"Tidak masalah, Sayang. Ini momen kita. Menggendongmu seperti ini bisa tiap hari, tapi untuk hari ini spesial." Griffin menaik turunkan alisnya. Sedangkan Fatin sangat malu dengan godaan dari sang suami. Mereka menuju kamar yang sudah dipesan. Kedatangan mereka menjadi sorotan. Sungguh sebuah pasangan yang serasi. Griffin memandang lekat wajah sang istri. Dia sudah tidak peduli dengan paha kirinya yang terluka. Walau sebenarnya masih sedikit nyeri.
Griffin membuka pintu tersebut dengan kaki kananya walau sebelumnya sudah dibantu oleh body guardnya membuka menggunakan kartu.
"Kami tinggal, Tuan Bos. Akan ada dua body guard yang akan jaga di sini." Griffin mengangguk. Dia tahu keselamatannya selalu terancam jika tidak di jaga. Dia menutup pintu ruangan itu. Ucapan selamat mengalir digawainya. Ah, bukan, hanya Rasya dan juga Dinda saja. kado yang kedua temannya bawa sudah ada di ranjang mereka karena memang para body guard mereka yang membawa.
"Ah, sepertinya mereka memberikan kado untukku." Fatin membukanya. Sebuah baju yang sangat tipis berwarna merah dan berenda. Tidak berlengan dan hanya tali tipis untuk gantungan ke pundak. Fatin membelalakan matanya. Bagaimana sahabatnya ini? Bagaimana dia bisa melakukannya? Apa kata Grifin kalau tahu. Fatin menutupkembali hadiah dari Dinda.
"Sayang, aku mau mandi dulu. Kamu butuh bantuanku untuk membuka bajumu?" Fatin gelagapan dan langsung menutup kado itu dengan roknya walau sebenarnya sudah tertutup oleh kardus kado.
"Ka-kamu silakan kalau mau mandi dulu." Griffin tersenyum. Sepertinya istrinya masih malu-malu. Dia tahu, bagaimana harus mulai mengajarinya caranya nakal. Griffin melangkah menuju kamar mandi. Sedangkan Fatin berusaha mencari di mana dia meletakkan ponselnya. Dia meletakkan di tas kecilnya. Dia mencari di antara barang-barang yang tadi body guardnya Griffin bawa.
"Lo apa-apan, Din. Masa ngasih gue baju seperti itu? Sarap lo!" Fatin mengirim pesan ke sahabatnya Dinda dengan emoji marah.
"Hahahaha ... biar suami lo bergairah. Lo tahu, itu so sexi." Dinda membubuhi gambar seorang wanita dengan pose sexi.
"Tau ah, lap. Gimana caranya? Itu baju kekurangan bahan banget. Nggak ada lengannya. Sangat transparan. Gila memang lo!" Lagi-lagi emoji marah diberikan oleh Fatin.
"Selamat belah duren. Kata orang belah duren itu enak." Dinda memang tidak sepolos Fatin. Dia masih tahu kalau acara-acara dan hal-hal seperti itu walau belum pernah melakukannya. Fatin sudah tidak meladeninya. Tahu dirinya tidak suka belah duren. Malah disuruh belah duren. Tapi Fatin penasaran juga. Kenapa kalau orang yang menikah harus belah duren. Maka dia mengetik lagi. Fatin sambil memikirkannya sambil berusaha meraih resleting yang ada dibelakang. Sudah putus asa, dia tidak mampu meraihnya. Akhirnya dia membiarkan saja. Tapi dia terus kepikiran dengan yang namanya belah duren. Dia sungguh tidak tahan dengan bau duren. Dia meraih gawainya yang ada di sampingnya.
"Eh, gue tanya serius. Emang kalau pengantin itu harus belah duren? Boleh enggak buahnya diganti yang lain. Belah semangka misalnya?" Fatin mengirim pesan itu kepada Dinda. Tidak berapa lama pesan itu centang biru. Sedangkan di seberang Dinda menepuk jidadnya. Temannya yang satu itu memang kelewat oonnya.
"Lo memang betul-betul. Bukan belah duren beneran, Fatin. Ih, lama-lama gue kesel sama lo!" Dinda membubuhi emoji marah.
"Lah terus?" Dinda memutar bola matanya sangat malas.
"Udah ah, gue mau mandi gerah." Dinda tidak lagi menggubris pesan dari Fatin. Walau beberapa kali Fatin mengirimkan pesan untuknya.
"Yah, dia marah." Fatin ngedumel sendiri.
