Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Mr. Sinclair and Miss Arrogant

🇺🇸VhyDheavy_Putri
264
Completed
--
NOT RATINGS
259.5k
Views
Synopsis
Sudah tujuh tahun lamanya, Edward Sinclair hidup dengan bayang-bayang mantan kekasihnya. Karena hal itu pula, ia sampai tidak bisa mendekati wanita lain. Semenjak kehilangan sang mantan, hati Edward menjadi hampa, sikapnya yang selalu hangat pun berubah dingin. Ia terbelenggu rasa penyesalan, karena dirinya, wanita yang ia cintai harus pergi dan menikah dengan pria lain. Hingga suatu ketika muncul Febiana Aditya. Wanita yang angkuh, tetapi cerdas itu datang sebagai pesaing bisnis dan musuh terbesar perusahaan real estate milik Edward. Ketika seharusnya, Edward perlu membenci sekaligus menyingkirkan wanita itu, ia justru merasa terkesima. Meski hubungannya dengan Febiana tidak baik-baik saja, perasaan lain timbul ketika mendapati beberapa sifat Febiana justru mengingatkannya pada sang mantan kekasih. Lantas, apakah perasaan Edward berkaitan dengan cinta? Ataukah hanya perasaan rindu lantaran Febiana memiliki kemiripan dengan mantan kekasihnya? Bagaimana kisah Edward dan Febiana akan berlanjut ketika mereka justru berada di dalam lingkaran permusuhan dan juga suatu perasaan?
VIEW MORE

Chapter 1 - Terbelenggu Masa Lalu

Di sebuah ruang makan dengan meja yang besar dan panjang, juga sepuluh kursi bernuansa keemasan, berkumpul mereka—delapan orang anggota keluarga, dua di antaranya merupakan cucu laki-laki yang masih kecil—sedang menyantap sarapan bersama.

Tanpa terkecuali Edward Sinclair yang merupakan putra tertua sekaligus pewaris tahta kerajaan bisnis Tuan Besar Javier Sinclair, yang berkecimpung di bidang real estate. Keluarga yang memiliki darah Perancis dan Indonesia itu tampak begitu bahagia, sekaligus menunjukkan keharmonisan yang luar biasa.

Namun ... itu hanya secara kasat mata saja. Nyatanya tidak seperti itu. Sebagai keluarga konglomerat, tentu saja ada persaingan di antara para pewaris. Apalagi dua adik Edward—Davin dan Arvin Sinclair—masih saja belum menerima keputusan sang ayah dengan menyerahkan perusahaan pada Edward secara sepenuhnya.

Kekecewaan mereka semakin meradang, ketika didesak oleh para istri untuk tidak mengambil sikap kalah atas keputusan yang dianggap tak adil itu. Dan pada akhirnya, mereka berempat selalu memanfaatkan kekurangan Edward untuk memberikan desakan agar ia mundur dari jabatan.

"Ayah tahu, setelah generasi kami, tentu harus ada pewaris tahta berikutnya, 'kan? Apa Ayah tidak memikirkan hal itu? Apalagi di saat Kak Edward masih saja melajang di usia yang tak lagi bisa dikatakan muda," celetuk Davin tanpa sungkan dan terkesan memancing pertengkaran.

Tak mau kalah dengan kakak keduanya itu, Arvin berkata, "Itu benar. Di usia 37 tahun, tentu akan sulit untuk mendapatkan pewaris. Masa pacaran sudah pasti memakan waktu yang sangat lama, untuk sampai ke jenjang pernikahan. Seharusnya, Ayah dan Ibu mempertimbangkan lagi soal penerus di generasi kami."

"Ayah, bersikap adil itu perlu untuk kami. Lagipula, ucapan suamiku dan Arvin benar adanya." Clara menyahut, kemudian menatap Edward yang sejak tadi hanya diam. "Bukankah Kak Edward tidak keberatan? Lagipula, sekalipun turun dari jabatan, Kakak masih mendapat nilai saham paling besar."

