Fatin sudah selesai terlebih dahulu. Di susul dengan Griffin. Fatin berjalan membuka lemari. Sepertinya sudah lengkap baju di sana dan masih bungkusan baru, tapi sudah di cuci. Sepasang baju pantai corak bunga-bunga yang kembar mereka kenakan.
Mereka turun untuk makan siang.. Awal mula, tidak ada yang aneh. Hanya beberapa orang yang lewat. Meski ini hanya private, akan tetapi bukan berarti tidak ada orang lain 'kan. Griffin memang ingin liburan privat. Ah, bukan sekedar libur. Ini momen cetak keturunan yang paling fenomenal menurutnya.
Griffin menggandeng istrinya untuk masuk ke restoran. Sudah ada beberapa pelayan yang melayani mereka. Fatin tersenyum dan merasa sangat istimewa. Lelakinya memperlakukan dirinya, bagai tuan putri. Meskipun dia sendiri tidak suka diperlakukan seperti itu. Merasa risih dan malu di depan orang banyak.
Dari kejauhan seseorang memperhatikan mereka. Sesekali dia menggunakan teropong untuk melihat lebih jelas. Orang tersebut, tersenyum smirk melihat kemesraan mereka. Rasanya, seorang tersebut sangat muak melihat kemesraan mereka.
"Mereka sedang makan siang, Tuan." Anak buah orang tersebut menganalisa apa yang dia lihat.
"Bawa kemari teropongnya." Lelaki itu menggunakan teropong, dan melihat aktifitas Griffin dan juga Fatin. Dia tersenyum miring. Batinnya berkata, kali ini biarkan mereka senang-senang dulu. Akan ada waktunya untuk mereka berhujan tangis. Biarkan saja, untuk saat ini mereka tertawa ria, sebelum banjir tangisan.
"Siapa wanita itu? Apa dia pelacurnya?" tanya lelaki itu.
"Menurut berita dari mata-mata, bahwa Griffin laki-laki setia. Itu istri barunya." Pengawal tersebut mengatakan apa yang dia tahu tentang Griffin.
"Oh, aku punya cara untuk menghancurkan lalat itu ternyata. Lewat istrinya." Lelaki itu tertawa sangat keras. Dia kembali meneropong, kegiatan Griffin dan juga Fatin. Sesekali, Griffin menyuapi Fatin. Sungguh, melihat itu, siapa pun akan merasa bahagia. Kecuali memang orang yang memiliki dendam kesumat.
Lelaki yang beusia tidak jauh dari Griffin itu, terus mengamati aktivitas mereka. Setelah makan siang, Griffin dan Fatin kembali ke kamar. Sepertinya, bergulat lagi waktu panas lebih nikmat. Orang yang memperhatikan Griffin dan Fatin itu tidak lagi bisa menjangkau, karena keduanya sudah jalan menuju kamar mereka.
"Perhatikan mereka. Jangan sampai kalian lengah. Kita akan menculik istrinya, begitu ada kesempatan." Lelaki itu memberi titah, kemudian masuk ke dalam resort yang berseberangan dengan resort yang Griffin tempati. Entah kenapa, orang itu bisa masuk, padahal, pulau itu sudah dia sewa secara pribadi. Lombok memiliki tiga pulau. Di sini, Griffin dan Fatin berada. Di Gili Terawangan, untuk melakukan bulan madu romantis. Tapi kenyataannya, ada penghianat di sini. Ada orang lain di resort itu.
Griffin masuk ke kamar, dan meraih tubuh istrinya, untuk duduk di pangkuannya. Fatin sudah lebih luwes dan manja. Meskipun masih malu-malu, dia duduk di pangkuan Griffin dan mengalungkan tangannya manja.
"Bang, kita belum telepon Nevan hari ini. Bolehkah, aku telepon Nevan sekarang?" tanya Fatin.
"Ada syaratnya." Fatin mengerutkan keningnya.
"Apa?" Fatin sudah mengerucutkan bibirnya. Dia sedikit sebal, sama lelakinya itu. Dia akan beranjak dari pangkuan Griffin, tapi malah di peluk erat oleh suaminya tersebut. Griffin mulai menelusupkan wajahnya ke dada istrinya.
"Ih, sebel deh. Aku marah sama Abang. Aku 'kan kangen sama Nevan sama Ibu." Fatin mencekal kepala suaminya.
"Cium dulu, .baru boleh." Fatin menepuk pundak suaminya.
"Dasar mesum!" Fatin membelalakkan matanya. Wajahnya sudah bersemu merah karena malu. Namun, akhirnya dia memberikan ciuman singkat di pipi Griffin.
"Kok di pipi sih? Ciuman itu berarti di sini." Griffin menunjuk bibir istrinya dengan telunjuk.
