"Wah, sebuah kemajuan mau bawa istrimu kemari." Seorang perempuan cantik dengan dandanna ala China menghampiri mereka. Fatin memejamkan matanya. Dia sudah tahu endingnya. Orang lain hanya akan menyangka dia istri Griffin. Entah mengapa rasanya marah dan jemburu. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya diam membisu.
"Sembarangan kamu, Alice! Dia belum jadi istriku sekarang. Helia minggat entah ke mana. Mungkin, kamu benar. Dia harus segera menjadi istriku." Griffin menaik turunkan alisnya, sehingga Fatin mengerutkan dahiya.
"Orang ini memang benar-benar tidak tahu diri. Lama-lama ngelunjak," batin Fatin.
"Kau mau 'kan, Sayang?" tanya Griffin.
"Sayang, sayang pale lo peang?" sarkas Fatin.
"Hahahaha ... sepertinya kamu ditolak, Fin. Ya sudah, aku panggilkan pelayan dulu. Kalian enjoy ya? Kebetulan aku mau keluar. Yang sabar menghadapi Griffin ya, Nona. Dia memang sesuka hati,tapi baik kok." Alice berbisik di telinga Fatin, tapi tentu saja masih didengar oleh Griffin.
"Terima kasih, Nona." Fatin mengucapkan terima kasih pada Alice.
***
Fatin sore ini ke rumah Griffin seperti biasanya. Kali ini, dia dijemput oleh sopir wanita. Namanya Divia. Dia baru di Jakarta, sehingga jalan-jalan juga belum hafal betul.
"Nona, saya belum hafal jalanan. Saya baru bekerja. Tolong beri saya petunjuk." Divia memohon pada Fatin untuk memberinya petunjuk.
"Baiklah, namamu siapa?" tanya Fatin.
"Saya Divia, Nona." Divia mengatakannya.
"Aku Fatin. Saya bukan majikanmu. Sebaiknya perlakukan seeprti teman saja. Aku hanya pengasuhnya tuan muda Nevan. Kau boleh pura-pura didepan Tuan Griffin kalau dia yang menyuruh, tapi diluar itu, jadilah temanku." Fatin tersenyum mengatakannya, sehingga Divia mengerti.
Mereka sudah sampai di rumah Griffin. Fatin langsung masuk saja, disambut oleh para pelayan. Dia dilayani sebagaimana tuan rumah. Fatin merasa tidak nyaman dengan perlakuannya itu.
"Bibi, tidak usah begitu. Aku sama dengan kalian." Fatin memberi tahu kepada pelayan.
"Tidak, Nona. Tuan Griffin menyuruh kami melayani anda." Fatin memejamkan matanya untuk menetralkan emosinya karena lagi-lagi lelaki itu biang keroknya.
"Kau bisa melakukannya kalau ada dia. Kalau tidak ada, biarkan saya melakukannya. Saya pengasuh tuan muda Nevan, jadi saya yang bertanggung jawab atas semua yang ada pada diri tuan muda." Fatin memberi tahu pada para pelayan.
"Tidak, Nona. Kata tuan Griffin, anda calon istrinya. Jadi, kami harus melayani anda."Pelayan itu tetap menjelaskan bagian pekerjaannya.
"Apa? Jangan macam-macam. Aku bukan calon istrinya, Bi. Jangan ngawur." Fatin menepuk pundak sang bibi dengan lembut.
"Siapa yang kau bilang ngawur? Aku sudah melamarmu pada ibumu, dan dia setuju kita menikah." Fatin membelalakkan mata. Sekali lagi si beruang drizly itu membuat dia sebal. Mengapa membuat keputusan sebesar ini tanpa berunding.
"Hai, kau jangan ngaco. Kau melamarku lewat ibuku, tanpa tahu jawabanku? Kau gila!" Fatin semakin merasa frustasi.
"Iya, aku memang gila, karena aku tergila-gila padamu, Nona Fatin Pelangi. Jadi, jangan coba lari dariku. Kau akan menjadi istriku. Aku tidak mau kau bicara dengan pria-pria brengsek yang suka memandangmu itu." Fatin mengerutkan keningnya.
"What? Kau akan mengurungku? Aku menyesal pernah berurusan dengan pria brengsek sepertimu, Beruang Drizly!" Fatin berjalan menghentak-hentakkan kakinya. Dia masuk ke kamar Nevan dengan perasaan dongkol. Nevan sendiri sedang menggambar bersama pengasuhnya.
"Mama sudah datang? Mama kenapa? Apa bertengkar dengan papa lagi?" tanya Nevan dengan polos.
Fatin tercekat. Bagaimana seorang anak paling sensitif dengan keadaan orang tuanya. Fatin akan mengalihkan perhatian anak itu.
"Ah, Nevan sayang, mama tidak berantem. Hanya sedikit berdebat. Orang dewasa memang suka berdiskusi. Sekarang kamu sudah selesai belajarnya?" tanya Fatin.