Javier dan Belinda—istrinya—menghela napas. Mereka berdua bingung menghadapi situasi yang nyaris setiap hari berlangsung. Acara sarapan bukannya terasa manis seperti kelihatannya, tetapi justru miris. Apalagi soal harta dan jabatan yang diperebutkan, seolah kedua putra dan menantunya itu tidak menghargainya yang masih menjadi pemilik sah.

"Ayolah, Kak. Kalau memang tidak berkenan, seharusnya Kak Edward segera menikah saja. Untuk apa memikirkan Nona Kimmy yang jelas-jelas sudah diperistri pria lain? Terlebih, sudah sejak tujuh tahun yang lalu lagi," desak Berta, sang menantu kedua.

Mendengar nama Kimmy disebut-sebut, hati Edward merasa panas. Dengan gerak cepat ia melemparkan sendok yang berada di genggaman ke sudut ruang makan dengan keras. Karena sikapnya itu, seluruh keluarganya sontak saja terkejut, tanpa terkecuali kedua orang tuanya.

Belum puas dengan melempar benda kecil yang terbuat logam itu, Edward menggebrak meja makan dengan sekuat tenaga. Tampak gurat kemarahan di paras wajahnya yang tampan ala Eropa. Matanya pun memerah dan nyaris di sekujur tubuh Edward gemetar. Gemelutuk terdengar di bagian dalam rahangnya, menandakan ia sedang menggertakkan gigi demi menahan emosi.

Semua orang langsung terdiam setelah Edward bersikap demikian. Entah Davin, Arvin, Clara, ataupun Berta mereka benar-benar mati kutu. Yang bisa mereka lakukan hanyalah saling menyenggol dan lantas menumpahkan kesalahan satu sama lain.

Tidak mau terjebak di dalam suasana yang tegang terlalu lama, Javier memutuskan untuk berdiri. Dengan tangan rentanya, ia memegang lengan Edward dengan harapan putra tertuanya itu bisa lebih tenang.

"Mereka hanya bercanda saja, Nak. Jangan diambil hati. Ayo, lanjutkan sarapannya lagi," ucap Javier dengan lembut dan penuh kesabaran.

"Kalian juga, hal seperti ini sudah sering dibahas. Kenapa masih dibicarakan lagi? Apa yang kami berikan pada kalian sebagai orang tua juga tidak sedikit!" omel Belinda pada kedua putra dan menantunya.

Tak ada sahutan sama sekali dari mereka berempat, membuat Edward memutuskan untuk mengambil kendali atas keadaan. "Kalian tahu, dengan hal seperti yang kata Ayah hanya sebuah canda, aku justru semakin ingin menguasai segalanya! Aku tidak akan pernah turun dari jabatan sebagai CEO sekaligus pewaris utama perusahaan!"

Setelah mengatakan penegasan itu, Edward berangsur melepaskan tangan Javier dari lengannya. Tanpa kata pamit, ia memutuskan untuk segera pergi dari ruang makan itu.

Dengan menggunakan mobil mewahnya yang dikemudikan oleh sang sopir, Edward membawa serta segala emosi dan kekesalan di dalam dadanya. Ia sudah terlalu segan untuk bercengkerama dengan para saudara yang tak memberikan dukungan sama sekali. Oleh sebab itu, pelarian paling benar adalah kantor dan pekerjaan.

Sejujurnya, Edward sendiri masih tidak mengerti sama sekali, mengapa hidupnya harus terbelenggu kisah suram di masa silam. Semenjak Kimmy memberikan kabar penikahan dengan pria lain, hidup dan hatinya menjadi tidak baik-baik saja. Wanita yang merupakan mantan kekasihnya itu, pernah menjadi wanita kesayangan, tetapi justru harus jatuh ke pelukan orang. Dan yang paling fatal adalah kepergian dan keputusan yang Kimmy ambil sebab dari kesalahannya sendiri.