"Siapa yang marah, Sayang?" Fatin kaget dan menjatuhkan gawainya ke bawah. Untung saja masih di kasur. Dia menutup wajahnya melihat penampilan suaminya yang telanjang dada. Hanya handuk putih yang melilit tubuhnya sebelah bawah saja. air menetes dari rambutnya. Melihat istrinya yang menutup matanya, Griffin membuka tangan istrinya yang berada di wajahnya. Griffin mulai mengusili istrinya.
"Kenapa ditutup? Dadaku kurang sexi?" Fatin membuka matanya sedikit demi sedikit dia melihat wajah suaminya terlalu dekat ke arahnya. Mata mereka saling bertemu.
"Kau harus terbiasa. Kau akan melihatnya setiap saat." Fatin menggigit bibir bawahnya. Sepertinya ini begitu sangat memalukan. Jantungnya sangat bergejolak. Nafas Griffin bahkan terasa sangat dekat. Fatin tidak berani menatap bola mata suaminya itu. Aroma menthol terhembus sampai dihidungnya.
Griffin sudah cukup puas. Dia bangkit kemudian mengambil handuk kecil untuk membersihkan sisa air yang ada di rambutnya. Dia melangkah untuk mengambil handuk tersebut. Griffin memberikan handuk itu kepada istrinya. Dengan lembut Fatin membantu Griffin mengeringkan rambutnya.
"Sayang, tadi siapa yang menghubungimu? Sepertinya kamu panik?" tanya Griffin.
"Bukan siapa-siapa. Bang, bagaimana aku melepas gaun ini? aku sudah mencoba tapi tidak sampai." Fatin dengan gagap akhirnya mengakuinya dan ingin meminta bantuannya. Tapi tentu tidak bisa.
"Aku akan membantumu. Mau melepas sekarang?" Griffin bangkit kemudian berbalik melihat istrinya. Melihat Griffin yang sedikit menyeringai, Fatin sedikit takut.
"Ta-tapi ...." Griffin menjulurkan tangannya seakan memeluk Fatin.Fatin memejamkan mata karena menahan dan entah mengapa dia berpikiran kalau suaminya itu mau menciumnya. Melihat Fatin yang memejamkan matanya, Griffin tersenyum sangat sumringa.
"Mau aku cium?" Griffin membisikkan kata itu tepat didepan telinga istrinya. Gelenyar aneh mulai membanjiri jiwa Fatin. Kata-kata itu terkesan mempesona dan membuat darahnya memanas. Ini lebih bergejolak dari pada ciuman pertamanya bersama Griffin kemarin.
"Ah, bukan begitu." Fatin menundukkan kepalanya. Dia sangat malu rasanya. Dia mengira bahwa Griffin ingin menciumnya, ternyata hanya ingin membukakan resleting miliknya. Fatin turun dari ranjang. Dia akan masuk ke dalam kamar mandi. Tapi, dia melihat kamar mandinya basah. Gaun itu sangat mahal dan panjang sekali. Tentu saja, sayang sekali kalau basah.
"Abang," panggil Fatin.
"Hem, ada apa?" Griffin sudah memakai kaos dalam.
"Berbalik, aku mau melepas bajuku." Fatin tidak memakai bra karena baju itu sudah ada penyangganya dan berbentuk bahu terbuka. Jika pakai bra tentu akan terlihat tidak rapi.
"Aku suamimu, Sayang. Bahkan kau mau telanjang didepanku itu suatu keharusan." Griffin malah maju dan membantu Fatin untuk melepaskan baju pengantin tersebut.
"Jangan, Bang. Malu ...." Griffin tidak peduli. Dia membantu Fatin melepaskannya hingga punggung mulus didepannya terlihat. Griffin menelan ludahnya. Dia sudah merasa panas dingin padahal di kamar itu AC sudah pol enam belas temperaturnya. Griffin tidak tahan lagi. Dia membalikkan badan istrinya. Terlihat dua bukit asri yang masih bulat sempurna karena belum didaki oleh siapapun. Maha karya Tuhan yang paling sexi. Fatin menutup dadanya dengan silangan tangannya.
"Kenapa? Tidak usah malu. Aku suamimu sekarang. Aku berhak melihat semuanya, bahkan yang bawah juga milikku." Griffin sekalian melepaskan gaun yang masih menempel dipinggang Fatin. Jangan bertanya lagi bagaimana jantung Fatin. Griffin melepaskan tangan Fatin yang menyilang di dadanya. Tanpa basa-basi Griffin menganggkat tubuh kekasihnya belahan jiwanya tersebut ke kamar mandi. Fatin yang takut jatuh mengalungkan tangannya ke leher suaminya.
"Kau sangat sexi, Sayang." Bisikan itu membuat wajah Fatin memerah. Griffin meletakkan tubuh wanitanya diatas bathub yang masih kering. Alamat mandi lagi ini.