"Heh, Lo. Lo itu di sini seorang ibu. Jadi jangan mentang-mentang lo istrinya Griffin seenak jidad pergi berlama-lama. Kalau lo mau pergi lama sekali, kenapa tidak pulang sekalian,sih?" Fatin mengerutkan keningnya. Wanita itu mengenalnya? Tahu kalau dia istri Griffin? Siapa wanita itu?
"Maaf, Mbak. Saya 'kan perginya sama suami? Buk ...."
"Heh, dibilangin bacot aja lho. Lo kira gue babu? Dasar jiwa pembantu! Lo itu orang miskin, jangan belagu! Orang miskin saja belagu, kalau tidak karena Griffin memungutmu, tidak akan kamu di sini!" Wanita itu dengan sarkas membentak Fatin.
"Maaf." Fatin tidak mempedulikan ucapan wanita itu. Sedangkan para pelayan tidak berani melakukan apapun. Mereka hanya terbengong saja, melihat majikannya di bentak-bentak sama wanita itu.
"Yang sabar, Nyonya. Dia adalah Nona Brenda. Tepatnya siapa dia, saya tidak tahu. Tapi, dia sering ke sini." Fatin membulatkan mulutnya, sambil meraih cangkir dan juga bubuk kopi. Dia membuat kopi untuk Griffin. Setelah selesai, dia memilih beranjak dari dapur itu. Dia membawa secangkir kopi itu, dengan nampan kecil. Anak tang sudah di lalui. Kini menggunakan lututnya, Fatin membuka pintu kamar.
Terdengar gemericik sebentar, kemudian berhenti. Mungkin Griffin sudah selesai mandi. Lalu, lelaki itu keluar dari kamar mandi masih basah, di balut dengan handuk bagian tubuh bawahnya. Fatin tidur terlentang di ranjang mereka.
"Sudah selesai, Bang. Aku mandi dulu. Kopimu ada di nakas." Griffin justru naik ke atas ranjang dan menekan dada istrinya agar tidak bangun. Dia memandang lekat wajah istrinya.
"Lengket, bau ih ... mandi dulu. Selain itu, aku sudah janji menemani Nevan." Griffin melepaskannya. Dia pura-pura mengambek, karena di tolak Fatin.
"Kenapa wajahnya cemberut? Kalau sudah mandi dan wangi, nanti aku kasih. Kalau belum mandi 'kan asin rasanya." Griffin tetap saja cemberut.
"Tidak tahu apa, Junior sudah berdenyut. Malah menolak!" Griffin menggerutu tidak jelas.
"Hai, Abang beneran marah? Ya sudah, habis mandi, tidur di kamar Nevan saja aku, dari pada di diemin di sini." Fatin masuk ke kamar mandi. Dia melakukan ritual mandinya, membersihkan daki-daki karena beberapa hari ini hanya dapat mandi tanpa menggunakan sabun. Dia sudah selesai mandi. Terlihat Griffin sudah tidur. Dia mendnegkur halus, sehingga Fatin memilih untuk keluar setelah berganti baju. Kamar Nevan lebih baik. Dia menemani Nevan sampai malam tiba.
Griffin terhenyak dari tidurnya. Dia meraba samping, tapi tidak di temukan tubuh sang istri. Lelaki itu bangun dan meminum kopinya yang sudah dingin. Setelah itu, mencuci muka dan pergi mencari istrinya.
"Bi, Bi Minah ...."
"Iya, Tuan?" Bi Minah menemuinya di ruang tengah.
"Istriku kemana?" tanya Griffin.
"Di kamar Tuan Muda sepertinya, Tuan." Griffin kembali naik tangga untuk menuju kamar putranya. Dia melihat, istrinya sudah tidur memeluk Nevan. Griffin masuk dan menutup kembali pintu kamar Nevan. Dia berbaring dan memeluk Fatin dari belakang. Fatin merasakan ada sentuhan halus pada dadanya, dia terbangun. Padahal, biasanya saat tidur dia seperti kebo. Apapun, tidak pernah merasakan. Hanya kalau di sentuh saja, dia dapat merasakannya.
"Nggak jadi marahnya?" tanya Fatin. Griffin menghentikan aksinya tanpa bicara. Tapi, meraih tangan Fatin untuk memberi tahukan, bahwa burung kutilangnya sudah ingin di timang.
"Baiklah, suamiku tercinta yang super manja. Kita kembali ke kamarkita." Fatin mulai bangun dan beranjak. Tapi, Griffin meraihnya dan menciumnya sangat rakus. Diasudah tidak tehan rupanya.
