. Danubrata keluar. Dia memerlukan kopi saat ini. Dia akan pergi ke kantin. Tapi, dia berhenti di depan kamarnya ibunya Fatin dan mengernyitkan keningnya, karena melihat aktivitas calon menantunya itu.
Danubrata menjadi penasaran. Apa yang wanita itu lakukan sebenarnya? Kenapa dia terlihat tersedu-sedu. Danubrata memutar knop pintu.
"Bu, cepat bangun! Tolong aku, Bu. Aku menyayangi Bang Griffin dan putranya. Tapi, dia suami orang, Bu. Tolong bantu aku menolaknya." Danubrata sudah tidak penasaran lagi dengan apa yang dilakukan oleh calon menantunya itu. Dengan hati-hati dia menutup hanekan handle pintu dan keluar dari ruangan itu.
Sementara itu, di ruangan Griffin disuapi buah oleh Alicia mamanya. "Fatin kok lama ya, Ma?" Alicia menepuk pundak putranya itu.
"Kau ini, ibunya sedang sakit 'kan? Memang seharusnya kau juga berbagi dengan ibunya. Kau sudah hubungi Nevan belum?" tanya Alicia.
"Iya, Ma. Aku lupa. Aku tidak tahu di mana ponselku." Griffin meraba tempat tidurnya.
"Pakai punya mama." Alicia mengeluarkan ponselnya dan mendial nomor ponsel cucunya dengan mode vidio call.
"Hallo jagoan papa. Sedang apa?" Terlihat cerah wajah putra kesayangannya itu.
"Hai, Pa. Mama belum pulang, Pa. Sebentar lagi malam. Papa tidak mencarinya?" Nevan bahhkan terlihat lebih khawatir dengan mamanya dari pada diri papanya.
"Mama bersama papa. Papa sedang sakit, Sayang. Nevan tidak apa-apa 'kan? Bobo' sendiri dulu?" Griffin meminta penegrtian anaknya.
"Ya deh. Tapi, mana mama?" Lagi-lagi Griffin merasa menghangat. Putranya sangat sayang kepada Fatin dari pada kepada papanya. Tapi tidak apa-apa.
"Sebentar, ya? Biar nenek yang panggil." Alicia beranjak untuk memanggil Fatin. Sedangkan untuk mengulur waktu, maka Griffin berbincang dengan putranya itu. Alicia terdiam sejenak mendengar Fatin yang curhat dengan mamanya sambil menangis padahal mamanya terpejam diam dan dingin. Sepertinya, sakit yang dideritanya membuat wanita itu kehilangan kesadaran.
"Fatin sayang, Nevan mencarimu, Nak." Alicia memegang bahu Fatin, sehingga dia melonjak.
"Oh, iya, Ma. Di mana?" Fatin menatap Alicia.
"Dia telepon. Keruangan Griffin sekarang." Fatin berjalan ke wastafel. Dia membersihkan sisa air matanya. Kemudian berjalan beriringan dengan Alicia menuju ke ruangan Griffin.
"Nah, itu mama." Griffin menunjukkan layar ke arah Fatin datang.
"Hai jagoan? Kangen mama, ya? Sabar, ya? Mama merawat papa. Papa sedang sakit." Fatin mencoba tersenyum walau sebenarnya hatinya tak karuan.
"Oh, ya sudah. Tapi mama jangan pergi, ya?" Fatin, Griffin dan Alicia berpandnag-pandangan bergantian.
"Mana mungkin mama meninggalkan anak laki-laki mama yang paling ganteng ini." Nevan menutup matanya karena merasa malu.
"Ya sudah, mama tutup ya? See you. Assalamualakum, Gantengnya mama. Jawabnya? Waalaikumsalam." Fatin membimbing Nevan untuk menjawab salam dan Nevan juga belajar mengucapkannya. Tanpa sengaja Fatin menindih dada Griffin. Dan dengan kesempatan lelaki itu merengkuh tubuhnya. Setelah selesai telepon Nevan, Fatin baru menyadari. Tapi Alicia sudah pergi entah kemana.
Fatin merasa sangat malu dan merona dengan posisinya sekarang. "Lepas!" Fatin meronta manja, tapi tubuh itu seakan menuntut lebih.
"Kenapa?" tanya Griffin.
"Apanya?" Fatin bertanya karena tidak mengetahui maksud Griffin
"Matamu sembab. Apa mama menyakitimu?" Griffin menjewer pipi tirus Fatin.
"Sakit, ih." Fatin meronta dan ingin melepaskan diri.
"Kenapa dulu." Griffin semakin mengeratkan pelukannya.
"Nggak apa-apa. Aku hanya sedih melihat ibu. Sebenarnya sakit apa? Mengapa dokter juga tidak bilang apapun?"
"Jangan dipikirkan. Kita menikah dan aku akan mengobati ibumu." Fatin kesal dengan Griffin. Ternyata dia ada maunya membantunya. Tapi kemudian Fatin kembali menghangat. Apapun alasannya, dia akan menerima kebaikan Griffin. Untuk kali ini, biarlah dia ngerjain Griffin dulu.
