatin bangkit dan mengikuti Griffin dari belakang tangannya mengepal seperti akan meninju Griffin yang selalu membuatnya dongkol.
"Kau bukan pengawalku. Berjalanlah di sampingku." Fatin memutar bola matanya dan melotot sepertinya memerlukan stok sabar yang banyak jika ingin menghadapi seorang Griffin. Dia begitu sangat menjengkelkan.
Bukan tanpa sebab Griffin menginginkan Fatin ada disampingnya. Sebentar lagi masuk lift. Fatin 'kan fobia masuk lift, kemarin saja, dia pingsan di dalam lift. Kali ini pasti sama. Dia butuh seseorang yang membuatnya merasa nyaman.
"Tuan," panggil Fatin.
"Hm, panggil namaku saja." Griffin menoleh ke arah Fatin.
"Hmmm, boleh tidak kalau kita naik tangga saja?" Griffin menoleh kepada Fatin. Iya kali naik tangga. Ini lantai tiga puluh. Naik tangga kapan sampainya? Griffin tidak menjawab perkataan Fatin. Dia menggenggam jemari Griffin dan menariknya masuk ketika lift sudah terdengar berdentang dan terbuka. Fatin mulai bereaksi. Dia mengeluarkan keringat dingin. Reflek tangannya menggenggam tangan Griffin sangat kuat, sehingga Griffin mengerti kecemasan Fatin. Lelaki itu meraih tubuh wanita itu dan memeluknya erat.
"Pejamkan matamu. Anggap saja naik mobil." Griffin memeluk pinggang Fatin dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya berada di kepala belakang Fatin. Wanita dengan tinggi seratus lima puluh lima itu merasa nyaman dengan aroma parfum maskulin yang menyeruak dari dada Griffin. Mereka memejamkan mata berdua, sehingga tidak menyadari jika lift tersebut sudat terbuka.
Beberapa orang yang melihat mereka menyaksikannya dan mengerutkan keningnya. Griffin memeluk gadis penjual bunga itu? Memang gadis itu sangat pintar merayu. Demikian pandangan beberapa orang. Griffin baru menyadari beberapa saat, ketika terdengar bisik-bisik beberapa orang. Dia menoleh dan melihat beberapa orang sudah berlkumpul. Griffin melepaskan pelukannya, mengganti dengan menggenggam tangannya.
"Kenapa? Apa kalian belum pernah lihat orang pacaran?" tanya Griffin. Dia menarik tangan Fatin untuk berlalu dari kerumunan itu. Fatin sendiri membelalakan matanya mendengar pernyataan dari Griffin.
"Lepas, ih." Tapi Griffin tidak melepaskannya. Hingga sampai di tempat parkir, dia membuka mobilnya dengan remot. Dua cicitan terdengar pertanda pintu sudah tidak terkunci. Griffin membuka pintu tersebut dan membimbing Fatin untuk masuk. Sedangkan dirinya berputar lewat depan mobil untuk menjangkau kemudi.
"Mengapa kamu bilang kalau kita pacaran? Aku bukan pacarmu!" Fatin protes.
Griffin tidak menanggapi. Dia hanya menoleh saja, kemudian kembali fokus ke jalanan.
"Heh, beruang drizly. Aku bicara padamu!" Fatin terlihat sangat kesal, tapi Griffin tetap saja santai.
"Hahaha, beruang drizy? Aku memang beruang drizly dan kau Mashanya, gadis kecil. Kalau kau tidak mau menjadi pacarku, berarti kau mau menjadi istriku. Besok kita menikah." Fatin semakin geram. Dia mengeratkan genggaman tangannya dan siap untuk meninju Griffin.
"Ait, jangan KDRT. Kalau kamu melakukannya, saya jamin sekarang kita tidak akan sampai ke Floris. Tapi ke KUA dan kau berakhir di ranjang kamarku." Fatin sangat frustasi dan memilih untuk mengalah.
"Terserah!" Dia menutup wajahnya. Griffin tersenyum melihatnya. Ini sepertinya menjadi hobi barunya. Dia sangat suka melihat wanita itu frustasi dan mengalah padanya. Griffin menghentikan mobilnya tepat di depan Floris itu. Fatin masih saja menutup wajahnya.
"Ronald, bawa sepeda kekasihku kembali ke floris. Ah, tidak, belikan yang baru yang lebih canggih yang tidak mengayuh. Aku tidak mau dia kelelahan." Fatin membuka tangannya dari wajahnya.
"Mengapa kamu suka seenaknya? Sepeda itu sangat bersejarah untukku." Fatin melotot ke arah Griffin.
