"Aku sudah lihat semuanya. Mengapa harus ditutupi?" Fatin tersipu dan bersemu merah. Griffin benar. Tapi, dia masih saja malu. Dia ingin rasanya membuang wajahnya ke samudra Atlantik.
"Au, sakit. Aku tidak bisa jalan." Fatin kembali duduk di ranjang. Griffin menyibak selimutnya kemudian mengangkat tubuhnya Fatin.
"Aku akan menggendongmu. Kita keluar cari obat sekalian. Aku lupa memesannya." Griffin mendudukkan istrinya di toilet yang tertutup. Kemudian membiarkan istrinya untuk mandi, atau dia kalap lagi dan menghabisi istrinya dikamar mandi karena Junior sudah mulai menegang lagi.
Fatin mandi dengan sedikit tertatih. Griffin tidak menunggu nanti. Dia tidak tega untuk melihat istrinya jalan diperhatikan orang. Dia menelpon body guardnya untuk membelikan obat untuk mengurangi nyeri pada organ intim istrinya.
"Ron, belikan obat nyeri." Ronald yang diperintah tertawa ngakak karena permintaan sahabatnya sekaligus tuan bosnya itu.
"Kau mau dipecat! Tertawa tak ada akhlak. Aku bosmu!" Griffin merasa sedikit malu.
"Sory bos, ini terdengar lucu dan menggemaskan. Baiklah. Aku akan membelikannya. Hahaha ... kau sudah belah duren rupanya, Tuan Bos?" Lagi-lagi Ronald menggoda Griffin sehingga Griffin berteriak memanggil namanya Ronald.
"Bang!" Griffin memutuskan sambungannya dan meleparkan teleponnya ke kasur ketika mendengar teriakan istrinya.
"Ada apa, Sayang?" Griffin melongok dari pintu kamar mandi.
"Bantu aku jalan." Griffin mendekat dan menggendong istrinya. Dia seorang lelaki gentle ternyata. Dia bertanggung jawab pada luka istrinya.
Kamar bernuansa putih yang sangat besar ini menjadi saksi pergolakan mereka. Fatin memebersihkan sisa air yang membasahi rambutnya. Griffin yang belum berpakaian lengkap membantu istrinya mengeringkan rambutnya. Tidak berapa lama, terdengar bunyi bel. Sehingga Griffin menghentikan aktifitasnya.
"Aku buka pintu dulu." Terlihat Ronald menenteng tas kecil berisi bungkusan obat.
"Ini." Ronal memberikan bungkusan obat itu, "jangan terlalu bernafsu,Tuan Bos. Kasih jeda, atau istrimu tidak bisa jalan." Hahahaha ... Ronald pergi setelah berhasil menggoda bosnya itu. Dia lari agar tidak di pukul oleh bosnya.
"Siapa,Bang?" Griffin mengangkat tas keresek kecil yang diberikan oleh Ronald tadi.
"Itu apa?" tanya Fatin sambil menghentikan aktifitasnya karena sudah sedikit kering.
"Obat untuk nyeri yang kau derita. Biar nanti malam Junior bisa bertamu lagi." Fatin membuang wajahnya karena malu. Griffin sepertinya memiliki hobi baru menggoda istrinya. Dia sepertinya tidak henti-hentinya melancarkan aksi untuk menggoda istrinya agar tersipu malu. Pipinya yang merona menjadi gairah tersendiri.
"Kita mau makan di mana?" Griffin mulai berganti pakaian. Demikian juga dengan Fatin.
"Aku lelah banget. Boleh tidak kalau kita tidak keluar. Aku masih pingin tiduran. Bukannya besok kita berangkat ke Lombok?" tanya Fatin setelah memakai dres selutut. Semua keperluannya sudah tercukupi di hotel itu, tidak usah bawa koper banyak-banyak.
"Boleh saja. Lebih nikmat malah. Aku ajarin nyuapin pakai lidah." Lagi-lagi Griffin menggoda istrinya dan membuatnya tersipu. Fatin mencubit perut suaminya dengan manja. Griffin yang melihat istrinya kesusahan menyisir rambut panjangnya, membantunya menyisir. Dia dengan hati-hati dan suka rela menyisir rambut sang istri.
"Sudah sepertinya, Sayang. Mau makan apa?" tanya Griffin.
"Yang enak saja.Masakan Indonesia, jangan yang aneh-aneh." Fatin memoles wajahnya dengan sedikit make up.
