"Kau pikir, dia tidak menangis, ketika aku pergi? Dia akan ketakutan, jika tahu aku pergi untuk berperang. Aku tidak mau itu terjadi." Ronald hanya bisa diam. Dalam pikirannya, dia mulai takut. Sebab, jika Griffin lemah, maka akan banyak masalah yang menyertai The Predator kedepannya.
Saat Griffin pergi, Brenda menjadi merajai di rumah itu. Dia pulang dari bekerja dengan marah-marah, melihat Fatin sedang berkutat dengan peralatan masak di dapur.
"Heh, Babu! Bikinin gue jus. Jangan manis-manis, jangan kecut juga." Bi Minah langsung tanggap. Dia mengambil jeruk di dalam kulkas, memotongnya jadi dua. Melihat Bi Minah yang melakukannya, Brenda tidak terima.
"Heh, tua bangka! Gue nggak nyuruh kamu, ya? Gue nyuruh si babu kegatelan itu. Cepetan!" Fatin hanya diam.
"Nyonya, biarkan saya saja yang membuatkan. Mau ngomel juga nggak usah didengerin. Aku kasih terasi sekalian. Kapok dia. Bikin gemes saja." Bi Minah ngedumel melihat perlakuan Brenda yang tidak ada etikanya. Fatin nyonya rumah, tetapi disuruh-suruh.
"Tidak apa-apa, Bi. Hanya jus saja, kok." Fatin tersenyum ke arah Bi Minah, sambil membuatkan jus yang diminta Brenda. Setelah siap, dia menyajikan kepada wanita itu.
"Silakan dinikmati." Fatin berbalik akan pergi.
"Tunggu! Lo pakai susuk kali, ya? Makanya Griffin ngintil. Ayo ngaku!"
"Nona, Brenda. Tidak perlu pakai susuk untuk memikat suamiku. Dia mencintaiku, karena aku punya etika dan akhlak." Fatin berbalik, bermaksud meninggalkan Brenda.
"Tunggu!" Brenda kesal, karena kalimat dari Fatin tersebut. Kepalanya sudah berasap. Dia berdiri dari duduknya.
"Ada apa lagi?" Fatin tidak takut dengan Brenda yang mulai maju dan terlihat mengintimidasi.
"Apa kau bilang tadi? Etika? Apa kau punya etika? Griffin sudah punya istri. Kau merebutnya. Apakah itu disebut beretika?" Fatin berbalik dan tersenyum ke arah Brenda.
"Oh, apakah tinggal di rumah lelaki yang sudah bersuami dan menggunakan ayahnya sebagai alasan juga manusia beretika? Berkaca dulu, sebelum bicara, Nona Brenda." Fatin tersenyum, kemudian berbalik dan meninggalkan Brenda. Wanita itu sangat kesal dengan sikap Fatin. Dia mengira, akan mudah mengintimidasi Fatin. Namun, ternyata wanita itu terlalu kuat. Bahkan tidak mempan dengan intimidasi yang dilakukannya. Dari pada merasa kesal, maka Brenda memilih pergi dari rumah. Dia akan mengadukan perbuatan Fatin kepada Alicia, mama Griffin. Alicia pasti akan lebih membelanya. Secara, Alicia sudah lebih dulu mengenalnya dan sayang kepadanya.
"Sialan! Gue harus mencari pembelaan. Mungkin, Tante Alicia bisa membungkam mulut pedas wanita sialan itu. Dasar wanita murahan. Gedeg banget gue." Brenda bergegas menyambar tas dan kuncinya. Dia akan pergi ke rumah Alicia.
Brenda sudah menyusun rencana, untuk membuat Fatin dimarahi sama Alicia. Dia tersenyum miring dengan rencananya tersebut. Dia sudah bersumpah, akan menjadi duri dalam daging dipernikahan Griffin dengan Fatin. Dulu, saat jadi suami Helia saja, Brenda sangat susah mendekati Griffin. Apalagi sekarang? Griffin, tidak pernah mencintai Helia. Tapi, Griffin juga tidak tergoda dengan Brenda.
Dia sudah sampai di rumah Alicia. Dia menetesi matanya dengan obat mata, agar air mata dapat tumpah dari matanya.
"Tante, Alicia .... " Brenda menubruk tubuh Alicia yang sedang menanam bunga di halaman depan.
"Eh, ada apa? Menangis begitu?" Alicia hanya bisa menenaangkannya lewat kata-kata, karena tangannya mengenakan sarung tangan dan sarung tangan itu bekas tanah pupuk.