"Jangan di sini!" Fatin membisikkan kata ajaib itu, sehingga Griffin melepaskannya. Mereka keluar dari kamar Nevan. Di ujung lorong, terdapat seorang wanita yang memperhatikan kemesraan mereka. Tapi, Griffin cuek saja, dan menciumi istrinya sambil jalan ke kamarnya.
Setelah pintu kamarnya terbuka, tanpa ampun lelaki itu langsung melahap habis bibir ranum istrinya yang sudah tanpa pemerah, karena sudah lebih dulu di babat. Griffin memepetkan tubuh sang istri di tembok, dan mengabsennya dengan ujung lidahnya, inci demi inci leher jenjangnya. Fatin hanya bisa pasrah menerima kebuasan suaminya, yang terasa sangat nikmat.
Mereka berganti posisi di ranjang. Meski masih bersangkar, Junior sudah ingin keluar dari sarangnya. Terasa mengeras, bersentuhan dengan kulit Fatin. Griffin menelusupkan jemarinya ke punggung istrinya, dengan sekali sentakan, Fatin memberi akses dengan mengangkat sedikit punggungnya. Lelaki itu udah menemukan apa yang di cari. Pengait bra sudah lepas. Dia membuang bra tersebut ke sembarang arah. Kini, sudah terlihat gundukan itu mempesona tanpa sangkar. Ujungnya menjembul, membuat dia ingin mengisapnya seperti bayi.
Fatin hanya bisa mendesah dengan berjuta kenikmatan yang suaminya berikan. "Sudah siap?" Griffin dengan suara bergetar mengatakannya. Fatin tidak menjawab, hanya merasakan sentuhan nikmat yang di berikan oleh sang suami.
Karena tidak merespon, Griffin menyentuh sendiri area sensitif milik istrinya. Dia tergoda untuk memainkannya. Dengan ujung lidahnya, dia memainkan bagian itu, dengan sangat cantik, sehingga tercipta jeritan-jeritan manja dari bibir sang istri. Kini, merekasudah sempurna meraih ujung puncak.Griffin tidak tahan lagi, untuk menerobos ke dalam sana. Dia memegang ujung kepala Junior dan meneroboskan ke dalam rumahnya. Gerakannya yang lebut, mmebuat Fatin terbuai dan akhirnya, menjerit bersama. Satu snetakan lagi, mereka sudah mencapai puncak asmara.
"Kau puas, Sayang?" Fatin menutup wajahnya dengan selimut. Griffin lunglai di samping istrinya, kemudian memeluknya sangat erat.
"Sanggup berapa kali?" tanya Griffin. Terdengar bel berdentang,sehingga Griffin melepaskan tubuh istrinya dan memakai kimononya yang tergantung di lemari.
"Ada apa, Bi?" Tanya Griffin, setelah melihat siapa yang datang.
"DI bawah ada Tuan Nathan." Griffin mengangguk saja. Setelah membereskan tubuhnya, dia turun ke bawah, dengan masih menggunakan kimononya, hanya sekarang mengenakan dalaman.
Suara langkahnya terdengar sangat kokoh, sehingga Nathan dan juga Ronald menoleh ke arah tangga.
"Lo ini nggak bosan, Fin untuk tertembak. Punya nyawa sembilan kali,ya?" Nathan tertawa dengan ucapannya sendiri. Griffin duduk di samping Nathan, agar lelaki itu bisa mengobatinya. Dia membuka sedikit kimononya, agar Nathan dapat melihat lukanya.
"Gue kurang perhitungan. Tapi, kenapa bisa ya? Padahal pulau itu sudah di sterilkan. Ada penghianat? Ronald, sudah kamu selidiki?" tanya Griffin. Dia menoleh ke arah Ronald, sehingga Nathan sedikit mendorongnya agar tidak bergerak.
"Sudah Tun Bos. Nanti tinggal lihat saja." Ronald mengangguk mendengarnya. Sedangkan Nathan melanjutkan pengobatannya, dengan luka Griffin yang sudah sedikit mengering. Nathan membersihkan luka Griffin, sehingga lelaki itu meringis karena merasakan perih.
"Tidak perlu khawatir, istrimu sepertinya merawatnya dengan baik. Bahkan pelurunya juga sudah di ambil. Hanya sepertinya, lukanya sedikit tidak akan rata, karena tidak di jahit." Mereka mengangguk mendengar keterangan dari Nathan. Memang benar, Griffin punya banyak nyawa. Selalu saja, lolos dari maut.