"Tidak perlu khawatir, istrimu sepertinya merawatnya dengan baik. Bahkan pelurunya juga sudah di ambil. Hanya sepertinya, lukanya sedikit tidak akan rata, karena tidak di jahit." Mereka mengangguk mendengar keterangan dari Nathan. Memang benar, Griffin punya banyak nyawa. Selalu saja, lolos dari maut.
"Gue tadi lihat Brenda keluar dari sini. Dia menginap di sini?" tanya Nathan.
"Sepertinya .... " Griffin cuek saja. Dia selalu tidak menganggap wanita itu ada, walau dia selalu saja mendekati Griffin.
"Fin, Lo harus hati-hati sama dia. Dia begitu gila. Kalau tidak, bisa mengancam rumah tangga. Kita tidak tahu seberapa besar istri lo dapat percaya sama lo." Fatin mendengarkan perbincangan mereka dari atas. Dia semula akan ikut bergabung. Akan tetapi, mendengar percakapan mereka, dia urung untuk turun.
"Oh, jadi Brenda sebenarnya suka sama Griffin. Pantaslah dia ketus sama aku." Fatin Berbisik.
"Hayo, mengapa Nyonya mengintip?" Bi Minah mengagetkan Fatin.
"Ih, Bi Minah ngagetin aja." Bi Minah ikut mengintip.
"Mengapa tidak ikut bergabung saja?" tanya Bi Minah.
"Mereka sedang membicarakan Brenda, Bi. Kalau aku ikut, pasti tidak jadi. Biarkan saja." Bi Minah mengerti. Dia turun, untuk membuatkan minum. Sedangkan Fatin, masih setia mengintip dari atas.
"Tuan, mau pada minum apa?" tanya Bi Minah setelah mendekat ke arah mereka.
"Bibi, seperti biasa saja. Sudah hafal, pake nanya." Nathan mengedipkan satu mata.
"Den Nathan, jangan kedip-kedip sama Bibi. Nanti cewek-cewek pada bully Bibi, gara-gara cemburu." Bi Minah memang suka bercanda sama mereka. Meskipun majikan, tapi Bi Minah sangat dekat dengan mereka.
Bi mInah akhirnya meninggalkan mereka. Mereka melanjutkan untuk berbincang. Tidak berapalama, Mama dan Papa Griffin datang.
"Tante Alicia dan Om Danu, makin ganteng saja." Seperti biasa, Nathan menggoda pasangan paruh baya itu.
"Bujang kita, makin kece. Kapan nyusul Griffin? Enak lho menikah." Danubrata menggoda Nathan balik.
"Tentu, Om. Kalau sudah ketemu, aku pasti langsung tancap." Nathan mengedipkan satu matanya.
"Kamu kira pedang tinggal tancap? Cus buruan cepat. Ronald juga, nunggu apa?"
Mereka saling melempar canda. "Ma, apa tidak sebaiknya Brenda itu dikembalikan saja? Aku tidak nyaman ada dia." Griffin angkat bicara.
"Fin, apa kata Om Jason kalau kita mengembalikannya? Om Jason menitipkan dia di sini, karena di LA dia banyak membuat masalah." Danubrata mengatakannya pada Griffin. Lelaki itu menghembuskan nafasnya berat. Om Jason membuang anaknya ke sini, dia yang akan kena masalah nanti. Sedangkan Fatin di atas mengangguk mengerti. Seeprtinya, dia harus mulai berhati-hati. Sepertinya, mencintai Griffin sebuah tantangan. Dia akan melawan tantangan tersebut. Wanita itu menganggukkan kepalanya, kemudian berdehem untuk menetralkan dadanya.
"Wah, ramai rupanya. Mama dan Papa, kapan sampai?" tanya Fatin. Dia berjalan ke arah mertuanya. Alicia mencium pipi kiri dan kanan Fatin. Sedangkan dengan Danubrata, hanya mencium punggung tangannya saja.
"Mama sudah makan? Tapi, saya belum masak." Fatin tersenyum kepada mertuanya tersebut.
"Beli saja, kalau tidak sempat. Cucuku mana? Kalian baik-baik saja, 'kan? Mama sampai berhari-hari tidaqk bisa tidur karena memikirkan kalian." Alicia duduk sambil merangkul Fatin.
"Iya, Ma. Seperti yang Mama lihat, aku tidak apa-apa. Abang yang sakit, karena punggugnya tertembak. Aku suka heran, mengapa sering banget Abang tertembak. Ini sudah dua kali, lho dalam sebulan ini." Semua terlihat saling menatap. Fatin terlihat bingung. Griffin berdehem untuk menjelaskan, agar istrinya itu tidak curiga pekerjaannya. Sebenarnya, Griffin sudah ingin berputar haluan. Bisnis senjata, sungguh tidak aman. Ini sangat beresiko. Bahkan dia harus bersembunyi dari dunia. Tidak dapat bebas.
