"Aaahhhhh ...." Mereka menjerit bersuara dalam diamnya angin dan bersatu dengan puncak malam yang indah. Mereka terkulai bersama, ketika Junior sang burung kutilang sudah terlelap di dalam kandangnya. Griffin mencabutnya dan tidur dengan terlentang di samping istrinya. Masih dengan tanpa busana, mereka terlelap bersama.
Pagi itu Fatin bangun terlebih dahulu. Wanita itu senyum-senyum sendiri mengingat pergulatannya semalam. Dia membasuh tubuhnya di bawah pancuran dingin dan bersenandung lirih. Ternyata, memang benar. Menikah itu menimbulkan ketenangan. Terutama, menjadikan, ahhhh ... jangan dikatakan lagi. Fatin malu sendiri. Dia mengguyur tubuhnya dan membersihkannya. Sisa-sisa bercinta semalam menjadikan tubuhnya remuk, juga sedikit memar-memar di seluruh tubuhnya. Tunggu! Bukan memar, tapi itu bekas cupang di mana-mana. Dia sampai kesiangan tidak sholat subuh. Dia sholat subuh walau kesiangan. Lebih baik kesiangan 'kan dari pada tidak? Selesai sholat, dia membuatkan kopi untuk suaminya tersebut.
"Bang, bangun!" Fatin mengguncang tubuh suaminya. Bukan bangun, tapi malah menarik tubuh Fatin yang sudah wangi ke dalam selimut.
"Sudah siang, ih. Bangun!" Tapi, Griffin tidak menggubris. Dia tetap memeluk tubuh istrinya. Fatin tidak memberontak lagi. Dia menurut di peluk suaminya. Lagi pula, mereka sedang liburan. Tidak mengapa kalau bermalas-malasan.
Terdengar suara perut mereka berdua bersahutan. Mereka saling tertawa. Griffin baru melepaskan pelukan istrinya. Dia meraih gawainya, untuk memesan menu sarapan kekamar mereka.
"Aku mau mandi. Nanti berikan tips pada yang membawa makanan. Ambil di dompetku." Fatin mengangguk, kemudian menyiapkan baju untuk sang suami. Setelah itu, dia duduk saja menonton televisi. Suara bel terdengar. Fatin membukakan pintu. Terlihat seorang pelayan membawakan mereka sarapan. Fatin memberikan tips pada pelayan tersebut. Setelah itu, menutu kembali kamar hotel. Setelah beberapa lam,Griffin keluar dari kamar mandi dan berganti pakaian.
"Kita sarapan. Setelah itu, naik kapal ke tengah laut." Griffin mengenakan baju santainya, kemudian duduk di samping istrinya.
"Tapi, aku takut. Aku tidak bisa berenang." Fatin dengan manja mengatakannya kepada suaminya,
"Hahaha, jangan khawatir, Sayang. Kita tidak akan berenang kalau kau tidak mau. Atau kita akan menggunakan alat untuk menyelam. Aku akan memelukmu saat di dalam lautan." Fatin mencubit pinggang lelakinya. Sehingga Griffin pura-pura sakit dan mengaduh..
"Tapi benar ya? Aku tidak mau kalau nnati tenggelam." Griffin tertawa dan memeluk tubuh istrinya.
"Mana mungkin aku biarkan kamu tenggelam, Sayang. aku bisa gila hidup tanpamu." Mereka sarapan bersama. Setelah itu, seperti yang sudah disepakati, mereka akan naik kapal ke tengah lautan. Fatin sudah siapdengan baju pantainya yang eksotik. Demikian juga dengan Griffin. Perahu yang sedikit besar sudah siap untuk membawa mereka ke tengah lautan. Mereka sudah siap di atas kapal. Nahkoda meberi tanda bahwa mereka akan melaut sebentar lagi.
Kapal mulai bergerak, sehingga Fatin mulai mengeratkan pegangannya ke lengan Griffin. Griffin yang menyadarinya tersenyum. Dia kemudian lebih mengeratkan pelukannya kepada sang istri. Gelombang laut yang sesekali menyapu bawah perahu membuat goncangan di sana. Setelah sampai di tengah laut, terlihat sangat damai dan rasa panasnya membuat kulit sedikit terbakar.tapi tidak dengan Fatin. Dia sudah terbiasa dengan itu.
Matahari bersinar sangat terik, seolah menyorot ke arah sepasang pengantin baru itu. Maka, tiba-tiba tida di duga dari mana datangnya, ada serangan di tengah laut. Kapal mereka bocor. Anak buah Griffin berusaha menyelamatkan keadaan demikian juga dengan Griffin. Dia mengambil pistol yang ada di dalam jasnya.