"Tante, aku mau pulang ke New York saja. Aku tidak tahan di Indonesia. Istri Griffin sangat galak." Brenda pura-pura tergugu.
"Tunggu, tunggu! Tante cuci tangan dulu. Kita bicara di gazebo biar lebih enak." Alicia beranjak dan melepas sarung tangannya. Sedangkan sisanya, dia serahkan pada tukang kebunnya. Alicia mencuci tangan, kemudian duduk di Gazebo bersama Brenda. Tidak lama, datang minuman dan juga makanan kecil.
"Ayo cerita sama tane, ada apa?" Brenda memulai aksinya menghasut Alicia. Dia mengatakan hal-hal yang tidak baik tentang Fatin kepada Alicia.
"Apa kamu tidak salah lihat?" Alicia memicingkan matanya.
"Tidak, Tante. Kalau Griffin pergi kerja, Fatin selalu pergi juga. Entah kemana. Bahkan, aku melihat dia dengan laki-laki. Bahkan, katanya, dia bosan dirumah. Seperti pembantu. Harus ini itu, dia tidak suka sebenarnya. Hanya karena Griffin kaya saja, makanya dia mau jadi istrinya." Alicia mengerutkan keningnya antara percaya tidak percaya. Akan tetapi, sepertinya masuk akal, demikian pikir Alicia. Fatin awalnya tidak setuju menikah dengan Griffin. Tapi, tiba-tiba setuju. Bisa jadi, yang dikatakan oleh Brenda ada benarnya. Alicia menghembuskan napas sangat tajam.
"Baiklah, nanti biar aku ke rumah Griffin untuk tanya secara langsung sama dia. Maksudnya apa, bilang seperti itu." Alicia sudah mulai termakan omongan Brenda.
"Tapi, Tante jangan bilang dari aku, ya? Nanti dia ngamuk sama aku lagi. 'kan serem tante." Brenda mengusap air mata buayanya.
"Iya. Diminum dulu." Brenda meminum jus yang sudah disedikan oleh pembantu Alicia. Wajah Alicia terlihat sangat garang. Dia menajamkan matanya, mendengar anak laki-laki sulungnya dipermainkan kembali oleh istrinya. Sedangkan Brenda, tersenyum miring melihat wanita didepannya telah jatuh kedalam jebakkannya.
Alicia akan datang ke rumah anaknya nanti sore. Sedangkan Brenda, tujuannya sudah tercapai, maka dia pamit untuk pergi. Seeprti biasa, jadwal sorenya pergi ke club malam. Untuknya, hanya itu merupakan pelepasan yang paling indah. Menemukan cowok brengsek baru, merasakan kesenangan baru, dengan cowok-cowok yang mau suka rela bermesum dengannya.
"Kamu mau kemana?" tanya Brenda.
"Lebih baik, saya jalan-jalan saja, Tante. Dari pada pulang, yang ada stres mikirin istrinya kampung Griffin itu." Brenda mencium pipi Alicia kanan kiri. Alicia beranjak untuk mandi. Setelah mandi selesai, dia siap-siap, bermaksud untuk pergi ke rumah Griffin. Akan tetapi, suaminya baru saja pulang dari aktivitas sorenya.
"Mama sudah cantik, mau ke mana?" tanya Danubrata.
"Ke rumah Griffin. Ada laporan, mantu kita nggak bener lagi." Alicia sudah pasang wajah jutek dengan suaminya. Danubrata tahu, watak istrinya. Dia akan mengamuk pasti.
"Tunggu papa. Kita ke sana bareng. Aku juga sudah kangen sama cucu kita." Danubrata meminta ditunggu. Dia harus mencegah apapun, jika istrinya mulai kalap. Bagaimanapun, sepertinya ada indikasi fitnah yang tercium oleh Danubrata. Dia tidak yakin, tapi firasatnya mengatakan demikian.
"Cepetan, ih. Sudah sore." Alicia mendorong suaminya agar buruan menuju kamar mandi.
"Baik, Cantik. Jangan cemberut. Nanti cantiknya ilang ...." Alicia semakin mengerucutkan bibirnya yang berwarna merah maroon, karena lipstik yang dia kenakan.
"Udah buruan, ih!" Danubarata langsung ngacir ke kamar untuk mandi. Tidka butuh waktu lama, dia langsung berpakaian. Baju santai, yang dia kenakan.
"Ayo!" Danubrata mengulurkan tangannya, sehingga disambut oleh Alicia. Kedua sejoli itu memang selalu mesra dalam setiap suasana.