"Naik perahunya."
"Ohhhh." Nevan membeo.
"Kalian baik-baik di situ. Pulang bawa adek Nevan ya? Biar dia tidak kesepian." Fatin dan Griffin mengangguk dan akhirnya pamit untuk menutup teleponnya.
Memang tidak ada yang abadi. Siapapun menyadari itu. Karena itu, yang bisa dilakukan hanyalah menjaga dan memupuk semoga pernikahan itu akan abadi. Meraih itu sesuatu yang sangat susah, namun butuh perjuangan. Mmpertahankan jauh lebih susah. Gelombang masalah akan selalu datang bahkan saat terlihat tenang. Emosi tidak dapat terkendali, jika keadaan kadang tidak mendukung. Jatuh cinta itu mudah. Tapi, bagaimana setiaphari bisa jatuh cinta kepada orang yang sama. Hal itu yang harus Fatin dan Griffin pelajari.
Terik telah berlalu. Seperti keinginan mereka, mereka akan melihat sun set di tepian laut. Griffin akan mengajak istinya pergi ke tepi pantai dengan menggalang keromantisan yang akan mereka kenang sepanjang hayat berumah tangga.
"Sudah siap, Sayang?" Fatin mengenakan baju pantai yang sederhana. Tentu, Griffin tidak akan ikhlas membiarkan tubuh molek istrinya terekspose jadi santapan mata liar para lelaki, walau pulau ini menjadi haknya selama beberapa hari. Tapi tetapsaja ada para pelayan dan beberapa penduduk setempat yang bersliweran tidak mungkin dapat diusir. Hanya tepian pantai saja, yang memang dia kuasai.
Dengan manis Griffin membimbing istrinya untuk ke tepian pantai. Mereka duduk di atas pasir putih dengan musik deburan ombak. Menatap laut luas, lengan Griffin melingkar di pinggang istrinya, sedangkan kepala Fatin manja bersender di lengan suaminya.
Burung-burung sore beterbangan kian kemari. Beberapa camar, mendekati mereka dan seolah menari di depan mereka. Samar-samar matahari mulai menjingga, pantulannya sangat indah di atas air, yang seperti cermin raksasa. Mereka menyaksikan bagaimana matahari seperti berada di atas laut, menempel dengan airnya di seberang sana. Senyum mereka Fatin menampilkan gurat senyum mengembang di bibir Griffin. Dia tahu, wanitanya tersebut sangat bahagia. Sesekali air laut menjangkau kaki mereka, menimbulkan sensasi hangat pada reseptor kulit.
Nyaman. Kata itu yang timbul dari benak mereka. Griffin menyibakkan anakan rambut yang membelai wajah ayu istrinya. Dia menyelipkan dengan cantik rambut istrinya ke atas telinga. Tanpakata, tanpa bicara. Kebisuan yang mengkungkung rasa menjadi lirih yang bahagia di dalam sukma. Biarkan, biarkan hanya hati yang bicara. Menyapa cinta dalam keringnya rasa selama ini. Fatin hadir menjadi pencair diri Griffin yang sepi dan beku. Dia telah menjadi alat pemecah keangkuhan Griffin.Dia telah mengubah pribadi lelaki itu, dengan cara yang anggun.
Fatin terlihat seperti malaikat untuk Griffin. Dia adalah istri sempurna. Bahkan dia sanggup melenyapkan apapun dan siapa pun yang berani menyentuh kehidupannya, tidak terkecuali juga Helia, yang dia jaga selama ini meski tanpa cinta. Hanya karena Helia adalah mamanya Nevan, walau entah benar atau salah, dirinya adalah papanya.
Gelap mulai menggerayangi isi pantai. Lampu-lampu mulai berkedip manja. Diatas sana, tidak lupa binta juga ikutan setor senyumannya. Bulan malu-malu muncul menggantikan sang surya. Cahayanya remang tapi memabukkan.
"Bang, kita kembali. Kita sholat dulu. Setelah itu, kalau mau kembali ke mari, aku akan menemani." Fatin tersenyum. Jlep ... Griffin merasa tertantang. Tapi dia tidak bisa sholat. Di KTP memag tertera bahwa dia seorang muslim. Tapi dia bahkan tidak tahu, agamanya tersebut. Bahkan sebelumnya dia bukan orang yang percaya pada Tuhan, meskipun dia juga bukan penganut Atheis. Entah apa sebutannya. Dia lebih percaya oada usaha dan kemampuannya.
"Baiklah. Ayo." Namun, entah kenapa dia mulai tertarik dengan nama yang diucapkan oleh istrinya tersebut, yaitu sholat. Mereka kembali ke resort untuk melakukan yang di maksud. Fatin sudah selesai mandi dan wudhu. Sekarang giliran Griffin. Fatin mengambilkan baju untuknya dan untuk suaminya selagi Griffin mandi. Dia memakai baju, dan juga mukena. Sambil menunggu suaminya, dia berdzikir. Tidak lama kemudian, Griffin keluar dengan handuk kimononya.