"Iya, aku tahu. Lidahmu 'kan ndeso." Griffin mentertawakan istrinya sehingga mulut Fatin mencibik kemudian ikut tertawa. Griffin duduk bersandar di sandaran ranjang. Demikian juga dengan Fatin yang duduk disebelahnya. Dengan tangannya yang kekar, Griffin meraih tubuh istrinya agar bersandar di bahunya. Tapi Fatin memilih untuk tidur di pangguannya sambil memindahan chanel TV. Ternyata memiliki suami memang sangat senang. Di manja seperti ini.
"Nasi timbel mau nggak?" tanya Griffin.
"Heeh." Fatin hanya mengiyakan saja. Dia baru ingat kalau paha kiri sang suami sedang sakit.
"Bang, mau lihat perkembangan lukanya. Sudah seperti apa?" Griffin menurut saja, kemudian tengkurap dan Fatin memperhatikannya. Fatin mulai berani menyentuh area sensitif dan tubuh suaminya walau masih malu-malu.
"Sudah seperti apa?" tanya Griffin sambil sesekali membuka emailnya. Banyak email yang masuk, termasuk dari Helia. Griffin memutar bola matanya. Dia baru menghabiskan ratusan juta sekarang malah meminta lagi karena uangnya habis. Griffin saking marahnya bukannya mentransfer, malah mengirimkan surat cerai pada Helia. Helia menghubunginya lewat mesengger dengan vidio call. Tapi tidak digubris oleh Griffin.
"Siapa, Bang. Kok tidak diangkat? Karena ada aku, ya? Aku keluar sebentar kalau begitu." Fatin bangkit dari duduknya kemudian malah ditarik oleh Griffin agar masuk dalam pelikannya.
"Kenapa? Kamu cemburu?" Griffin menggoda istrinya yang cemberut.
"Tidak! Aku sadar Abang memiliki kehidupan diluar aku. Aku bisa menghargai itu, Bang." Fatin memandang kearah manik mata suaminya.
"Walau itu Helia?" tanya Griffin meyakinkan.
"Ada Nevan diantara kalian. Helia adalah ibunya." Griffin tersenyum dan mencium rambut sang istri.
"Tapi sayangnya kamu salah, Sayang. Dia menghubungiku karena uangku. Bukan karena Nevan. Jika dia mau menghubungi Nevan, anak lelakiku punya gawai. Dia sudah kirim email sebelumnya untuk meminta transfer seratus juta." Fatin bangkit dan duduk.
"Untuk apa uang sebanyak itu? Mau beli mobil?" tanya Fatin.
"Belanja." Griffin kembali merengkuh tubuh sang istri.
"Belanja? Uang sebanyak itu bisa dapat baju satu box. Mau jualan?" Griffin tertawa mendengar seloroh istri polosnya.
"Kalau Helia yang belanja hanya dapat satu baju atau satu sepatu saja." Fatin membelalakan matanya tidak percaya.
"Sepatu apa harganya seratus juta, Bang?" tanya Fatin.
"Sepatumu yang kau pakai saat kita menikah seratus juta lebih, Sayang." Fatin membelalakan matanya. Lagi-lagi dia terkejut. Bagaimana mungkin sebuah sepatu harganya ratusan juta.
"Jangan bercanda." Griffin menscroll gawainya dan menunjukkan harga dari sepatu yang Fatin pakai.
"Berapa sayang harganya?" Fatin membelalakan matanya.
"De-delapan ribu dolar lebih?" Fatin menggeleng karena tidak percaya akan penglihatannya.
"Ah, rasanya menghambur-hamburkan uang saja. Uang segitu bisa buat memakmurkan masjid." Fatin memeberikan kembali Gawainya. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Hahaha, kau mau membangun masjid atau panti asuhan?" tanya Griffin.
"Apa boleh? Aku juga ingin memberdayakan orang-orang miskin agar mereka tidak mengamen atau mengemis lagi." Griffin manggut-manggut. Dia makin cinta sama istrinya tersebut. Dia memang selembut malaikat hatinya begitu suci. Hingga malah Griffin merasa rendah diri. Jangan-jangan dia tidak layak untuk bersanding dengan hati malaikat istrinya.
"Aku harus dapat mengimbangi kebaikan istriku. Mungkin aku harus mulai berubah haluan. Aku harus berganti bisnis sepertinya." Griffin berkata dalam hatinya, meskipun bisnis yang dia geluti sudah mendarah daging.
"Kok malah melamun? Tidak boleh, ya?" Fatin menunjukkan wajah kecewanya.
"Boleh, Sayang. Hanya aku semakin cinta karena kebaikan hati kamu." Griffin memeluk erat tubuh istrinya dan rambut wangi yang menyeruak dari helainnya karena shampo menenangkan diri Griffin.
Suara bel berdentang. Mungkin makanan mereka sudah datang. Griffin melepaskan tubuh istrinya dan mendekat ke arah pintu.