Chereads / Aku dan Mafia / Chapter 21 - Dia Menginginkanmu

Chapter 21 - Dia Menginginkanmu

Pipi Dinda merona. Kata-kata kakek membuatnya tersipu malu. "Boleh, jika Dinda sudah siap melahirkan anak-anakku." Dinda makin tersipu malu. Oleh karena itu dia memilih pergi dari hadapan mereka berdua.

Sementara itu, Fatin berdiri ketika lampu pada ruang operasi sudah mati dan terlihat tubuh Griffin dikeluarkan dari ruang itu. Dia masih terpejam. Fatin meluruhkan air matanya melihat Griffin dalam keadaan lemah. Dia mendorong barak itu membantu suster. Mereka berhenti ketika beberapa meter sampai ke ruang rawat. Sengaja, memilih kamar yang berdekatan dengan ruang ICCU agar Fatin mudah menjangkau.

"Terima kasih, Dokter dan Suster. Dokter, bagaimana sebenarnya keadaan Bang Griffin?" tanya Fatin. Dokter mengerutkan keningnya. Dia harus memastikan siapa wanita didepannya itu.

"Maaf, Nona. Anda siapanya pasien?" Dokter tersebut sepertinya baru. Jadi belum mengenal Griffin pemegang saham nomer satu di rumah sakit itu.

"Dia calon istrinya, Dok." Toni yang baru datang menjawab. Pipi Fatin bersemu merah.

"Oh, keadaannya baik, sudah stabil. Peluru sudah diambil, hanya pengaruh anastesi saja. Dia memang kehilangan banyak darah, jadi mungkin nanti akan perlu lagi kantong darah. Stok darahnya AB termasuk stok darah yang langka." Fatin mendengarkan keterangan dokter dengan seksama.

"Oh, terima kasih." Fatin mengangguk-angguk.

"Baik, kalau begitu saya permisi." Dokter pergi dari ruangan itu. Tidak berapa lama, datnglah Nathan, sahabat Griffin sekaligus dokter pribadinya.

"Mas Nathan?" Fatin tersenyum dengan Nathan.

"Iya, maaf aku terlambat. Bagaimana keadaannya? Kita masuk." Natan mempersilakan Fatin untuk masuk ke ruangan Evander.

"Kata dokter tinggal penyembuhan saja." Nathan menggut-manggut.

"Fin, bangun. Lo nyesel kalau tidak bangun. Fatin ada di samping lo. Katanya mau nikahin dia?" Fatin terbelalak. Walau sudah dengar kalau Griffin memang selalu bercanda akan menikahinya, tapi dia belum percaya karena Griffin memang suka godain dia saja. Lagi pula, Griffin masih berstatus suami orang.

"Hus, apaan dokter Nathan ih, nggak lucu. Aku hanya pengasuh anaknya, Dok." Fatin memang sudah mengenal Nathan. Dia yang mengasuh Fatin saat pingsan dan sakit dulu.

"Tidak, Griffin menginginkanmu, Fat. Aku belum pernah lihat dia tergila-gila dengan seorang wanita seperti tergila-gila padamu." Wajah Fatin merona. Tapi dia harus tenang dan tidak boleh kegeeran.

"Dia sudah punya istri, Dok. Saya tidak mau di cap pelakor. Saya juga seorang wanita. Sakit rasanya kalau pasangan kita selingkuh." Ada rasa kecewa di wajah Fatin. Nathan sebagai dokter yang mengetahui sisi kejiwaan tahu arti ekspresi wajah Fatin.

"Kau tidak tahu, bahwa hubungan mereka hanya formalitas? Griffin di jebak. Bahkan setelah mereka menikah, Griffin tidak pernah menyentuhnya." Ada rasa bahagia dalam diri Fatin sekaligus sedih. Seandainya Griffin masih sendiri, mungkin dia akan memeprtimbangkannya. Tapi, Griffin sudah beristri. Apapun alasannya, tidak dibenarkan dia merebut dari tangan istrinya.

"Kau tidak kasih sama Griffin? Dia adalah pria yang baik sebenarnya. Istrinya hanya memanfaatkannya saja. Dia akan segera bercerai. Kamu mau 'kan kalau dia duda? Menikah dengannya?" Fatin menggeleng. Tapi Nathan tahu, bahwa arti menggelengnya tersebut bukan karena menolak. Hanya karena hal yang dia katakan. Dia tidak ingin menjadi duri dalam rumah tangga orang lain. Fatin berbalik arah tanpa pamit dengan dokter. Ya, dokter Nathan membiarkan saja. Fatin perlu waktu untuk sendiri. Dia terlalu syok mendengar kenyataan yang sebenarnya.

Toni yang baru datang karena pergi membeli makanan melihat Fatin pergi dengan mengusap air mata bingung. Dia masuk ke ruangan Griffin. "Ada apa?" tanya Toni.

"Apanya?" Nathan tidak tahu yang dimaksud Toni.

"Itu, nona kenapa nangis?"

"Oh, aku sudah mengatakannya, bahwa Griffin mau melamarnya." Toni mengerutkan alisnya.

"Kok malah nangis?"

"Takut dikira pelakor."

"Oh," Toni memberikan satu bungkus pizza pada Nathan.

