"Boleh, Sayang. Hanya aku semakin cinta karena kebaikan hati kamu." Griffin memeluk erat tubuh istrinya dan rambut wangi yang menyeruak dari helainnya karena shampo menenangkan diri Griffin.
Suara bel berdentang. Mungkin makanan mereka sudah datang. Griffin melepaskan tubuh istrinya dan mendekat ke arah pintu. Pesanan mereka sudah datang. Makan malam sederhana namun tetap terkesan romantis tersaji di meja kamar mereka. Setelah memberikan tips pada pengantar makanan tersebut.
"Mau disuapain?" Griffin mengulurkan sendok yang berisi nasi dan lauk. Fatin dengan malu-malu membuka mulutnya. Fatin menunduk dan mengunyah makanan itu.
"Bagaimana? Enak?" tanya Griffin sambil tersenyum. Fatin masih malu-malu. Fatin menelan makanan di mulutnya. Griffin menyuapi Fatin hingga seluruh makanan dipiring habis.
"Abang tidak makan?" Fatin melihat sang suami tidak juga menyuap.
"Ini baru aku akan makan." Fatin menarik piring suaminya kemudian gantian menyuapinya. Mereka saling pandang. Momen ini begitu sangat mengharukan. Mereka begitu romantis dan mesra. Kini sudah selesai makan. Fatin beranjak masuk ke kamar mandi. Dia langsung gosok gigi. Fatin memang sangat menjaga kebersihan. Makanya giginya begitu bersih dan rapi walau tidak pernah di beri pemutih.
"Abang ke balkon sebentar, ya? Nggak usah ikut. Nanti aku panggil setelah selesai saja. Aku mau merokok. Nanti kamu batuk." Fatin mengangguk mendengar titah suaminya. Setelah gosok gigi Fatin memilih untuk nonton TV dan tiduran. Dia tertawa cekakan karena melihat komedi disebuah stasiun TV. Selesai acara itu, mata Fatin mengantuk kemudian tertidur dalam posisi tengkurap.
Griffin merasa tidak perlu apa-apa lagi. Dia sudah mendapatkan tujuan hudupnya. Dia berdiri dan menggunakan pembatas tralis balkon sebagai sandran punggungnya. Dia menyedot rokoknya kemudian menjembulkan ke udara, hingga asap mengepul memenuhi balkon tersebut.
"Hidup ini begitu sempurna. Aku ingin ini selamanya. Sepertinya aku harus meninggalkan dunia hitam. Aku tidak mau jika kelak istriku akan menjadi korban dari gankster itu." Berkali-kali Griffin menghembuskan asap rokok itu ke udara dan memasukkan puntung ke dalam asbak.
Griffin berbalik badan meninggalkan balkon dan lampu-lampu indah kota. Dia membuka pintu balkon dan masuk ke dalam kamar. Dia tersenyum ketika melihat istrinya terkulai lemah dan mendengur halus. Griffin mengangkat tubuh sang istri yang tertidur sembarangan tidak tepat pada bantal karena memang dia sedang nonton televisi.
"Malah tertidur pulas. Ya sudah, aku juga harus tidur. Mimpi indah, Sayang. I love you." Cup ... satu kecupan mendarat di kening istrinya. Kemudian dia tidur di samping istrinya dan berbagi selimut sampai pagi.
Pagi menjelang. Fatin mengulat setelah sebelumnya tertidur pulas. Dia membuka matanya dan membuka kembali rekaman tadi malam, karena sepertinya dia asing dengan kamar ini. Dia baru sadar beberapa saat ketika memorinya kembali dan sore panas bersama Griffin kembali berputar di otaknya. Dia menutup wajahnya dengan telapah tangannya karena malu sendiri.
"Pagi, Cantik!" Fatin membuka telapak tangannya kemudian tersenyum melihat sang suami sudah membeikan kejutan dengan sebuket bunga mawar putih.
"Pagi, Ganteng. Sudah wangi? Kenapa tidak bangunin aku?" Fatin bangkit dan menerima sebuket bunga itu lalu menciumnya. Aroma mawar yang segar langsung menenangkan pikirannya.
"Sayang, aku sengaja menundanya. Terima kasih sudah menikah dneganku dan meneruskan hidup bersamaku. Aku mencintaimu. Berikan jemarimu." Sebuah cincin berlian kini berkilau di dalam kotak beludru berwarna biru.