"Kau masih bisa memakainya. Aku akan antarkan sepedamu pulang. Tapi, jika kerja menggunakan sepeda baru. Aku tidak mau kamu kelelahan. Apalagi, saat sore mengasuh Nevan. Mau ikut denganku lagi, atau mau turun?" Fatin memutar bola matanya. Kemudian memjamkan matanya untuk sesaat, untuk menetralkan rasa dongkolnya yang sudah diatas ubun-ubun. Tanpa sadar Griffin sudah turun dan membuka pintu mobil di samping Fatin susuk. Fatin membuka matanya karena mendnegar pintu mobil di buka. Setelah itu mengucapkan terima kasih dan turun.
Grifin meraih tangan Fatin dan menggenggamnya. Getaran dada kedua insan itu sama-sama berpacu sangat kencang. "Aku kembali ke kantor, Manisku." Griffin mengedipkan matanya dan membuat Fatin memerah wajahnya. Lelaki itu menarik tubuh Fatin sehingga sangat dekat, kemudian cup ... satu buah kecupan mendarat di pipi Fatin.
Griffin melepaskan cekalannya, sedangkan Fatin masih ternganga dengan yang dilakukan Griffin. Wanita itu memegang pipinya bekas dicium Griffin. Sedangkan Griffin sudah masuk ke mobil dan menghidupkan mobilnya . Dia melambaikan tangannya dan membunyikan klakson sehingga Fatin kembali pada kesadarannya.
Fatin mengacak rambutnya karena frustasi. Sepertinya dia harus memeriksakan dadanya dan jantungnya. Sepertinya dia terkena serangan jantung mendadak.
"Cie-cie yang baru diantar oleh babang Griffin." Dinda menggoda Fatin.
"Ck, tau ah ...." Fatin balik badan dan masuk ke dalam Floris itu.sedangkan Dinda meneruskan mengantar pesanan bunga. Fatin masuk ke dalam ruangan belakang untuk melanjutkan merangkai bunga. Dia menjadi pendiam tidak cerewet seperti biasanya. Rasanya sangat tidak menentu. Dada Griffin yang telanjang sehabis mandi, ciuman Griffin yang dicuri darinya baru saja, wajah tampan dia yang berjarak sangat dekat, mata coklat sedikit kebiruan milik Griffin, aroma tubuhnya yang wangi dan gentlement, semua memenuhi pikiran Fatin. Lelaki itu sudah menjadi virus dalam pikirannya, sehingga merasuk dan memenuhi pikirannya.
Fatin mengacak kepalanya berusaha merontokkan lelaki itu dari pikirannya. Tetapi selalu saja ada celah untuk lelaki itu masuk ke area pikirannya. Fatin menjadi tidak konsentrasi dalam bekerja. Dia berkali-kali salah dan tertusuk oleh duri-duri bunga mawar.
"Au," Aduh Fatin. Rasya memperhatikannya. Dia segera bangkit tapi tidak bisa menjangkau letak Fatin yang jauh darinya, karena bunga-bunga bertebaran di antara mereka.
"Kau kenapa?" tanya Fatin.
"Entahlah, tanganku tergores." Fatin menunjukkan jemarinya yang baru saja dia masukkan ke mulut untuk menghisap darahnya yang keluar dari jemarinya.
"Hati-hati." Fatin mengangguk. Dia tahu, ini kesalahannya karena tida konsentrasi. Fatin melanjutkan merangkai bunga tersebut. Dia harus cepat menyelesaikan,s ebelum beruang drizly menjemputnya. Fatin merangkai bunga dengan sangat lincah, sehingga Griffin sedikit lenyap dari pikirannya. Siang hari sudah menjelang. Matahari bersinar sangat terik siang ini. Fatin bangkit dan bermaksud untuk kebelakang makan siang. Karena setelahnya, dia akan menghantarkan rangkaian bunga ke pelanggan.
"Kemana Fatin, Kakek?" Suara itu terdengar sangat Familier? Fatin memutar bola matanya. Sepertinya, dia memang tidak bisa berhenti jauh dari beruang drizly itu. Tapi, Fatin tetap melangkah ke belakang.
"Rasya, panggilkan Fatin. Bilang, papanya Nevan ingin bertemu." Perintah Kakek Bagyo setelah di bagian ruang rangkai hanya ada Rasya.
"Baiklah, Kakek. Saya akan memanggilkannya." Rasya bangkit dan kebelakang untuk memanggilkan Fatin, seperti perintah kakek Bagyo.
Fatin terlihat sedang membalut lukanya. Rasya membantunya dan mengomelinya seperti kakak mengomeli adiknya. Ya, Fatin memang menganggap Rasya yang lebih dewasa dari pada dia, sebagai kakaknya.