"Kasih Fatin saja." Nathan menolak.

"Ni, dia yang paling gede." Nathan menerima bungkusan pizza itu. Setelah Nathan menerimanya, Toni keluar dari ruangan itu dan mendekati Fatin yang sedang menangis di ruang tunggu dengan tangan menutup wajahnya.

"Nona, pizza untukmu. Ini juga ada tisu. Aku mau memelukmu tapi nanti tuan akan marah. Jadi kuberi tisu saja." Toni tertawa renyah.

"Jangan mentertawakanku."Fatin mengusap air matanya dengan tisu yang diberikan oleh Toni.

"Dokter Nathan sudah cerita kenapa nona menangis. Aku menjadi sopirnya sejak tuan masih bocah. Nona tahu, dia tidak pernah jatuh cinta sama siapapun. Dia hanya bekerja dan bekerja." Fatin menoleh kepada Toni. Seakan memberikan ruang kepercayaan pada yang diucapkan Toni.

"Kalau tidak pernah jatuh cinta, kenapa bisa menikah dan punya anak?" tanya Fatin.

"Dia dijebak, Nona. Dan itu salahku karena saat itu aku juga tertidur. Saat itu pesta, entah minuman apa yang sudah diberikan. Kami tertidur. Aku masih utuh di ruangan, sedangkan tuan sudah dibawa entah kemana." Fatin mendengarkan setiap runtut cerita yang disampaikan oleh Toni.

"Setelah itu, beberapa bulan kemudian ada wanita menyuruhnya bertanggung jawab atas janin yang dikandungnya. Sampai hari ini juga apakah tuan muda putra kandungnya Griffin atau tidak, tidak tahu. Karena tuan Griffin tidak bersedia tes DNA. Putranya atau bukan, dia menyeyanginya." Fatin trenyuh dengan cerita dari Toni. Akan tetapi setelah itu mengusap wajahnya kasar.

"Mas Toni tidak coba membohongiku 'kan?" Fatin mencari kebenaran dari perkataan Toni.

"Aku sudah tua, Nona. Aku sudah empat puluh tujuh tahun. Untuk apa aku membohongi bocah seeprtimu." Fatin memejamkan matanya. Ada rasa hangat yang menyusup di jiwanya.

"Berarti aku panggil paman saja, ya? Tapi, apapun, dia masih beristri, Paman." Toni mengangguk mencoba mengerti.

"Dimakan pizzanya. Tuan akan marah-marah kalau kamu kelaparan. " Fatin membuka box pizza itu. Dia makan pizza itu walau sebenarnya hatinya masih campur aduk tak karuan. Ada gelenyar aneh merasuk ke dalam relung jiwanya. Ada kebingungan pada kenyataan dan rubrik-rubrik kecil yang harus dia satukan antara kehidupan-kehidupan yang saling berserakan.

Dokter dan para suster terlihat datang ke dalam ruangan ibunya. Terlihat tergopoh-gopoh. "Dok, ada apa?" tanya Fatin.

"Tidak ada apa-apa, Nona.Hanya pemeriksaan saja." Fatin kembali tenang dan kembali duduk menikmati pizzanya. Akan tetapi, pizza yang dia makan terasa seperti sekam.sulit sekali dikunyah dan ditelan. Rasanya tidak enak semua. Dia terbayang saat bercanda dengan ibunya. Mengapa ibunya tidak kunjung siuman? Sebenarnya ibunya sakit apa?

Fatin makan tapi matanya kosong. Toni hanya bisa menghembuskan nafas pasrah. Dia tidak berhak menghibur Fatin. Jika tuannya usil dan melihat CCTV, akan sangat berbahaya. Tuannya akan sangat marah. Griffin orang yang over protektif dengan apa yang dimilikinya.

"Toni, ah Fatin. Griffin sudah siuman. Kemarilah." Fatin berlari mendekati Fathan. Dia berhenti di depan kamar, mungkin sadar akan apa yang dilakukannya. Terlihat Griffin meringis merasakan nyeri. Fatin tidak bisa menahan emosinya lagi. Dia berlari mendekat. Tidak terasa air mata luruh jatuh menganak sungai di pipi cantiknya. Nathan dan Toni meninggalkan Fatin.

"Kau siapa?" Fatin mengerutkan keningnya. Griffin tidak mengenalinya.

"Aku ... aku pengasuh anak anda,Tuan." Fatin tidak tahu, jika tertembak bisa amnesia seperti itu. Griffin tersenyum. Ingin rasanya dia meledakkan tawanya melihat Fatin yang demikian bingung.

"Ya sudah, kalau tuan tidak ingat denganku." Fatin ngambek dan akan pergi. Akan tetapi, Griffin mencegah dengan memegang pergelangan tangan Fatin. Sehingga tubuh Fatin limbung karena memang dia lemas banget.

"Kau menangis? Jangan menangis. Aku tidak apa-apa. Kau khawatir, ya? Tenang saja, mana mungkin aku melupakanmu. Kalau ada yang ingin aku temui setelah sadar, adalah kamu." Griffin memeluk tubuh padat milik Fatin sehingga dada sintalnya terasa menonjol dalam dada Griffin. Fatin tidak memberontak.

"Ehem ...." Sebuah deheman terdengar.