Tiba-tiba, dia ingat bahwa Griffin selalu membawa senjata, minimal pistol dan juga pisau. Ada secerca harapan. Dia akan mempergunakan itu untuk memetik daun kelapa. Setidaknya, mereka akan tidur beralaskan daun kelapa.
Kali ini dia harus kuat. Dia mencari pohon kelapa yang pendek. Dia memangkas daun kelapa. Kali ini, dia akan membuat tikar dengan daun kelapa. Sedang dia berusaha memanjat, terdengar suara gemeretuk gigi Griffin karena menahan sakit. Dia sudah sadar rupanya. Griffin mengigil lagi. Dia terdiam sejenak. Mau tidak mau dia harus tega. Peluru itu harus keluar dari tubuh suaminya. Dia menyelupkan pisaunya ke air asin untuk menghilangkan bakterinya. Kali ini, dia harus tega mengambil peluru yang bersemayam di tubuh Griffin.
"Sayang, kamu harus tahan ya? Ini akan sangat sakit. Ya Allah, aku tidak tega rasanya. Tapi, kalau tidak diambil akan tambah bahaya." Dengan keteguhan hati, Fatin mengarahkan ujung pisau yang tajam ke arah peluru tersebut bersemayam. Luka hati, luka jiwa bercampu jadi satu. Keringat membanjiri keningnya.rasanya demikian sakit berbalut dengan luka. Darah mengucur dari bekas luka yang dia gores, bercampur dengan air mata dan keringatnya. Fatin tidak tega, ketika Griffin mulai merintih. Dia agak lama melakukannya, dengan tangan yang gemetar.
"Sebenarnya, siapa kamu? Mengapa mereka mengincarmu. Demikian pahitnya ternyata menjadi orang kaya. Banyak yang menginginkan nyawamu." Fatin sudah selesai melakukannya. Dia membubuhi luka Griffin dengan dedaunan. Daun yang sama dengan daun yang sebelumnya untuk menghentikan darah yang mengucur di punggungnya. Tidak bisa di bayangkan takut dan bingungnya Fatin saat ini. sore sudah menjelelang. Sun set yang sejatinya indah menjadi suram untuknya. Bagaimana dia akan membuat pelindung malam ini dari terpaan angin laut. Kenyataannya dia hanya seorang wanita. Dia diam sejenak. Setelah itu, meninggalkan Griffin sebentar untuk mencari dedaunan yang dapat digunakan untuk menghalangi angin yang menerpa tubuh suaminya.
Dia berjalan masuk ke hutan tidak jauh dari tubuh Griffin yang masih tergeletak belum sadarkan diri. Dia menemukan beberapa daun kelapa kering. Dengan sisa tenaga, dia menarik daun-daun itu. Peralatan seadanya, membuat dia kreatif untuk memebuat anyaman. Setelah itu, di gunakan untuk pagar malam ini. Tuhan masih berp[ihak padanya. Malam ini tidak hujan. Rembulan berkilau di atas laut. Sesungguhnya, ini malam yang paling indah untuk pasangan pengantin baru sepertinya. Tapi, menjadi malam yang paling naas.
Tidak perlu di sesali. Sekarang, hanya tinggal berfikir, bagaimana caranya, bisa pulang. Hanya itu saja. Fatin sudah lelah, membuat rumah untuk mereka. Setelah terlelah dengan aktifitasnya, dia berbaring dengan tubuhnya mnjadi bantal untuk suaminya. Sinar rembulan dengan manja masih menerpa tubuh pasangan suami istri itu. Debur ombak terdengar mengerikan saat malam hari. Seolah siap menelan semua yang ada di tepian. Tapi, Fatin harus membungkusnya rapat ketakutannya itu. Dia memilih memejamkan matanya.
Saat malam tiba, tubuh Griffun bereaksi. Dia menggigil. Fatin sadar dari tidurnya, mengetahui suaminya menggigil. Dia memeluk belahan jiwanya itu dengan erat agar mengurangi rasa dinginnya. Air mata meleleh kali ini. Bibirnya berucap tanpa henti, memohon ampun pada sang pencipta.
"Tuhan, jika tinggal di sini adalah pilihan terbaik, maka berilah aku jalan untuk menggapai rizkimu. Tapi jika bisa pulang, beri tahu hamba jalannya kemana?" Dia memeluk tubuh Griffin dengan sangat erat untuk menyalurkan rasa hangat.
