"Abang!" Fatin menjerit setelah dapat terlepas dari Griffin. Griffin tertawa terbahak-bahak mendengar teriakan Fatin. Sedangkan para body guard hanya geleng-geleng kepala melihat dua majikannya yang kekanak-kanakan.
Ternyata, Griffin membangunkan Fatin dengan melumat bibirnya. Fatin hanya mengulat saja, hingga Grifffin menggigit lembut bibir Fatin bagian atas. Fatin baru kaget dan menjerit. Tapi Griffin tidak luput dari tonjokan Fatin yang kaget ada orang yang menciumnya.
"Ih, kesel deh. Main cium-cium sembarangan." Fatin keluar dari dalam mobil dengan merajuk dan menghentak-hentakkan kakinya ke dalam.
"Sayang, aku bagaimana jalannya? Kakiku sakit!" Griffin berteriak. Fatin menepuk jidadanya telah meninggalkan kekasihnya sendiri, padahal Griffin sedang terluka. Mau tidak mau dia kembali. Padahal Griffin hanya manja saja.dia bisa berjalan walau pakai tongkat.
"Maaf, ya? Aku sudah menciuymmu dan menggigit bibirmu tanpa ijin. Habisnya kamu imut dan menggemaskan. Dibangunin susah. Ya aku cium saja." Fatin memutar bola matanya.
"Malu, ih. 'Kan ada di tempat umum , Abang. Main nyosor saja." Fatin bersemu merah. Bagaimana tadi pasti9 menjadi tontonan gratis.
"Mereka tidak melihat." Griffin tersenyum puas.
"Mereka punya mata, Abang. Bagaimana tidak melihat? Mau di sini atau langsung ke kamar?" tanya Fatin.
"Kamar saja, tapi temani, ya?" Griffin mengeluarkan mata memelasnya.
"Mereka memang punya mata, tapi Abang suruh balik badan. Jadi aman." Griffin menaik-turunkan alisnya.
"Ih, sebel!" Fatin masih merajuk sambil memapah tubuh Griffin.
"Tapi suka dan cinta 'kan?" Mereka berhenti dan Griffin mengedipkan satu matanya genit. Fatin mencubit perut Griffin.
"Au, sakit. Aku 'kan sedang sakit, Sayang. Kok ditambahin? Kalau aku tidak sembuh-sembuh bagaimana?" Griffin pura-pura merajuk.
"Biarin wek!" Fatin menjulurkan lidahnya, hingga Griffin tertawa ngakak.
Mereka naik tangga yang terakhir. Setelah itu menuju kamar Griffin. Fatin membuka pintu kamar dan pelan-pelan membimbing lelakinya masuk kamar. Dia mendudukkan Griffin di bed king zise.
"Aku lihat Nevan dulu, ya? Habis itu temani kamu." Griffin yang manja menggeengkan kepalanya. Untuk hari ini, dia mau memonopoli Fatin. Sore nanti juga dia akan pergi menjenguk ibunya. Jadi dia tidak akan memperkenankan wanitanya pergi dari sisinya walau sebentar.
"Ih, ngalah dikit dong. Nevan juga butuh aku, Sayang." Griffin membelalakkan matanya. Dia sangat bahagia Fatin memanggilnya sayang.
"Apa, tidak dengar. Nevan butuh aku juga." Fatin mengulang kalimatnya.
"Bukan. Tadi panggil aku apa?" Griffin memandnag lekat wanitanya.
"Sayang, ada yang salah? Kalau salah aku tarik kembali." Fatin mengerucutkan bibirnya.
"Jangan! Aku suka dan aku bahagia." Griffin merengkuh tubuh Fatin dan memeluknya. Punggung Fatin terasa hangat oleh tetesan air. Fatin melepaskan pelukannya. Ternyata Griffin menangis. Untuk pertama kalinya, lelaki itu terlihat sangat lemah dan rapuh.
"Hai, jagoanku menangis?" Griffin terlihat seprti anak kecil, Fatin mengusap air mata lelaki tiga puluhan tahun itu dengan ujung jarinya.
Griffin semakin gemas dengan Fatin yang menaruh iba padanya. Pandangan mereka salig intens bertemu. Hingga Griffin meraih tengkuk Fatin. Wanita itu seakan sudah paham setelah sebelumnya pernah melakukannya dengan Griffin. Entah mengapa, dia percaya pada Griffin. Griffin langsung menyambar bibir kenyal wanitanya dan melumat habis. Griffin melepaskannya setelah tubuhnya memanas. Bisa-bisa, juniornya akan sulit ditaklukkan dan butuh perjuangan untuk menidurkannya kembali.
"Kau milikku. Besok kita menikah." Griffin mengatakannya tepat di telinga Fatin.hingga seluruh tubuh itu merinding dan terasa darah berdesir naik di kepala.
