"Wueh, diterusin lagi." Leo menggebrak meja sehingga semua kaget. Termasuk Griffin dan Fatin yang hampir saja berciuman.
Pagi ini mereka disibukkan oleh beberapa persiapan. Terutama dengan persiapan diri. Fatin dirias di dalam kamar Griffin. Natasha dan tim rias meriasnya dengan sangat cantik sesuai dengan keinginan Griffin. Cantik namun elegan dan natural tidak menor. Fatin bahkan pangling dengan wajahnya sendiri.
Fatin dirias hampir empat jam. Sekarang tinggal memakai gaun yang sangat elegan. Gaun pengantin berwarna putih gading dengan batu-batu permata swarosky dan juga berlian dibeberapa bagian.
Rambutnya disanggul dengan singger diatasnya. Bunga melati dirangkai melingkari kepalanya jatuh kesamping kiri dan kanan. Dengan samping kanan menjalar sampai bawah dengan ujung bunga cempaka dan juga mawar. Hari ini, Fatin menjelma menjadi seorang putri yang sangat mempesona.
"Papa, mengapa kita harus pakai tuxedo. Ada pestakah?" Nevan menanyakan dengan sangat penasaran.
"Sayang, papa dan mama hari ini menikah. Jadi Nevan harus ingat, bahwa mulai hari ini mama Nevan Fatin, bukan Helia. Tapi mama Helia masih tetap mamanya Nevan." Nevan mengerutkan keningnya. Anak kecil usia emat tahun itu memang berbeda. Pikirannya sudah lebih dewasa dari usianya. Makanya jika berbicara dengan dia harus mendetail.
"Oh, jadi kalian menikah?" Nevan sedikit bingung tapi anak kecil itu mengedikkan bahunya.
"Kenapa, Sayang? Kau tidak suka?" tanya Griffin sambil memakai dasi kupu-kupunya.
"Suka. Lebih cantik dia papa sama mama Helia." Griffin diam dan memandang putra tercintanya.
"Jadi, kau sudah tahu bahwa Fatin bukan mamamu?" Griffin berjongkok untuk mensejajarkan tinggi badannya dengan anak lelakinya.
"Sudah, aku tahu mereka berbeda. Mama Helia bibirnya agak tebal. Sedangkan mama Fatin bibirnya sexi dan tipis. Yang pasti, bola mata mama Fatin lebih aduhai hitam legam. Aku suka." Griffin terbelalak dan tertawa mendnegar penuturan putranya. Bagaimana anak sekecil itu sudah mengerti wanita sexi.
"Dari mana kamu tahu kalau mama Fatin lebih sexi?" tanya Griffin pada sang anak.
"Uncle Gio kalau lagi muji aunt Clara katanya matamu sexi apalagi dadamu. Aku lagi muji mama Fatin, jadi memang bibirnya mama Fatin lebih sexi. Aku memujinya papa." Griffin tertawa. Ternyata putranya tidak mengetahui konteks sexi yang sebenarnya. Dia hanya tahu kalau memuji berarti bilang sexi.
Griffin membopong putranya tersebut untuk pergi ke kamarnya. Jangan pikir semalam Fatin tidur berdua ya, tentu saja tidur terpisah. Griffin mengalah untuk tidur di kamar lain. Griffin mau membiasakan calon istrinya itu untuk tidur di kamarnya.
Griffin sampai di depan kamarnya. Dia membuka handle pintu pelan-pelan. Setelah terbuka sempurna, Griffin menganga. Dia tidak percaya bahwa wanitanya secantik itu.
"Fin, tutup mulutmu. Pengantinmu memang sangat cantik. Tapi tidak perlu seperti itu." Natasha memutar bola matanya sangat malas. Dia memang selalu saja berantem dengan seorang Griffin.
"Wueh, mau berangkat sekarang atau kapan, nih?" Natasha merajuk membangunkan lamunan Griffin. Dengan gagah Griffin menggandeng Fatin. Sedangkan Fitri dan beberapa orang membantu membawakan gaunnya karena sangat panjang. Sedangkan yang lain sudah berada di dalam mobil dengan kostum yang elegan. Sang pengantin masuk ke dalam mobil pengantin yang sudah dihias dengan bunga-bunga warna putih karena memang Fatin pecinta warna putih.
Iring-iringan pengantin sudah sampai di parkiran rumah sakit. Fatin turun dari mobil dengan anggun, di sambut oleh tangan kekar seorang Griffin. Semua orang yang ada di sana menganga melihat sepasang pengantin itu.
"Eh, ada yang mau menikah." Mereka berbisik-bisik. Jujur saja, sebenarnya Fatin tidak terbiasa memakai hak tinggi, sehingga dia kesusahan berjalan sekarang.
"Bang, ini susah sekali. Kenapa harus pakai heels si. Aku sudah jalannya." Fatin mengeluh.
