Chereads / Aku dan Mafia / Chapter 49 - Prikasa Gih!

Chapter 49 - Prikasa Gih!

"Memang, begitu kabarnya diluaran sana? Anakku memang sangat dingin kalau sama wanita. Maka dari itu, kamu bisa merubahnya jadi seperti itu, mama kaget banget. Dia sebenarnya tampan, kalau sering tersenyum."

Fatin setuju dengan mama mertuanya kali ini. Akhirnya, mereka makan dengan khidmad, setelah tersaji.

"Ma, nginep, ya? Griffin 'kan tidak ada di rumah. Saya tidak punya teman ngobrol." Nevan sedikit berantakan, sehingga Fatin mengarahkan anak itu untuk bertanggung jawab, pada bulir nasi yang ditumpahkannya.

"Mama ngobrol sama Nevan saja." Fatin tersenyum mendengar celoteh anaknya.

"Terima kasih, Sayang. Tapi, kalau bicara makanannya di telan dulu. Nevan tidak ingin, dibacakan dongeng oleh nenek?" Nevan terlihat berfikir mengenai tawaran Fatin tersebut.

"Mau, tapi nenek tidak bisa mendongeng sebagus mama." Mereka tertawa mendengar celoteh Nevan. Sedangkan Nevan, hanya nyengir saja, merasa ditertawakan oleh seluruh anggota keluarganya.

Mereka berada di ruang keluarga sekarang. Nevan seperti biasa, selalu manja pada Fatin. Dia tidur di pangkuan Fatin. Seandainya sekarang ada Griffin, pasti mereka akan berebut untuk tidur di pangkuan wanita itu. Fatin membelai rambut Nevan dengan penuh kasih. Lelaki kecil itu, sesekali menyuapi makanan ringan ke mulut Fatin.

"Nevan, mama 'kan sudah lelah seharian mengurus rumah. Sini sama nenek, Nak." Alicia sedikit cemburu, melihat keakraban mereka, sekaligus merasa bahagia.

"Sana, Sayang. Nenek 'kan juga kangen sama kamu." Danubrata menoleh ke arah mereka. Dia membaca koran di kursi goyang. Kursi khusus, yang memang diperuntukkan untuk dirinya.

"Griffin kapan pulang, Fat?" Danubrata mencoba ikut nimbrung dengan pembicaraan mereka.

"Tidak bilang, Pa. Sepertinya, mungkin agak sedikit serius. Dia hanya bilang satu sampai tiga hari." Danubrata mengangguk mendengar penjelasan Fatin. Nevan sepertinya sudah menguap dan tertidur nyenyak di pangkuan Fatin. Anak itu, sudah tidak merasakan lagi, saat Fatin memindahkannya, agar kepalanya lepas dari pangkuannya.

"Pak Zain, tolong angkat Nevan ke kamarnya!" Fatin Meminta tolong kepada body guard, sekaligus pengasuh Nevan yang baru. Dia bertugas menjaga Nevan dua puluh empat jam. Bahkan, di sediakan ranjang kusus di kamar Nevan.

Pak Zain melakukan apa yang Fatin perintahkan. Dia mengangkat tubuh Nevan, yang sudah mulai berat seiring usia. Fatin juga sepertinya sudah sedikit mengantuk.

"Kamu sudah lelah, Sayang? Boleh kamu istirahat. Jangan terlalu dipaksakan. Kita masih bisa mengobrol besok." Fatin melakukan sedikit peregangan kepalanya yang sedikit berat.

"Entahlah, Ma. Rasanya akhir-akhir ini cepat lelah dan sering pusing. Makanya, Abang menyuruhku keluar dari Floris. Tapi, dia masih mengijinkan aku pergi ke sana jika rindu. Sebagai gantinya, dia bolehin aku ngelola taman." Fatin memberitahukan keadaannya. Alicia sedikit mengerutkan keningnya. Dia berprasangka, bahwa menantunya tersebut tengah berbadan dua.

"Besok periksa saja, siapa tahu, kamu hamil. Biasanya, kalau orang hamil itu, cepat lelah." Fatin mengerutkan keningnya. Mungkin saja, mertuanya itu benar. Dia sudah menikah selama satu bulan dengan Griffin. Mungkin saja, Tuhan cepat memberikannya momongan.

"Baiklah, Ma. Mungkin mama benar. Besok, saya akan ke dokter untuk memastikan. Saya permisi ya, Ma, Pa. Sudah berat banget mata ini." Alicia tersenyum dan membiarkan menantunya itu tidur. Fatin beranjak dan menjejaki tangga untuk sampai ke kamarnya. Dia sedikit mual hidungnya membau kamarnya. Bekas minyak wangi suaminya, membuat dia tidak nyaman. Fatin muntah-muntah, hingga seluruh makanan yang dia makan keluar semua.