"Sayang, suamimu ini 'kan sangat sukses dan kaya. Pastilah banyak yang mengincar. Makanya, kamu jangan sembarangan kalau pergi. Harus dengan pengawal, ya?" Alicia membantu menjelaskan.
"Oh, ternyata jadi orang kaya tidak enak, ya? Tidak bebas." Griffin menelan ludahnya. Memang sangat berbeda Helia dan Fatin. Jika Helia, mana berfikir keselamatan suaminya.
"Tuan, Nyonya. Makan malam sudah siap." Bi Minah memberi tahu.
"Baik, Bi. Terima kasih." Fatin tersenyum ke arah Bi Minah sang asisten sumah tangga.
"Ma, saya panggil Nevan dulu." Fatin permisi untuk memanggil Nevan putra sambungnya. Mereka semua berburu menuju ke ruang makan.
"Brenda kemana, Fin?" tanya Alicia.
"Paling ke club, Ma. Itulah sebabnya. Di sini juga tidak banyak merubahnya. Kalau mau, di bawa ke pesantren saja." Griffin protes dengan orang tuanya.
"Hus, mereka dia bukan muslim." Alicia mencegat omongan putranya.
"Kan ada asrama untuk para biarawati. Asal jangan di sini. Dia suka sembarangan. Aku tidak mau menampung orang tidak tahu diri macam dia. Kalau di LA, hamil sudah biasa. Kalau di sini? Bisa di gerebek orang sekompleks." Griffin duduk di kursinya. Sedangkan Fatin, baru turun tangga membawa Nevan.
"Hai gantengnya Nenek." Alicia menyapa cucunya.
"Hai, Nenek." Nevan langsung duduk saja.
"Kamu tidak mau menyalami nenek, Nak?" tanya Fatin. Nevan dengan segera turun dari kursi dan berlari menyalami nenek dan kakeknya. Diam-diam, Alicia dan Danubrata terselip rasa bangga. Ternyata, tidak salah dia menyetujui pernikahan ini. Fatin memang membawa dampak baik pada cucu dan juga putranya. Rumah ini terasa sangat hidup, karena kehadiran wanita itu.
"Mama dan Papa menginap, ya?" bujuk Fatin.
"Kalau Mama mau-mau saja. tau tuh Papamu." Alicia menoleh kepada suaminya.
"Rumah kita 'kan tidak begitu jauh, kenapa harus menginap?" Danubrata merasa tidak enak. Kalau mereka menginap, pasti mengganggu. Pengantin baru kadang butuh privasi.
"Pa, ayolah! Fatin mungkin merasa kesepian." Alicia berusaha membujuk suaminya. Griffin setengah tidak ingin. Pasalnya, mama dan istrinya pecinta bunga. Pasti mereka akan begadang semalaman untuk saling bertukar ide merangkai bunga. Dia akan di cuekin.
"Lain kali saja, Ma. Kita pasti akan seharian di sini. Malam ini, aku pingin mesra-mesraan sama Mama." Danubrata mengedipkan matanya.
"Papa! Ada Nevan." Alicia memukul lengan suaminya yang ada di sampingnya.
"Tidak apa-apa, Nek. Sudah biasa. Kata Uncle Gio, bermesra-mesraan itu minum vitamin. Jadi butuh. Seperti juga Nevan, setiap hari minum vitamin. Kalau kata Uncle, vitaminnya orang dewasa, namanya mesra-mesraan." Fatin menepuk jidadnya. Sedangkan Griffin dan yang lainnya malah tertawa lepas.
"Tidak boleh tidak. Kalau Gio ke mari, aku harus tatar dia. Kenapa, anak kecil dia ajarin seperti itu." Fatin meletakkan sendok dan pisaunya. Rasanya, tidak nafsu makan lagi.
"Kenapa, Sayang? Nggak enak? Mau makan yang lain?" tanya Griffin.
"Bukan, enak kok." Bukan, bukan karena makanan yang tidak enak.akan tetapi, tingkah Nevan yang kelewat dewasa tersebut, yang membuat dia khawatir.sehingga, makan juga tidak enak rasanya.
Mereka sudah selesai makan malam. Satu persatu, mereka pergi dari rumah. \tinggalah Fatin dan Griffin ada di ruang keluarga.
"Sayang, tidak bisa seperti ini. Nevan masih anak-anak. Dia sering dengar istilah orang dewasa. Dia anak yang cerdas. Tentu saja, jika sudah agak besar akan berbahaya."
"Terus?" Griffin malah menggoda istrinya dengan menciuminya.
"Serius, ah ...."