"Shit!" Griffin geram sedangkan Fatin gemetar. Baru kali ini dia terlibat dengan tembakan. Hampir saja, Fatin terkena tembakan, tapi, Griffin memeluknya, sehingga Griffin yang terkena tembakan di punggungnya. Kapal mereka yang bocor hampir tenggelam, sehingga nahkoda menurunkan skoci. Keduanya menaiki skoci. Griffin sudah kehilangan banyak darah, meskipun dia masih berusaha untuk sadar dan mengayuh skoci itu dari tempat itu. Mereka dapat lolos dari peperangan itu, tapi Griffin mulai kelelahan dan limbung. Fatin berjuang sendirian. Setelah berjuang beberapa saat, akhirnya dia juga pingsan, karena kelelahan.
Mereka terdampar di pulau antah berantah. Fatin tidak bisa menghentikan tangisnya. Ini pertama dia jauh dari rumah. Dia tidak pernah jauh dari rumah. Juga tidak pernah ke sebuah pulau.
"Abang, bagaimana ini?" Griffin tidak juga bergerak. Fatin tidak bisa berfikir. Dia hanya duduk. Dia ingin meninggalkan Griffin, tapi bagaimana? Fatin menarik tubuh Griffin yang ada di dalam skoci, kemudian menggeretnya untuk berteduh di bawah pohon ketepeng.
"Aku harus bisa." Fatin menarik tubuh Griffin dengan susah payah. Tubuh yang pingsan itu dia senderkan di pohon kelapa. Kemudian, dia duduk di samping Griffin. Dia duduk dan membenamkan wajahnya di paha yang dia tekuk. Seeprtinya, Tuhan memberikan dia jalan. Dia melepas jaketnya, untuk pasang tanda SOS. Dia lari mencari batang pohon. Dia menemukannya, kemudian mengaitkan jaket tersebut untuk bendera.
"Ya Allah, semoga engkau mengabulkan do'aku. Ada orang yang mau menolong kami." Setelah itu, dia mencari dedaunan, apa saja. daun apa saja. Dia bubuhkan ke luka Griffin. Darah griffin yang mengalir sudah berhenti. Di sini keajaiban Tuhan bermain. Padahal Fatin tidak bisa pengobatan. Tapi, dia karena percaya dengan keajaiban Tuhan, bisa mengobati Griffin. Darahnya berhenti. Akan tetapi, tidak berhenti sampai di situ sebuah kemalangan. Griffin menggigil mungkin karena sel darah putih mulai beraksi membunuh kuman.
"Ya Allah, bantu hamba sekali lagi. Bang, aku tidak tega melihatmu seperti ini." Fatin meneteskan air matanya. Dia memeluk tubuh Griffin yang menggigil. Fatin pernah mendnegar, bahwa air kelapa bisa meredakan kejang. Maka, dia dengan tenaga penghabisan berusaha untuk memanjat pohon kelapa. Sekali, dua kali, dia tidak mampu. Akan tetapi, tekadnya sangat kuat. Dia harus bisa. Akhirnya dia bisa memanjat pohon itu. Setelah memetiknya, dia turun dari pohon tersebut. Kini bingung hinggap dia hatinya kembali. Bagaimana membuka kelapa tersebut. Dia mencari-cari benda yang dapat di gunakan untuk membuka kelapa tersebut. Maka, sedikit demi sedikit, dia buka sabut kelapanya, menggunakan batu karang. Cukup lama dia berusaha, dan cukup lelah juga. Akhirnya, dia bisa membuka sabutnya. Dia membenturkan sedikit keapa tersebut, hingga batoknya retak. Munculah air dari dalam retakan tersebut. Dia meneteskan air tersebut ke mulut Griffin.
"Minumlah, Suamiku, Minumlah!" Griffin meminum air tersebut dengan lahap. Air mata Fatin meleleh. Beberapa jam lalu, mereka masih memiliki segalanya. Tapi, Allah menghempaskan mereka segera. Fatin memeluk tubuh Griffin yang terkulai lemah. Dia menengok kanan kiri. Tidak ada apapun yang dapat dia pilih untuk melakukan banyak hal. Terutama, membuat pelindung saat malam hari.
Tiba-tiba, dia ingat bahwa Griffin selalu membawa senjata, minimal pistol dan juga pisau. Ada secerca harapan. Dia akan mempergunakan itu untuk memetik daun kelapa. Setidaknya, mereka akan tidur beralaskan daun kelapa.