"Terima kasih. Aku juga mencintaimu." Fatin menyunggingkan senyumnya. Griffin mengambil cincin itu dan memakaikannya. Griffin mencium tangan Fatin dengan penuh perasaan. Kemudian sekali lagi mendaratkan ciuman mesra singkat di bibir istrinya. Fatin mengambil cincin yang satunya kemudian memakaikan ke jemari Griffin.
"Semoga ini selamanya. Semoga kita bisa melewati segalanya tanpa ada sebuah halangan apapun." Mereka berpelukan dengan mesra.
"Masih bau." Mereka tertawa bersama. Tidak dapat dilukiskan dengan apapun rasa bahagia.
"Kau cantik saat bangun tidur. Sebenarnya ini insiden. Cincin yang kemarin kegedean." Griffin menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Lalu?" Fatin ingin tahu kelanjutannya.
"Ya kuganti yang lain. Yang itu aku simpan. Ini ada tanggal nikah kita. Di dalamnya juga ada nama kita. Punyaku ada namamu, punyamu ada namaku." Fatin mengelus cincin itu. Kemudian menciumnya.
Mereka saling memandang. Keduanya saling mengungkapkan rasa. Sebenarnya banyak sekali kejutan yang sudah dipersiapkan oleh Griffin untuk istrinya tersebut. Dia sudah mempersiapkan banyak hadiah untk istrinya. Pakaian dengan desain elegan, sepatu, tas dan juga beberapa perhiasan. Liburan untuk Fatin dan ibunya, tapi tentu tidak bisa hari ini lakukan. Ibunya sedang butuh banyak istirahat.
"Aku mandi dulu, ya? Kita mau berangkat jam berapa?" tanya Fatin.
"Jam sembilan." Dia bangkit kemudian tersenyum mesra kepada lelakinya.
Rasa ini begitu membuncah menyusup ke dalam jiwa. Tuhan memberikan kesempurnaan pada setiap hati yang disatukan oleh cinta. Semua yang Tuhan telah ikat, tidak akan pernah dapat terpisah oleh apapun di dunia ini, kecuali Tuhan pula yang akan memutuskan ikatan itu lewat maut yang juga terlepas dari raganya.
Suara gemericik air terdengar dari dalam kamar mandi. Hanya mendnegar itu saja, mampu membuat gairah Griffin melonjak. Griffin bahkan menggelengkan kepalanya. Dia memilih melihat emailnya untuk memeriksa pekerjaannya. Setidaknya, libidonya bisa teratasi dengan kesibukannya. Dia melihat dan mengecek beberapa email yang memang butuh tanda tangan cepat. Setelah yakin, dia membubuhkan tanda tangannya.
Fatin keluar dengan handuk kimononya. Griffin menoleh dan menelan ludahnya. Dadanya istri yang terlihat sedikit begitu putih dan mempesona. Dia susah payah mengalihkan perhatiannya. Fatin mencari baju dan juga dalamannya di dalam lemari dan membungkuk sehingga terlihat ... ah, rasanya Griffin sudah tidak tahan untuk tidak menerkam istrinya. Mumpung masih pagi, penerbangan dua jam lagi, sepertinya memanjakan Junior sekali lagi tidak ada salahnya. Dia membuang tab nya dan memeluk istrinya dari belakang.
Fatin diam saja tidak memberontak. Dia memejamkan matanya kemudian merasakan hembusan nafas suaminya sudah memburu. Sepertinya dia sudah tahu bahasa nafas suaminya.
"Sayang, aku mau sekali sebelum terbang. Boleh, ya?" Griffin mengiba kepada sang istri membisikkan kata-kata itu. Fatin hanya mengangguk saja, membuat Griffin meremas dengan manja kedua bola kembar yang ada di dada istrinya. Dia mulai menyusupkan jemarinya ke dalam kimono Fatin, hingga mendapati biji kelereng diujung jemarinya.
"Abang, aku ...." Griffin melepaskan tali kimono tersebut hingga kimono tanggal dari tubuh sang istri. Kini Fatin sudah tak berpakaian lagi. Maha karya indah nan mulus membuat diri Griffin gelimpungan. Griffin membalik tubuh Fatin untuk meraih bibir mungilnya. Kini konsen Griffin bukan bibir atas, tapi bibir bawah yang terlihat basah karena istrinya tersebut selesai mandi.
"Aku sesap sedikit." Nafas Griffin sudah tidak beraturan. Dia berjongkok untuk meraih area sensitif milik wanitanya. Dia menengadah dan menjulurkan lidah untuk menjangkau belahan yang basah dan berwarna merah muda itu.
"Bang, ahhhh ... aku ... auhhhfff ...." Fatin meloloskan lolongan manja nan nikmat di telinga Griffin.