"Besok? Tapi ib ... hmmph ...." Griffin sekali lagi mencium kekasihnya itu. Kali ini sangat singkat.
"Jangan khawatir. Ibu sudah siuman. Kita akan menikah di rumah sakit. Kalau kamu mau pesta, kita pakai privat pesta saja. belum saatnya aku mempubikasikan kamu. Aku tidak rela mereka mengejarmu." Fatin tidak mengerti yang dibicarakan Griffin tapi dia merasa bahagia sekaligus malu.
"Ibu sudah siuman? Aku mau ke rumah sakit." Griffin mengangguk.
"Gawaiku mana?" Fatin memberikan ponselnya.
"Oh, sekarang jadi kita? Gawaiku, milik bersama. Pintar kamu, Manisku." Griffin mencubit pipi Fatin.
"Hallo, Toni. Sopir wanita mana? Suruh mengantar istriku." Toni diluar memanggil Divia. Sedangkan Fatin sudah siap-siap untuk pergi ke rumah sakit.
"Sayang," Griffin memanggil Fatin yang hampirsampai di ambang pintu.
"Ada apa?" Griffin melambaikan tangannya menyuruh wanitanya untuk mendekat.
"Tinggalan untukku mana?" Griffin berbisik setelah satu ciuman mendarat di bibir Fatin.
"Ih, dasar mesum." Fatin merona tapi satu ciuman mendarat di pipi Griffin. Lelaki itu tersenyum dan tertawa terbahak-bahak. Ternyata sesederhana itu juga bahagia. Griffin bangkit dan akan mengantar Fatin ke bawah.
"Mau ngapain? Istirahat saja di sini. Nanti tidak ada yang mengantar ke atas lagi." Fatin memperingatkan dan membimbing Griffin agar kembali duduk.
"Aku akan mengantarmu sampai pergi. 'Kan ada banyak pelayang, Sayang." Fatin mengalah. Dia membimbing suaminya agar ikut turun. Dasar pembangkang! Tidak akan ada yang bisa mencegah kemauannya. Biarkan saja. Divia sudah mempersiapkan mobilnya. Setelah itu, membukakan pintu untuk majikannya tersebut.
"Aku pergi, ya?" Fatin melambaikan tangannya. Demikian juga dengan Griffin.
"Mau di bantu, Tuan?" tanya Ronald.
"Tidak usah. Kamu pulang saja. Sudah ada banyak orang di sini. Besok kamu harus ke kantor mempersiapkan berkas." Griffin masuk ke rumah. Dia kemudian masuk ke kamar Nevan.
"Hai, Jagoan papa. Lagi apa?" tanya Griffin.
"Lagi sekolah, Pa. Mama mana?" tanya Nevan. Anak laki-laki itu bangkit dan memeluk papanya.
"Masih di rumah sakit. Nenek ibunya mama juga sakit." Nevan mengangguk.
"Belajar yang rajin, ya? Papa mau istirahat." Cup ... satu kecupan mendarat di kening Nevan. Nefan melepaskan pelukannya dan kembali fokus ke belajarnya. Nevan memang sekolah di rumah. Griffin tidak mengijinkan anak lelakinya itu diketahui oleh publik. Akan sangat bahaya.
Griffin berjalan menuju ke kamarnya. Dia akan tidur dan istirahat. Mungkin nanti malam temannya yang lain akan datang menjenguk. Itu biasanya begitu. Tapi anehnya, setelah sampai di kamarnya, dia tidak mengantuk. Bayangan Fatin menguasai dirinya. Padahal baru sebentar pergi. Dia frustasi mengacak rambutnya.
"Tidak boleh tidak ini. Besok aku harus menikah dengannya. Harus besok." Dia meraih gawainya yang ada di nakas. Dia menelpon Leo sahabatnya dan juga Ntahan. Untuk Ronald tidak dia telepon karena pasti sampai rumah saja belum. Kata mereka para netijen, orang kaya mah bebas mau apa saja. seperti itulah Griffin. Dia tinggal tunjuk apa yang dia mau.
Dia mendial nomor kedua sahabatnya itu, kemudian memutuskan sambungan setelah menyuruh mereka segera datang. Dia membuang gawainya di bed itu dan tidur terlentang. Masih menari juga bayangan Fatin di antara langit-langit rumah.senyumnya, gaya polosnya, terutama bibirnya yang merah. Griffin seperti orang gila senyum dan tertawa sendiri.
"Fin, jangan-jangan lo mulai gila?" Menjembul di pintu yang sedikit terbuka sahabatnya Nathan dan di belakang ada Leo.
"Kalian? Aku mau minta bantuan." Griffin bangkit dari berbaringnya.
"Nggak ada lain kalau kau mengundang kita pasti butuh." Mereka masuk ke kamar Griffin dan membuka pintu balkon.