"Kau dulu yang minum. Kau lebih membutuhkannya." Griffin dan Fatin saling tersenyum. Ternyata, bahagia walau mereka tidak tahu, apa yang terjadi hari esok. Fatin menurut. Terdengar suara heli. Fatin berdiri dan melambaikan tangannya, tepat di samping bendera yang dia buat. Heli itu turun dan menyapa mereka.
"Pak, tolong kami. Kami terdampar." Rupanya, dia polisi dari Singapura. Meskipun tidak bisa bahasa Indonesia, dia mengerti apa yang Fatin ucapkan.
"Oh, What are you doing?" tanya polisi itu.
"We were stranded, we were Indonesian." Grifin mengatakan, bahwa mereka tersesat.
"Okay, we will help you." Polisi tersebut menyuruh mereka naik ke dalam heli. Untung saja, dia tidak memeriksa luka Griffin. Sebuah keajaiban, datang dari buah do'a. Dengan berdo'a maka Tuhan mengirimkan bantuan lewat kru patroli. Mereka di bawa ke Singapura. Hanya sekitar satu jam, mereka sudah sampai di daratan.
"Sir, may I borrow telephone?" Mereka mengijinkan Griffin meminjam telepon. Griffin menghubungi Ronald.
Sekali, tidak diangkat. Dua kali, baru diangkat. "Halo?" Mendengar suara Ronald, tidak pernah Griffin sebahagia ini.
"Ini aku, Ronald. Jemput aku di Singapura. Nanti aku kirim koordinatnya." Tanpa mendengar jawabannya, Griffin menutup teleponnya. Dia meminjam saluran internet untuk mengirim koordinat di mana dia berada pada Ronald. Kepolisian tersebut mengijinkan. Akan tetapi, karena memang tidak membawa identitas apapun, Fatin dan Griffin diintrogasi dengan detail. Griffin sudah sedikit berasap. Mereka mengintrogasi dirinya dan istri, seolah-olah seorang buronan. Bahkan mengintrogasi di ruang terpisah.
Setelah puas mengintrogasi, ada seorang polisi yang sedikit kasihan padanya. Polisi tersebut membelikan makanan untuknya. Mereka berdua makan dengan lahap, karena sudah hampir tiga hari tidak makan yang layak. Setelah itu, tidak terasa keduanya tertidur di tempat duduk itu. Mereka sudah berada di satu ruangan lagi, ketika semua jawaban introgasi sama. Untung saja, Fatin juga tidak menceritakan kisah penembakan itu. Kalau bercerita, bisa berbuntut panjang. Setelah sekitar dua jam, Ronald datang ke kantor polisi tersebut.
Setelah mengusus administrasi, Ronald membawa Griffin dan Fatin untuk naik heli. Selamatlah sudah mereka. Fatin yang beberapa hari tidak tidur, langsung terlelap saat heli itu bermanufer menuju ke Indonesia.
"Kasihan kamu, Sayang. Mengurusku sampai kelelahan. Aku janji, akan melindungimu, apapun yang terjadi." Griffin berjanji pada dirinya sendiri.
"Tuan Bos, Istri Anda sudah tidur? Ibunya kritis, saat tahu kalian di serang." Griffin mengerutkan keningnya.
"Kok bisa tahu?" tanya Griffin.
"Saya tidak tahu, siapa yang usdah menginformasikan hal itu padanya. Yang jelas, saat datang sudah kejang-kejang. Setelah sadar, dia histeris dan mengatakan bahwa dia akan mencari Nyonya Fatin. Saya hanya mengidentifikasi, bahwa ibunya tahu sesuatu. Setelah itu, dia pingsan lagi." Ronald memberi tahu.
"Kau yakin, tidak ada orang yang mengatakannya? Barangkali, berita?" tanya Griffin.
"Sepertinya tidaki, Tuan Bos. Saya sudah menghentikan semua berita tentang penembakan itu." Griffin mengangukkan kepala. Sepertinya, ada orang yang coba main-main dengannya.
"Bagaimana dengan luka Tuan Bos?" tanya Ronald.
"Hanya butuh di cek saja. Biarkan Nathan yang melakukannya nanti. Kita pulang saja. Sepertinya, istriku kelelahan." Griffin tidak sedetik pun melepaskan genggamannya. Dia terus menggengam jemari istrinya yang tertidur pulas. Tidak ada yang bisa mengganggu Fatin tidur. Apalagi, telinganya di sumbat. Griffin bicara sangat kencang karena suara heli saja, Fatin tidak mendnegarnya. Setelah mengudara beberapa jam, akhirnya mereka sampai langsung di atap rumah Griffin. Lelaki itu membiarkan istrinya masih terlelap. Seandainya punggungnya tidak sakit, sudah di angkat tubuh mungil itu.
"Perlu bantuan, Tuan?" Ronald menawarkan diri.