'Huek, huek ... aduh, pusing banget kepalaku. Abang pasti masih sibuk." Fatin memegang kepalanya. Dia mau meminta tolong mertuanya tidak enak. Dia memilih berbaring dan meletakkan kepalanya, mengambang di pinggiran ranjang. Rasanya, lumayan enak. Dia tertidur dalam posisi seperti itu.

Malam semakin dingin dan beku. Griffin sudah mendarat di Jakarta. Dia mendarat pada pukul satu dini hari. Langsung saja, memerintahkan Ronald untuk melaju ke rumahnya. Dia sudah rindu memeluk istrinya. entah mengapa, hari ini kerinduan itu tidak bisa dibendung lagi. Ronald menyetir sangat cepat, karena jalanan juga lengang paada dini hari ini. Hanya dua puluh menit saja, sudah sampai di rumah. Kali ini, heli tidak langsung mendarat di atap rumahnya, karena ada sedikit kerusakan mesin dan perlu diperbaiki.

Griffin langsung masuk ke rumah, sedikit berlari. Dia mengerutkan keningnya, melihat mercy papanya bertengger di garasi. Griffin tersenyum, karena kedua orang tuanya tersebut, ada di rumah ini. Griffin sedikit berlari menjejaki tangga. Bi Minah menyapanya, mendengar suara getebug dari sepatunya. Bi mInah terbangun dari tidurnya.

"Tuan sudah pulang? Mau saya angetin lauk?" Bi Minah menawarkan.

"Tidak usah, Bi. Terima kasih. Aku hanya merindukan istriku." Bi Minah tersenyum. Anak yang dia asuh sudah sangat dewasa sekarang. Bahkan, sikap dinginnya sudah mulai luntur. Griffin membuka pintu kamamrnya. Melihat istrinya tidur dalam posisi seperti itu, dia menganggkat kepala istrinya untuk diposisikan di bantal. Ini aneh, Fatin terjaga, waktu Griffin melakukannya.

"Sudah pulang? Mandi dulu, ih. Abang bau. Aku mau muntah." Griffin mencium tubuhnya. Tidak bau sepertinya. Tapi, dia menurut saja, dari pada tidak bisa menikmati ramping tubuh sang istri. Griffin mandi dengan penuh gairah. Dia menggosok seluruh tubuhnya, agar istrinya tidak lagi mengeluh bau dan mau muntah. Dia sudah selesai dan keluar dari kamar mandi. Lelaki itu, mengganti handuk dengan baju tidur berbentuk kimono. Dia akan menyemprotkan kolon ke dadanya, tapi dicegah oleh istrinya.

"Jangan! Aku mau muntah bau wanginya." Fatin mengatakannya sambil terpejam, sehingga Griffin urung untuk menyemprotkan. Dia meletakkan kembali colonenya, kemudian beranjak ke ranjang.

"Sayang, kamu sakit?" Griffin memegang dahi istrinya. Baik-baik saja, tidak ada panas atau semacamnya. Lelaki itu meletakkan kepa istrinya di dada. Griffin menginginkan istrinya, tapi sepertinya tidak mungkin. Istrinya tersebut, seperti kelelahan. Dia memilih mengurungkan niatnya. Tapi, tidak disangka. Fatin memulainya. Ini sangat aneh. Sebelumnya, Fatin tidak pernah agresif. Griffin terdiam menikmati sentuhan istrinya, walau sedikit bingung.

Griffin mendesah penuh gairah, saat Fatin mulai menjejaki dada bidangnya, dan berakhir di puncak dadanya. Fatin lebih bergairah. Entahlah, nalurinya ingin mengeksplor tubuh suaminya tersebut. kini, Fatin sudah menjajah tubuh kekar itu. Dia yang berada di atas. Dia bergoyang, bagai penyanyi pantura, membuat Griffin semakin menggila juga. Mereka pelepasan dalam sekejap, karena memang liarnya Fatin menggoyang. Fatin tumbang di dada suaminya.

"Kenapa, Sayang? Tiba-tiba kamu ngajak duluan?" Griffin menanyakan.

"Cuma kangen saja." Fatin masih berada dalam dada Griffin. Dia meraasa nyaman, di atas dada tersebut. tentu, tanpa kolon yang biasaa suaminya pakai tersebut.

"Ya sudah. Bobok lagi. Aku mencintaimu." Griffin mengelus kepala Fatin dengan penuh cinta kasih. Mereka terlelap bersama. Dua manusia yang saling meramu cinta dalam jiwa mereka.