"Sayang, tidak bisa seperti ini. Nevan masih anak-anak. Dia sering dengar istilah orang dewasa. Dia anak yang cerdas. Tentu saja, jika sudah agak besar akan berbahaya."
"Terus?" Griffin malah menggoda istrinya dengan menciuminya.
"Serius, ah ...."
Mereka sudah selesai sarapan. Nevan pergi ke kamarnya, karena sebenatr lagi pasti guru home schoolingnya datang. Sedangkan Fatin, mengantar Griffin untuk beranjak ke kantor. Dia berjalan menghampiri tas Griffin yang ada di kursi, kemudian mengangkatkannya untuk suaminya tersebut. Lelaki itu membiarkan istrinya tersebut untuk membawakan tasnya, sedang pergelangan tangannya meraih pinggang istrinya. Mereka berjalan menuju ke depan.
"Ronald sudah datang. Aku pergi dulu, Sayang." Satu kecupan mendarat di mulut Fatin, sehingga wanita itu wajahnya memerah.
"Ih, kenapa menciumku? Malu, tau?" Fatin mencubit pinggang suaminya.
"Au, Kenapa, malu? Mereka akan tutup mata melihat kita bermesraan."
"Sudah, ah. Sana pergi!" Sekali lagi, satu kecupan mendarat di kening istrinya. Kalau di kening, Fatin tidak menolak.
"I love You. Abang pergi dulu, ya? Baik-baik di rumah." Griffin masuk ke dalam mobil. Kemudian menurunkan kaca mobilnya.
"Balasnya mana?" Fatin tersenyum, kemudian membalas ucapan Griffin.
"I love you, too." Lambaian tangan Fatin, menandakan Griffin harus segera beranjak untuk pergi. Fatin berbalik setelah mobil Griffin menjauh dan hilang ditelan belokan. Kebahagiaan menjadi istri Griffin ternyata membuatnya jenuh juga. Dia rindu dengan Floris. Maka, selama Nevan sedang home scholing, dia memilih untuk pergi ke Floris. Lebih baik, dia pamit dulu kepada anak sambungnya tersebut.
"Apakah mama mengganggumu?" Nevan menoleh ke arah sumber suara.
"Ada apa, Ma?" Nevan meletakkan alat tulisnya.
"Sayang, mama mau pergi ke Floris. Boleh tidak?" Fatin memeluk putranya tersebut.
"Boleh saja. Mama 'kan memang suka bunga. Hati-hati ya, Ma." Satu kecupan mendarat di kening Nevan.
"Silakan lanjutkan, Bu guru. Saya permisi. Da sayang ...."
"Da, Mama." Fatin keluar dari kamar Nevan untuk pergi ke Floris. Dia sudah sangat merindukan teman-temannya di sana. Dia siap-siap dahulu, sebelum akhirnya pergi dengan supir dan satu body guard.
"Divia, tolong antar aku ke Floris, ya?"
"Baik, Bu."
Divia langsung saja beranjak untuk mengantar majikannya tersebut pergi ke tujuan yang diinginkan.
Hanya butuh setengah jam saja, mereka sudah sampai di tempat tujuan. Divia turun dulu untuk membukakan pintu untuk Fatin. Wanita cantik itu tersenyum sambil mengucapkan terima kasih. Fatn melangkah dengan hak tingginya menuju ke Floris. Dia sekarang sudah menjadi Nyonya Griffin. Jadi, sudah sepantasnya berpenampilan lebih baik.
"Pagi, Kakek Bagyo. Boleh saya pesan bunga untuk mertua saya?" Fatin sengaja menggoda kakek Bagyo. Kakek Bagyo mengenali suaranya, tapi samar melihatnya karena tidak pakai kaca mata. Dia mencari kaca matanya, yang lupa dia letakkan. Fatin membantunya mencari, kemudian memakaikannya ke mata Kakek Bagyo.
"Woalah! Kamu? Bagaimana kabarmu, Nduk? Saya turut berduka dengan penyakit ibumu. Bagaimana kabarnya?" Fatin tersenyum. Ibunya masih saja berobat jalan. Setiap hari, dia bolak-balik mengunjungi ibunya, karena ibunya tidak mau tinggal bersama. Hanya suster saja, yang dipekerjakan untuk menjaga ibunya tersebut.
"Dia lebih baik, Kek. Kakek sendiri, bagaima ..."
"Kamu, ya? Sudah aku bilang, kalau membawa rangkaian milik Bu Stela itu harus super hati-hati. Kita yang repot 'kan?" Dinda mengomel, karena komplain dari pelanggan.