Delapan tahun yang lalu, terhitung satu tahun sebelum dan tujuh tahun setelah pernikahan Kimmy digelar, Edward meninggalkannya dengan dalih melanjutkan pendidikan di luar negeri. Edward pikir Kimmy hanya akan terkekang jika masih memiliki hubungan dengannya sebagai sepasang kekasih, sehingga ia memutuskan wanita itu secara sepihak dan meninggalkan bekas luka yang mendalam.

Namun, setelah satu tahun hidup di Eropa, tepatnya di negara Italia, Edward tak berangsur melupakan Kimmy. Karena perasaan cinta yang telah bercampur rindu itu, ia memutuskan untuk pulang ke Indonesia dan mencari Kimmy kembali. Sayangnya, ... Kimmy sudah terlanjur kecewa padanya. Setelah bertengkar hebat, wanita itu pergi begitu saja dari hadapannya.

Satu bulan berselang, Kimmy memberikan undangan pernikahan. Kabar itu sukses menghancurkan hati Edward yang notabene sedang memberikan waktu tenang untuk Kimmy. Puluhan cara sudah ia lakukan demi mendesak Kimmy kembali padanya, tetapi tetap saja wanita yang memiliki sifat keras kepala dan angkuh itu terus menolaknya dengan tegas.

Berawal dari kisah itu, Edward mulai menarik diri dari dunia asmara. Selain belum bisa melupakan Kimmy, ia merasa menyesal sekaligus bersalah. Dan penyesalan itu membuatnya trauma untuk menjalin cinta.

Edward tidak mau mengecewakan hati wanita lagi, ia juga enggan untuk ditinggalkan. Masa lalu itu berhasil merubah dirinya, nyaris ke segala segi. Edward tak lagi ramah dan hangat, melainkan sudah sedingin Kutub Utara. Matanya yang pernah dianggap sebagai mata biru yang selalu tersenyum, kini menjadi sayu dan kadang kala sinis menajam.

Melepaskan diri dari belenggu penyesalan itu, bukan perkara mudah bagi Edward. Sampai saat ini, ia tak pernah menemukan cara untuk bisa melupakan atau setidaknya membuka sedikit pintu hatinya pada wanita lain. Pada akhirnya, ia hidup melajang sampai di usia yang tiga tahun lagi sudah memasuki kepala empat.

Suara dering ponsel dari kantong blazer, tiba-tiba terdengar, membuat lamunan Edward langsung buyar terbawa angin dan sebagian besar masih menyelinap di pikiran. Kemudian, ia merogoh benda persegi panjang itu dari tempat keberadaan. Tampak nama Ibnu, sekretaris pribadinya pada layar ponsel tersebut.

"Halo?" sapa Edward.

"Tuan, seseorang telah mencuri kesempatan kerja sama kita dengan Mr. Hector," sahut Ibnu dari kejauhan sana.

Mata Edward membulat penuh. "Apa?! Siapa? Dan bagaimana bisa? Begitu saja, kamu kecolongan! Apa kamu tahu seberapa pentingnya, masalah itu, Ibnu?!"

"Nona Febiana Aditya. Beliau telah memenangkan kontrak kerja sama dengan Mr. Hector, Tuan. Ini di luar kendali kami."

"Febiana Aditya?"

Edward menggertakkan giginya, sementara tangannya menurunkan ponsel, tetapi masih menggenggam kuat-kuat benda tersebut. Tak ia sangka, kedatangan Mr. Hector, seorang pengusaha besar dari Jerman yang sejak dulu ia nantikan justru harus menjadi sia-sia. Menurut kabar yang beredar, Febiana sendiri adalah pewaris tunggal perusahaan kompetitor yang sangat ia benci. Gilanya, ia dan timnya kalah dari seonggok manusia beraga wanita yang tentu saja merupakan makhluk lebih lemah.

Karena Febiana pula, semua usahanya selama ini menjadi hancur lebur!

"Febiana ...." Kendati suaranya lirih, paras Edward tetap mengerikan. Kekesalan yang sudah ada sejak dari rumah, semakin bertambah besar pasca kabar mengejutkan yang ia dengar.

***