"Fin, jangan-jangan lo mulai gila?" Menjembul di pintu yang sedikit terbuka sahabatnya Nathan dan di belakang ada Leo.
"Kalian? Aku mau minta bantuan." Griffin bangkit dari berbaringnya.
"Nggak ada lain kalau kau mengundang kita pasti butuh." Mereka masuk ke kamar Griffin dan membuka pintu balkon.
Griffin dengan tongkatnya berjalan menghampiri mereka. Kemudian duduk di teras balkon.
"Ada apa?" Leo yang berdiri memangdang para pelayan yang sedang membersihkan taman berbalik menanyakannya.
"Gue mau nikah besok. Bisa tolong urus?" Mata Nathan dan Leo terbelalak.
"Gue nggak salah dengar? Lo mau menikah lagi? Helia ngamuk nggak tuh?" Nathan biasa saja karena sudah tahu. Leo yang baru tahu bingung.
"Tenang, dia sudah gue ceraiin. Bisa nggak?" Griffin menegaskan lagi.
"Tunggu! Besok? Lo emang sudah gila." Leo yang tidak tahu apa-apa sedikit kesal.
"Makanya, jangan banyak keliling dunia. Jadi nggak tahu gosipnya Griffin. Dia jatuh cinta. Gue sudah suruh Natasha menyiapkan gaun. Besok tinggal berangkat. Kalau surat-surat Ronald kayaknya sudah siapkan. Kau sudah atasi Levin?" Nathan menanyakannya.
"Selama saham tidak kutarik, dia diam." Bi Minah datang dengan makanan dan minuman di tangan.
"Minumannya, Den." Mereka mengangguk dan Bi Minah permisi.
"Aku tidak tahu apa-apa. Jahat kalian!" Leo merajuk karena sepertinya mereka mengesampingkan dirinya.
"Sabar, Leo. Ini semua serba kilat. Kamu tahu, Fatin nama kekasihnya Griffin itu baru setuju menikah kemarin. Itu juga banyak yang bantuin. Mana bisa Griffin mengatasinya sendiri. Termasuk papanya juga turun tangan." Leo meledakkan tawa. Sepertinya Griffin hanya jago di dunia pertempuran saja.
"Luka lo gimana, Fin? Masih nyeri tidak? Kemarin kulihat sudah lumayan kering. Nanti gue periksa lagi." Nathan mengatakannya.
"Fin, Fatin sudah tahu pekerjaan lo?" tanya Leo.
"Belum. Aku akan kasih tahu pelan-pelan. Dia tipe meledak. Jadi kalau tidak pelan-pelan aku takut dia akan marah." Griffin menunduk.
"Tapi kau tetap harus mengatakannya. Apa kau tidak mau beralih bisnis? Bisnismu sangat berbahaya, Fin." Leo menyarankan. Leo adalah seorang tour guide. Pekerjaannya keliling dunia. Sedang Nathan sudah jelas dia seorang dokter. Meskipun bukan sepenuhnya pekerjaan Grfiffin ini salah, tapi perusahaan perakit senjata selalu berhubungan dengan dua kubu yang saling bertolak belakang. Itu yang membuat pekerjaannya ini sangat beresiko. Dalam setahun saja, entah sudah berapa kali dia tertembak karena menyelamatkan barang pesanan klien.
Fatin sendiri sudah sampai di rumah sakit. Dia ditemani Divia sopirnya berlari ke kamar ibunya. Dia kaget waktu ibunya sudah tidak ada di ruangan tadi pagi. Fatin menuju ke stasiun nurse untuk menanyakan kemana ibunya dipindahkan.
"Atas nama nyonya Indana sudah ada di kamar rawat VVIP nomor tiga nona." Fatin pergi setelah mengucapkan banyak terima kasih. Dia berlari menuju ke ruangan ibunya.
"Ibu." Fatin langsung memeluk wanita paruh baya itu. Wajahnya masih terlihat pucat. Namun Fatin sangat bahagia karena ibunya sudah siuman.
"Ibu , aku takut. Hampir satu minggu ibu tidak bangun." Fatin sesenggukan.
"Hai, jelek kalau kamu nangis terus. Jangan menangis! Ibu tidak apa-apa." Fatin masih sesenggukan dipelukan ibunya yang berbaring.
"Ibu sudah tidak apa-apa. Kamu pulang saja. Kalian harus siap-siap." Fatin bangkit dan mengerutkan keningnya.
"Ibu, siap-siap? Siap-siap untuk apa?" tanya Fatin karena tidak mengerti.
"Apa nak Griffin tidak bilang? Kalain akan menikah besok." Mata Fatin terbelalak. Dia tidak percaya perkataan ibunya.