"Nggak mau." Fatin menjulurkan lidahnya hingga Griffin gemas dan menariknya untuk lebih dekat. Wajah mereka saling bertemu. Tidak dapat dibayangkan betapaFatin sangat ingin menenggelamkan wajahnya ke dasar sungai amason. Dia sangat malu dengan wajahnya yang sudah seperti lobster rebus.
"Hai, kenapa memerah. Dengar, Sayang. Jangan menyiksaku untuk menahan rindu lebih lama lagi. Juniorku sudah minta makan." Fatin mengerutkan keningnya. Apa hubungannya junior sama rindu dan makan?
"Kalau minta makan tinggal di kasih. Kenapa repot, Bang?" Griffin memejamkan matanya. Bagaimana cara memberi tahu pada gadis dua puluh satu tahun ini yang belum pernah tersentuh oleh kenakalan.
"Ya tidak bisa. Harus menikah dulu. Baru bisa makan." Fatin semakin menggeleng-gelengkan kepalanya tidak mengerti.
"Apa hubungannya? Junior itu siapa? Kenapa minta makan sama abang?" Griffin semakin frustasi. Dia mengusap wajahnya dengan kasar. Fix wanitanya ini masih sangat polos.
"Junior itu nama burung kutilang." Fatin bangkit dari pelukan Griffin. Rupanya dia mulai nyaman dengan mencium aroma dari lelaki itu.
"Oh, tapi aku belum pernah lihat abang memelihara burung." Kali ini Griffin benar-benar Frustasi. Dia menepuk jidadanya sendiri. Fatin begitu lugunya hingga di pancing juga tidak mengerti. Sedangkan yang dibicarakan didalam sana sudah menerobos ingin keluar saja, sehingga Griffin merasa kegerahan.
"Ih, kenapa?" Fatin sungguh tidak menegrti tingkah aneh dari Griffin.
"Nggak apa-apa. Intinya kita menikah. Mau atau tidak mau. Suka atau tidak. Tidak ada yang boleh menolakku atau membantahku.kecuali, jika kamu mau aku tidak membayarkan uang rumah sakit ibu." Griffin menghadap ke dinding.
"Bang, kok marah sih? Nanti aku bantuin kasih makan Junior si burung kutilang itu. Tapi jangan ngambek dong?" Untuk pertama kalinya Fatin peduli dengan Griffin. Griffin masih mempertahankan posisinya. Kemudian, dia berbalik dan menatap lekat wajah sang kekasih. Dia mencoba untuk duduk. Fatin membantunya.
"Kau begitu sangat polos, Sayang." Griffin mengusap pipi cantik Fatin.
"Apanya yang polos?" Momen romantis itu menjadi hancur gara-gara keoonnan dari Fatin.
"Aku pulang saja, ya? Mau bantuin abang memberi makan burung kutilang katanya." Griffin sudah tidak mampu lagi menahan tawa. Dia melepaskan tawanya sehingga Fatin menggaruk tengkuknya. Dia tidak tahu apa yang lucu sehingga Griffin sampai tertawa terpingkal-pingkal.
"Sudah tidak usah. Nanti saja kalau kita sudah menikah." Griffin menyelesaikan tawanya dan melihat wanita itu sangat intens. Sebenarnya, ingin rasanya menyesap bibir kenyal itu. Tapi tidak mungkin. Jangan-jangan malah nanti dia lari. Baru saja dapat kesempatan baik. Biasanya Fatin selalu jutek.
"Ih, kenapa?" Fatin masih juga penasaran.
"Nggak apa-apa? Makanya menikah dulu. Sebelumnya tidak akan boleh." Untung Fatin tidak melanjutkan lagi. Dia memilih untuk menanyakan makanan. Maka dari itu, Griffin memintanya untuk mengambil gawai saja atau memanggil Toni.
"Mau pake punyaku?" Fatin memberikan gawainya. Griffin mengerutkan keningnya. Gawai Fatin sudah tidak layak pakai. Tapi dia memilih untuk menelpon Toni saja.
"Ton, belikan kami makanan ...." terjeda kalimatnya karena mennyakan pada Fatin. "kamu mau apa, Sayang? "
"Apa, ya? Tempe bacem sama urap saja." Griffin memutar bola matanya. Mana ada gizinya makan tempe bacem, tahu kecap.
"Nasi lauknya tempe bacem sama urap dan ayam bakar. Tidak pakai lama. Perutnya sudah berdemo. Sama belikan ponsel keluaran terbaru." Griffin mematikan panggilannya tanpa mendengar jawaban dari Toni. Griffin tidak melepaskan genggaman tangannya, sehingga Fatin sedikit merasa kikuk.
"Bang, aku menengok ibu. Sudah siuman belum." Griffin dengan terpaksa melepaskannya. Fatin tersenyum dan memegang dadanya sendiri. Sepertinya dia harus buru-buru memegang dadanya agar tidak loncat.
"Fatin ...."