"Sudah wudhu?" Griffin menggaruk kepalanya, karena dia tidak tahu apa itu wudh?
"Jujur saja, Abang tidak tahu? Abang tidak bisa? Aku akan mengajarimu." Griffin menurut saja. Fatin membuka mukenanya. Setelah itu, dia masuk ke dalam kamar mandi diikuti oleh suaminya. Dia mengucurkan kran yang ada di dalam kamar mandi tersebut.
"Nah, sekarang niat dulu." Fatin membimbing suaminya untuk berniat wudhu. Setelah niat selesai, dia membimbing apa saja yang harus di basuh, bagaimana caranya? Griffin dengan telaten menyimak dan mempraktekannya. Seperti menemukan ilmu baru. Griffin merasa sangat bangga dan bahagia.
"Bang, seharusnya Abang yang jadi imam. Karena belum bisa, maka ikuti aku dulu. Nanti akan aku ajarkan doanya." Tidak ada cara lain. Karena Griffin sama sekali belum bisa. Memang, wanita tidak boleh menjadi imam.tapi, kondisi ini demikian menuntut untuk Fatin yang membimbing Griffin. Dalam keadaan darurat seperti ini, di mudahkan bagi hambanya.
Griffin dengan patuh menyimak dan melakukan mengikuti Fatin. Setelah selesai, Fatin memberikan arahan sedikit. Untuk belajar doa sholat. Biarlah sedikit demi sedikit.
Mereka selesai melakukan sholat maghrib. Griffin merasa menjadi pribadi baru. Dia merasa sangat sejuk. Ternyata, yang dia lakukan berupa sholat menjadikan jiwanya sangat tenang.
" Zio, sudah kalian persiapkan?" Mereka akan makan malam romantis di tepian laut.
Entah apa jawaban Zio, tapi sepertinya sudah selesai. Maka dari itu, Griffin menyuruh Fatin menutup mata menggunakan slayer kecil. Fatin menurut saja. Griffin membimbing istrinya untuk dapat berjalan. Dia membuka matanya setelah sampai pada area kejutan. Ditemani sinar rembulan yang tersenyum manja di angkasa, lilin-lilin merah terpajang dalam gelas. Kelopak mawar merah dan putih berpadu tertabur di tengah jalan mereka. Bagai karpet yang membentang. Ada beebrapa ornag yang mengabadikan moment mereka. Ini sebagai ganti pesta sementara, karena mereka tidak mengadakan resepsi. Di paling ujung. Di tengah lingkaran hati, ada sepasang kursi dan meja. Mereka akan makan malam romantis malam ini. sebagai ganti lamaran pula.
Fatin masih takjub. Saat membuka mata, dia terbengong. Jika dapat terlihat, wajahnya bersemu merah karena malu dan merasa bahagia secara bersamaan.
"Aku mencintaimu, istriku. Terima kasih sudah menikah denganku." Fatin tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Mereka berjalan anggun menuju meja-kursi romantis yang sudah di desain oleh para pelayan. Griffin menarikkan kursi untuk wanitanya. Pun demukian, dia berputar untuk duduk sendiri.
Griffin menuangkan wine ke dalam gelas. Fatin mengerutkan kening. "Ini apa?" tanya Fatin.
"Itu wine. Kita merayakan pernikahan kita dengan wine." Fatin tersenyum.
"Maaf, Sayang. Aku mengecewakanmu. Itu mengandung alkohol?" tanya Fatin kembali.
"Iya, sedikit." Griffin meletakkan botolnya, karena memang sudah cukup.
'Sekali lagi maaf. Seorang muslim tidak boleh minum alkohol. Bisa diganti dengan yang lain?" Anehnya, Griffin tidak merasa kecewa. Perkataan istrinya masuk akal. Dia menyuruh pelayan mengganti wine tersebut dengan jus jeruk.
"Jangan kecewa, ya? Memang kita tidak boleh minum alkohol, apapun jenisnya. Kau tahu kenapa, Sayang?" Fatin memegang jemari suaminya, sehingga Griffin membalik jemarinya dan menggenggamnya. Bersama itu menggeleng.
"Karena mabuk, adalah sumber mala petaka." Fatin menjelaskan kenapa tidak boleh?
"Tapi hanya sedikit, Sayang tidak akan mabuk." Fatin tersenyum.
"Sayangnya, hukumnya jadi general. Ketika barang itu tidak baik untuk tubuh, maka secara general diharamkan." Griffin mengerti. Dia mulai tahu sedikit demi sedikit. Istrinya memang seorang malaikat yang diutus untuk menuntunnya.