Griffin mulai sedikit membaik. Dia menyadari air mata yang mengalir di pipi cantiknya. Tangan gemetar itu mengusap air mata istrinya. "Maafkan a-ku, sa-yang." Suaranya bergetar. Fatin menutup mulut suaminya dengan telunjuknya. Mereka akhirnya tidur sambil berpelukan.
Pagi menampakkan kilaunya dengan sangat indah. Perut Fatin mulai bergejolak. Dia bangkit meninggalkan tubuh Griffin yang masih terlelap. Dengan sisa tenaga, masuk ke dalam hutan. Ada beberapa pohon jambu yang membuat senyumnya merekah. Dia memanjat pohon itu dengan susah payah. Setelah itu, memetiknya. Rasa syukur tidak terhenti sari bibir mungilnya. Tuhan menjawab do'anya, walau hanya dengan makan jambu biji.
Dia membawa jambu tersebut menggunakan daun pisang. Sedikit berlari, menjangkau tubuh suaminya, ketika lelaki itu akan bangkit dari tidurnya.
"Kau mau bangun?" Fatin membantu suaminya untuk bangun. Setelah meletakkan jambu-jambu itu di atas batu, di samping Griffin.
"Aku menyusahkanmu, ya? Maafkan aku." Fatin memeluk suaminya dan mengusap punggung lelaki itu.
"Jangan bicara seperti itu. Sekarang, makan ya? Maafkan aku! Sebab belum bisa caranya menangkap ikan. Sementara, makan ini dulu." Fatin mengupas jambu biji itu. Dengan telaten dia melakukannya. Setelah itu, menguapkannya ke arah suaminya.
"Kau juga harus makan." Bekas gigitan Griffin di arahkan ke mulut Fatin. Mereka makan dengan lahap.
"Rasanya bagaimana lukamu?" tanya Fatin. Dia memeluk suaminya.
"Lebih baik. Jika kita tidak ditemukan, apakah kau mau hidup denganku di sini?" tanya Griffin.
"Kau bicara apa? Aku istrimu, keadaan apapun, aku bersamamu." Untuk kesekian kalinya, tangis haru menerobos kelopak mata Griffin. Dia tidak salah memilih Fatin menggenggam jiwanya. Wanita itu bagai malaikat yang datang ke dalam kehidupannya.
"Terima kasih, Sayang." Fatin mengelus rambut suaminya. Dia bahagia, entah untuk apa. Tapi suaminya bahkan mencintainya meskipun keadaan mereka seperti ini.
"Bang, kalau kau sudah sembuh, kita pulang menggunakan perahu skoci itu, ya?" Fatin mengatakan, di sela bermesaraannya dengan suaminya.
"Kita tunggu di sini saja. Skoci tidak aman. Kau keberatan?" tanya Griffin.
"Tidak! Aku hanya memikirkanmu. Bagaimana kau biasa memiliki segalanya, di sini bahkan untuk makan saja sulit." Griffin membalik tubuhnya dan memeluk istrinya. rasa sakit di punggungnya tidak terasa, tertutup oleh kebahagiaan. Dia mencium bibir molek sang istri. Makin lama makin mendalam, dengan tengkuk Fatin yang sudah di tekan oleh dirinya. Sesapan demi sesapan membuat keduanya larut dalam euforia cinta. Griffin sadar, nafas istrinya sudah mulai terengah. Maka, dia melepaskan lumatannya.
"Kau sudah mulai pintar." Griffin memeluk Fatin dari belakang. Tidak ada yang mereka lakukan, selain menikmati keadaan. Fatin melepaskan diri dari kungkungan suaminya. Dia mencari air bersih untuk mereka minum. Sebenarnya Griffin ingin ikut. Tapi Fatin melarangnya.
"Lebih baik kamu istidahat. Cepat sembuh, agar cepat menggantikanku." Senyum merekah di bibir ranumnya. Setelah itu, berlalu meningga;lkan suaminya. Griffin menyaksikan punggung istrinya di telan rimbunnya hutan. Ada gelenyar khawatir menusuk ke dalam dada. Binatang buas mungkin akan menghadangnya. Tapi, dia menghempaskan pikiran itu. Berganti dengan berdo'a, semoga sang istri lepas dari mara bahaya.
Tidak lama berselang, Fatin membawa air dengan daun pisangt dan juga beberapa buah lain. Senyum merekah di bibir cantik istrinya.
"Aku menemukan buah pisang. Ini di munum dulu." Griffin mengarahkan uluran istrinya, kembali ke mulut istrinya.
"Kau dulu yang minum. Kau lebih membutuhkannya." Griffin dan Fatin saling tersenyum. Ternyata, bahagia walau mereka tidak tahu, apa yang terjadi hari esok.