Fatin, dengan menutup matanya, mencium bibir Griffin. Lelaki itu, tidak ragu mengambil kesempatan emas ini. Dia menekan tengkuk istrinya, agar ciuman lebih dalam. Setelah sekian detik, Fatin mencubit perut Griffin, karena sepertinya lelaki itu ngelunjak. Junior sudah mengeras di bawah sana.
"Hahaha ... baiklah. Kau boleh menelpon mereka." Fatin langsung melompat, dan meraih gawainya. Dia mendial nomor ibunya terlebih dahulu. Dengan cekatan, teleponnya di terima oleh ibunya.
"Fatin, assalamualaikum." Suara ibunya Fatin terdengar. Hati Fatin merasa senang. Suara ibunya terdengar lebih baik.
"Ibu, sudah lebih baik?" tanya Fatin.
"Iya, Nduk. Ibu sudah lebih baik. Rasanya sangat bosan berada di sini." Wanita tua itu mengeluh.
"Ibu harus tetap di situ. Sampai ibu sembuh. Kalau ibu sudah sembuh, baru ibu boleh pulang. Fatin sayang sama ibu." Air mata Fatin luruh. Wanita hebat yang dia cintai, tumbang. Wanita perkasa yang selalu menemaninya, dan memberikan kenyamanan sedang dirundung nestafa.
"Sudah dulu, Bu. Assalamualaikum." Fatin memutuskan sambungan teleponnya, karena sudah terisak. Dia takut, ibunya mengira dia tidak baik-baik saja. Maka, dia memilih memutuskan sambungannya.
"Kok malah nangis?" Griffin memeluk wanitanya itu.
"Sebenarnya, ibu sakit apa, Bang?" tanya Fatin.
"Yang penting, dokter sudah menangani. Jangan sedih lagi, atau bulan madu kita tidak akan menghasilkan anak di sini." Griffin menggelitiki perut Fatin, sehingga wanita itu tidak tahan dan tertawa, karena merasa geli. Telepon tersengar. Belum mereka menelpon Nevan, anak kecil itu sudah menghubungi dengan vidio call.
"Hai jagoan Papa." Terlihat wajah ganteng Nevan, di layar gawai. Fatin menyapu air matanya yang masih tersisa.
"Hai anak ganteng Mama. Apa kabar?" Fatin berusaha tersenyum.
"Mama, leher mama, Kenapa?" Anak itu jeli juga. Rupanya Nevan melihat leher Fatin yang merah-merah karena bekas cupang.
Fatin menepuk tangan suaminya. Griffin hanya tersenyum nyengi, kemudian menggaruk kepala belakangnya.
"Papa, kenapa dengan Mama? Papa tidak menjaganya dengan baik? Jika papa tidak bisa menjaga Mama, biar Nevan yang menjaga Mama." Anak lelaki itu memang biasa berkata layaknya orang dewasa. Griffin dan Fatin tertawa di buatnya.
"Tidak usah cemas, Sayang. Mama hanya di gigit semut atau mungkin nyamuk. Semutnya hitam , kepalanya besar. Di sini nyamuknya juga sangat ganas. Kalau menggigit jadi merah seperti ini." Nevan percaya saja. Dia manggut-manggut. Griffin menahan tawa mendengar keterangan istrinya.
"Nevan sudah makan? Sudah belajar?" tanya Fatin. Dia mengalihkan perhatian Nevan, dari tanda cupang yang ada di leher Fatin.
"Sudah, Mama. Hari ini, aku ulangan matematika. Nilaiku seratus. Nenek membuatkan aku, sop sama ayam bakar. Hmmm, maknyus." Anak lelaki itu menjulurkan lidahnya, seperti merasakan ayam bakar yang sudah menempel di lidahnya. Mulutnya bergerak seperti sedang mengunyah.
"Enak, dong? Neneknya kemana?" tanya Fatin.
"Nek, Mama sama Papa." Terdengar sayup suara seorang wanita. Tidak lama, dia ikut begabung dengan Nevan.
"Hai pengantin baru. Bagaimana? Sudah berapa kali?" Alicia dengan vulgar menggoda anak dan menantunya.
"Mama apaan sih? Ada Nevan." Griffin kali ini yang protes.
"Berapa kali apa, Nek?" Nah loh, Alicia jadi bingung sendiri menjelaskan ke Nevan. Dia jadi bohong.
"Naik perahunya."
"Ohhhh." Nevan membeo.
"Kalian baik-baik di situ. Pulang bawa adek Nevan ya? Biar dia tidak kesepian." Fatin dan Griffin mengangguk dan akhirnya pamit untuk menutup teleponnya.