"Kok kamu nyalahin saya, sih? 'Kan kamu yang maksa untuk nitip? Sudah dibilang penuh, tidak percaya." Rasya dan Dinda memang sering sekali bertengkar, walau mereka sudah pacaran.
"Dasar pacar nggak ada akhlak! Kalau sudah begini, bagaimana?" Dinda memelototi Rasya.
"Ya, mana aku tahu? Sudah, ah. Aku mau lanjut mengirim. Pusing dengerin kamu!"
"Halo!"
"Diam!"
"Sya, Din. Kalian selalu berantem tidak bisa apa, kalian kerja sama?"
"Fatiiin!" Dinda memeluk Fatin sangat erat, sehingga Fatin hampir tidak bisa bernapas.
"Din, sesak napas aku bisa metong. Lepasin gih!" Dinda melepaskan pelukannya.
"Aku tidak di peluk hin?"
"Ini!" Dinda menunjukkan kepalannya.
"Jadi, kalian sudah jadian dan tidak memberi pajak jadian padaku? Teman nggak ada akhlak kalian." Fatin menggoda keduanya, sehingga mereka tersipu.
"Kita lanjutin di dalam, yuk?" Rasya berjalan mengikuti mereka.
"Eh, mau ke mana? Sudah sana! Kamu harus pergi lanjutin mengirim pesanan." Dinda mendorong tubuh Rasya agar keluar.
Fatin menggeleng-gelengkan kepalanya, melihat tingkah mereka. Sampai di depan, Rasya menarik tangan Dinda. "Satu ciuman, baru aku mau pergi."
"Ih, nakal banget! Enggak! Cepat pergi!" Cup ... satu ciuman mendarat di pipi Dinda, sehingga Dinda mencubit pinggang Rasya. Dinda beranjak ke dalam, sedangkan Rasya masuk ke mobil. Dinda tersenyum sambil memegang pipinya, bekas ciuman Rasya.
"Ehem, senyum-senyum sendiri? Ada apa, nih?" Fatin menggoda Dinda yang baru saja, menghempaskan tubuhnya di depan Fatin.
"Kita ngobrolnya sambil kerja, ya? Ditinggal kamu, keteter semua." Fatin tersenyum.
"Sebenarnya, aku juga berat ninggalin Floris ini. Namun, suamiku bilang, tugasku untuk Nevan. Hanya sesekali saja, boleh aku kemari." Fatin menundukkan kepalanya.
"Iya, aku mengerti, kok. Btw, bagaimana bulan madunya? Sudah itu, belum?" Fatin bersemu merah. Dia menutup matanya.
"Sudah, dong. Kamu juga harus menikah secepatnya. Kalian berdua 'kan juga sudah waktunya menikah. Terima kasih hadiahnya, ya? Ternyata, kalau sudah menikah, baju begituan memang penting." Dinda menutup wajahnya, menggunakan rangkaian bunga.
"Sebenarnya, aku tahu dari novel. Karena sering baca novel, jadi bucin. Kalau di novel sering di sebutkan lingerie. Aku waktu beli saja, malu rasanya. Tapi, tokonya sekalian kusuruh bungkus." Dianda tertawa mengingat saat itu.
"Emang kamu beli di mana?" tanya Fatin penasaran.
"Bayangin, ni. Aku beli di mal, diantar sama Rasya. Waktu masuk ke mal, dia bilang gini, 'kalau kita menikah, kamu pakai yang warna merah itu, ya. Sepertinya sangat menarik dan sexi' ya aku cubitlah. Aku malu banget." Dinda menutup wajahnya.
"Itu kode. Berarti dia pingin menikah." Fatin mendukung agar mereka menikah. Lagi pula, Rasya tipe lelaki yang bertanggung jawab. Dia juga pandai jualan on line. Tidak akan susah, jika Dinda menikah dengannya.
"Tapi, Rasya belum melamarku, masa aku harus minta dilamar. Aneh-aneh aja." Dinda memutar bola matanya. Fatin tyertawa melihat Dinda seeprti itu.
"Kalau begitu, bagaimana jika aku bantu kamu agar cepat dilamar oleh Rasya?" Fatin mengedipkan matanya. Dinda tersenyum, kemudian menutup wajahnya. Dia tersipu malu dengan perkataan Fatin tersebut. Mereka bercanda hingga tiba waktunya Fatin untuk pulang.
"Aku pulang, ya? Senang bisa bercanda dengan kalian. Rasya, jangan lupa, aku tunggu undangan kalian. Nanti, akan aku kado lingerie warna merah maroon, seperti yang kau mau." Fatin tertawa sambil berlalu memasuki mobilnya.