"Mau aku pecat! Tidak satu pun lelaki boleh menyentuh istriku." Griffin menyorotkan matanya tajam ke arah sang asisten.
"Baiklah, Tuan Bos. Aku hanya menggoda saja." Ronald meninggalkan bosnya untuk turun ke dalam rumah. Sedangkan dua body guard sedang berjaga di luar pesawat.
"Huaummm ...." Fatin mengulat dan menguap. Dia mulai terlihat membuka mata.
"Sudah sampai, ya? Aku ketiduran? Turun, yuk?" Griffin tersenyum mendengar perkataan istrinya. Dia turun terlebih dahulu, untuk kemudian meraih jemari istrinya untuk turun juga.
"Ahirnya, bisa melihat pemandangan sumpek Jakarta lagi." Fatin menepi melihat pemandangan kota Jakarta dari landasan di atap rumah Griffin. Lelaki gagah itu mendekati istrinya, dan memeluk dari belakang.
"Kau bahagia, Sayang? berkat do'amu, kita sampai kembali ke rumah ini." Fatin memegang jemari Griffin yang memeluk tubuhnya.
"Kita turun? Nevan pasti sudah mencari kita." Fatin berbalik dan memandang wajah lusuh suaminya, yang masih terlihat tampan walau berhari-hari tidak mandi.
"Tentu saja, dia pasti sudah merindukanmu." Griffin meraih dagu istrinya dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya meraih tengkuknya. Dengan sejuta perasaan, Fatin memejamkan mata merelakan bibir tipis manisnya di lumat oleh sang suami. Dia mendesah, saat lumatan itu semakin rakus menguasai seluruh rongga-rongga mulutnya. Dalam, dan ssangat dalam. Mereka larut dalam gairah bercinta, dalam remang malam kota Jakarta. Griffin melepaskan tautannya, setelah sang istri kehabisan oksigen, karena terlihat terengah.
"Kita lanjutkan di dalam? Aku sangat merindukan bermain ranjang denganmu." Fatin bersemu merah. Dia selalu malu dan malu, saat Griffin menggodanya. Mereka bergandengan turun ke dalam rumah. Malam ini, keceriaan dan kebahagiaan kembali mengemas mereka. Rindu akan kedamaian dan aroma ranjang terlihat dari raut wajah ke duanya.
Sementara itu, di dalam Nevan berlari melihat Ronald sudah kembali. "Papa kemana ,Om Ron? Dia tidak menghubungiku, tidak juga bisa dihubungi." Nevan seperti orang dewasa yang mengintrogasi bawahannya.
"Ada, masih di atas. Mama tertidur di pesawat, jadi Papa menunggunya bangun." Ronald memberi tahu.
"Benarkah? Kenapa tidak di gendong seperti biasanya?" tanya Nevan.
"Punggung Papa terluka, jadi tidak bisa menggendong." Nevan manggut-manggut. Sungguh menggemaskan tinghkah anak itu. Dia dewasa sebelum waktunya. Rasanya, seperti menghadapi orang yang sudah dewasa saja, jika berbicara dengannya. Sedang Nevan berbincang dengan Ronald, Griffin dan Fatin turun dari tangga bergandengan.
"Itu mereka." Nevan lari dan memeluk Fatin. Bukan Papanya terlebih dahulu yang di peluk, akan tetapiFatin, yang jelas-jelas ibu tirinya. Rupanya, Nevan sangat sayang pada wanita itu.
"Kau merindukan Mama,Sayang? maafkan mama, ya? Sinyalnya susah, jadi tidak bisa menghubungimu." Fatin membungkukkan tubuhnya, untuk mencium kening sang putra.
"Nevan mengerti, Ma." Fatin tersenyum.
"Mama bau, ya? Mama mandi dulu, baru kita main. Setuju?" Fatin mengacungkan jempolnya.
"Baiklah, Ma. Kita main di tempat tidur saja, ya? Biar Mama sekalian istirahat." Fatin tersenyum mendengar celoteh putra sambungnya. Sedangkan Griffin sudah masuk ke kamar untuk mandi terlebih dahulu.
Fatin berjalan ke dapur. Meskipun banyak pelayan, dia selalu membuatkan minum untuk suaminya sendiri. Kecuali jika terpaksa, tidak bisa karena Nevan atau tidak beradadi rumah. Ada seorang wanita yang berdiri di depan mini bar. Dia berpakaian sangat sexi. Fatin baru kali ini melihatnya. Dia tidak kenal dengan wanita itu.
"Heh, Lo. Lo itu di sini seorang ibu. Jadi jangan mentang-mentang lo istrinya Griffin seenak jidad pergi berlama-lama. Kalau lo mau pergi lama sekali, kenapa tidak pulang sekalian,sih?" Fatin mengerutkan keningnya. Wanita itu mengenalnya? Tahu kalau dia istri Griffin? Siapa wanita itu?