"Aku memegangmu, Sayang. Kalau kakiku tidak sakit, aku akan menggendongmu. Tahan sebentar, ya? Sedikit lagi sampai." Mereka menjadi bahan tontonan, tapi tentu saja Griffin tidak mengijinkan wajah istrinya terekspose. Ah, salah calon istrinya.
Mereka sudah berada di rumah sakit. Ibu Fatin juga sudah didandani walau tidak pakai konde karena belum bisa duduk masih pusing.
"Kau cantik sekali,Nak." Indana mengeluarkan air matanya. Teringat kembali masa lalunya saat pertama dia rela keluar dari rumah sakit demi merawat seorang Fatin yang dia curi dari orang tuanya. Bahkan orang tuanya juga tidak mencari. Padahal anak yang meninggal yang dia letakkan di box bayinya tidak mirip. Tapi mereka malah percaya bahwa itu bayinya.
"Bu," panggil Fatin. Indana tergagap. Dia kembali kepada kesadarannya.
"Bisa dimulai?" tanya seorang penghulu.
Ijab qobul berlangsung sangat hidmat. Di dalam ruang rawat Indana menggema sebuah doa untuk putrinya tersebut semoga akan abadi rumah tangga mereka.
Sekarang waktunya sungkeman. Fatin menangis memeluk ibunya. Rasa haru dari semua yang hadir menyeruak.
"Nduk, ibu sangat senang bisa hidup lebih panjang dan melihatmu menikah. Ingat pesan ibu. Menurutlah pada suamimu. Tidak ada sebuah pernikahan tanpa ujian. Lewati ujian itu dengan baik." Indana mencium kening putrinya itu.
"Nak, Griffin. Seperti yang sudah ibu katakan padamu. Jaga anak ibu dengan sebaik-baiknya. Jika kamu bosan dan ingin menyerah, maka kembalikan dia secara baik-baik jangan kau sakiti dia." Air mata tumpah ruah dalam ruangan itu.
"Ibu, aku mencintainya lebih dari diriku. Kalau lain waktu aku menyakitinya, biar Tuhan mencabut nyawaku." Indana menggenggam tangan mereka berdua. Indana tidak kuasa memandang mereka berdua. Bulir air mata mengalir sudah lebih deras. Indana merasa sudah selesai menjaga putrinya. Dia rela jika sekarang Tuhan memanggilnya.
"Eh, sudah, kita jangan menangis-menangis lagi. Kalain mau bulan madu kemana?" keadaan yang tadinya sangat tegang kini berubah menjadi malu-malu dan sedikit gugup.
"Tapi, ibu sedang sakit. Mana mungkin kita senang-senang?" Fatin khawatir dengan kondisi ibunya.
"Kalian harus pergi dan pulang membawa oleh-oleh cucu untuk ibu." Fatin tersipu malu. Pipinya sudah semerah lobster rebus. Sedangkan Griffin sudah genit mengedip-ngedipkan matanya. Fatin semakin malu dan menutup wajahnya.
"Iya, Mama dan Papa sudah memesan tiket untuk kalian. Karena mama kalian sedang sakit, tidak jauh-jauh kalian bulan madu. Ke Lombok saja lebih baik." Danubrata memberikan sebuah amplop yang isinya paket bulan madu.
Sore itu terasa sangat spesial walau pernikahan mereka digelar di sebuah rumah sakit, karena kebahagiaan juga terasa lengkap. Fatin dengan tidak rela meninggalkan mamanya. Dia menetekan air mata saat Griffin memeluknya untuk pergi dari kamar rawat ibunya tersebut.
"Kita akan pergi besok. Hari ini, kita nikmati malam pertama kita dihotel. Aku akan kenalkan Junior Kutilang padamu." Fatin masih juga tidak mengerti. Kenapa harus menikah dulu untuk berkenalan dengan seekor burung. Tapi dia masih sedih. Tidak memiliki tenaga untuk berdebat dengan suaminya kini.
Melihat istrinya jadi pendiam seperti ini, Griffin sedikit kalut. Dia lebih suka istrinya yang cerewet dan sangat pembangkang seperti biasanya.
Mereka sudah sampai dihotel yang sangat mewah. Griffin sudah tidak sabar untuk bermesraan dengan sang istri. Dia ingin memeluknya dan membelainya. Griffin mmebukakan pintu mobil untuk sang istri, kemudian menggendongnya ala-ala pengantin.
"Bang, bagaimana dengan kakimu?" Fatin khawatir dengan kaki Griffin yang masih sedikit sakit belum sembuh betul.
"Tidak masalah, Sayang. Ini momen kita. Menggendongmu seperti ini bisa tiap hari, tapi untuk hari ini spesial." Griffin menaik turunkan alisnya. Sedangkan Fatin sangat malu dengan godaan dari sang suami.