"Ibu jangan bercanda. Abang memang bilang jika mau menikah denganku, tapi tidak bilang besok."
"Anak itu memang benar-benar. Besok kalian akan menikah, Sayang."
"Tapi, Ma.Masih ada yang mengganjal. Dia menceraikan istrinya karena aku. Apa aku salah?"
"Jalani saja, Nak. Kamu sholat istikharoh. Sekarang pulanglah. Semoga ini jadi jalan yang terbaik." Fatin mencium kening ibunya. Berat dia meninggalkan wanita yang sudah menjadi pelindungnya selama seumur hidupnya. Dia akhirnya pergi dari rumah sakit itu untuk pulang dan meminta penjelasan dari Griffin.
Fatin berjalan tergopoh-gopoh saat sudah sampai di rumah. Wajahnya masam sungguh tidak enak di lihat. Saat sampai kamarnya, ada dua lelaki lain yang ada di kamar Griffin. Yang satu Fatin kenal. Dia dokter Nathan sedangkan yang satu dia baru melihatnya.
Griffin sedang di obati oleh Nathan. Perbannya sudah di buka. Terlihat Nathan membersihkan lukanya kemudian membubuhkan obat luka pada Griffin. Fatin yang tadinya marah dan berapi-api surut tidak bisa marah melihat luka Griffin. Dia hanya memandang saja.
"Hai, kau sudah pulang, Sayang? Kalau kau sudah selesai, boleh tinggalkan kami, Than." Nathan mengangguk. Dia tidak lagi membalutkan perban di paha Griffin.katanya, biarkan terbuka saja.
"Kenapa? Sepertinya kamu sangat marah? Kemarilah!" Fatin mendekat dengan lemah. Selalu, saat sudah sampai di depan Griffin dia tidak bisa marah.
"Ada apa, hem? Ada yang ingin kau tanyakan padaku? Atau kau akan memarahiku? Katakanlah!" Fatin duduk di samping Griffin. Dia diam dan tidak bisa bicara apapun.
"Kok jadi diam? Sayang, bicara dong." Griffin memutar tubuh Fatin dan dimatanya terlihat ada sebuah kekecewaan.
"Kenapa, hem?" Fatin menatap nyalang mata calon suaminya tersebut.
"Aku marah sama Abang. Abang seenak-enaknya sendiri. Selalu saja seperti itu." Griffin menautkan alisnya. Dia tidak tahu kesalahannya apa kali ini.
"Iya, tapi kenapa? Abang salah apa?" Ini sisi Griffin yang lain. Dia yang biasanya garang dan jarang tersenyum didepan Fatin menjadi pribadi yang berbanding terbalik. Dia bisa sabar menghadapi wanitanya tersebut.
"Abang, ih. Ngeselin. Semuanya sudah tahu kalau kita menikah besok. Kenapa aku malah tidak tahu." Griffin tertawa terbahak-bahak mendengar kekasihnya marah karena hal tersebut.
"Abang, ih. Ngeselin banget sih. Malah tertawa." Fatin mencubit perut Griffin.
"Au, sakit jangan KDRT dong. Bukannya abang sudah mengatakannya berkali-kali?" Griffin memeluk Fatin yang sedikit memberontak saat akan dipeluk.
"Kapan?!" Fatin membelalakan matanya dan menyikut Grifin karena tidak mau dipeluk. Dia sangat marah hari ini.ini hari bersejarah tapi bahkan dia tidak tahu apa-apa. Lelakinya itu memang selalu semaunya sendiri, tidak pernah membiarkan dirinya juga ikut mempersiapkan segalanya.
"Tadi, waktu belum berangkat menemui ibu. Kemarin juga? 'kan sudah janji kalau ibu siuman kita menikah?" Fatin makin kesal.
"Tapi abang tidak bilang kalau besok kita menikah. Ih, kesel deh." Griffin tersenyum memang benar wanita tidak mau kalah. Selalu saja benar.
"Iya, deh. Abang yang salah. Abang minta maaf. Pokoknya harus ingat apapun masalahnya Abang yang salah. Wanita memang selalu benar." Fatin mengerucutkan bibirnya. Hingga Griffin sangat gemas dan ingin mencium Fatin. Tapi dia hanya mendapatkan ruang hampa karena Fatin mencelos dan pergi dari hadapannya.
"Mau ke mana?" Fatin berbalik dan menjulurkan lidahnya. Griffin tertawa ngakak melihat calon istrinya yang menggodanya. Seandinya kakinya tidak sakit, dia pasti akan berlari mengejar Fatin dan memberikan pelajaran dengan ciuman yang mesra dan membuat Fatin berakhir di atas ranjangnya. Tapi sayangnya kakinya masih terlalu sakit untuk di bawa aktifitas.