"Sudah, Ma. Nevan hanya sedang menggambar." Fatin tersenyum. Nevan memang bagus kalau menggambar. Terlihat lebih nyata dan natural.
"Boleh mama lihat?" Nevan mengangkat kertas gambar tersebut dan menunjukkannya kepada dirinya.
"Nevan menggambar siapa? Mbak, kamu bisa tinggalkan kami kalau mau istirahat." Suster tersebut mengangguk dan meninggalkan kamar Nevan.
"Ini menggambar, Mama. Mama kamu, bukan mamaku yang Helia. Kalau mama helia matanya coklat dan bibirnya sedikit lebih tebal." Fatin mengerutkan keningnya. Ternyata, Nevan sudah tahu bahwa dirinya bukan Helia.
"Kau sudah tahu, Sayang? Sejak kapan?" tanya Fatin.
"Sejak pertama. Aku sudah tahu. Tapi, aku lebih suka kamu dari pada mamaku Helia yang hanya sibuk dengan menelpon jika bersamaku. Dia juga suka marah-marah. Tidak seperti mama kamu, yang baik." Fatin mengerutkan keningnya. Untuk pertama kalinya Nevan mengatakan semuanya. Mengatakan kalimat yang panjang dan mencela ibu kandungnya.
"Tapi, boleh mama bilang sesuatu sama Nevan?" tanya Fatin. Batin dia, ini kesempatan untuk dirinya lepas dari pernikahan gila yang dirancang oleh Griffin.
"Ada apa, Ma?" Anak lelaki itu meletakkan alat tulisnya dan menggenggam tangan Fatin. Mirip seperti lelaki dewasa yang menenangkan kekasihnya. Fatin kaget dengan perlakuan Nevan padanya.
"Nak, dari mana kamu belajar ini?" tanya Fatin. Sepertinya, Nevan dewasa sebelum waktunya.
"Aku belajar dari Uncle Gio. Uncle Gio menggenggam tangan Aunt Clara kalau Aunt marah padanya. Mama mau marah padaku 'kan?" Fatin menarik nafasnya sangat dalam. Dia rupanya sering melihat adegan dewasa. Jangan-jangan, dia juga sering melihat adegan hot keduanya?
"Oh, mama tidak marah. Sekarang, kita makan saja, yuk? Setelah itu Nevan boleh bobo' atau mau mama temani main vidio games?" Fatin memberikan pilihan pada Nevan.
"Aku mau bermain dengan mama saja, agar papa tidak mengambil mama dariku." Fatin mengerutkan keningnya.
"Papa, mengambil mama darimu? Papa membawa mama kemari untukmu." Nevan tersenyum nyengir. Pikiran bocah kecil itu sudah mendewasa, cara bicaranya juga sudah seperti orang dewasa.
"Kalian mau kemana?" Mereka berjumpa Griffin di depan pintu.
"Kami mau makan, Papa. Ini malam minggu, jadi Nevan mau memanjakan mama." Griffin dan Fatin saling berpandangan. Bagaimana mungkin anak kecil bisa berbicara demikian?
Nevan sudah berjalan mendahului mereka. "Bagimana cara kalian mengasuh Nevan? Dia dewasa sebelum waktunya. Kalian ini, ck bener-bener." Fatin meninggalkan Griffin.
"Fatin, tunggu!" Griffin menarik tangan Fatin hingga tubuh Fatin membentur dada Griffin. Mata mereka saling bertemu. Fatin mendorong Griffin setelah sadar posisi mereka dan Nevan memanggil Fatin. Mereka saling melepaskan diri. Sedangkan Nevan tertawa terbahak-bahak melihat dua orang dewasa itu salah tingkah. Nevan sendiri berjalan menyusuri lorong untuk sampai ke ruang makan. Mereka makan malam bersama.
"Mama, ambilkan papa makanan. Mama harus romantis." Fatin menyapu wajahnya kasar bagaimana mungkin anak sekecil itu bisa berpikir sesuatu sejauh itu? Akan tetapi, mau tidak mau dia harus melakukannya. Fatin tidak pernah bisa bilang tidak pada lelaki kecil di depannya itu. Fatin mengangkat piringnya Griffin, sedang Fatin konsen dengan mengambilkan makanan, mereka berdua yaitu Griffin dan juga Nevan melakukan tos dibawah meja.
"Kurang ajar! Gue tahu si Beruang Drizly itu ngerjain gue. Awas kalau ada kesmpatan, giliran gue ngerjain elo." Hati Fatin bergejolak dan ingin rasanya dia memakan hidup-hidup Griffin. Lelaki itu memang suka sekali mencari kesempatan dalam kesempitan.
Fatin memiliki cara untuk ngerjain Griffin. Lelaki itu paling tidak bisa makan pedas. Maka, dia memberikan cabai didalam nasinya. Tidak banyak, hanya tiga saja. Dia mengambil cabai utuh yang ada di masakan tahu kecap, karena memang Fatin suka tahu kecap dan minta dimasakan tahu kecap. Fatin tersenyum jahat kearah Griffin.