"Ini, aku digigit semut sepertinya. Bibirku membesar." Griffin tertawa mendengarnya. Betapa lugunya kekasihnya itu. Tentu saja ini ulah Griffin, karena dia baru saja menghisap bibir merah itu. Sepertinya Griffin sudah pada puncak nafsunya, sehingga tanpa sadar melumatnya terlalu kuat dan membuat bibir Fatin bengkak .
"Ih, apanya yang lucu? Dari tadi tertawa melulu?" Fatin merajuk sehingga membuat Griffin gemas dan mencolek dagunya.
"Kamu lucu. Kalau nanti menikah, kamu akan bengkak setiap hari. Bukan hanya bibir yang itu, bibir bawah juga akan bengkak." Griffin membisikkan kata itu tepat di telinganya. Bukan karena Fatin mengerti perkataan Griffin. Tapi lebih kepada hempasan nafas Griffin yang membuat bulu kuduknya berdiri karena geli.
"Fin, kamu jangan menggodanya. Kamu bisa menggodanya dikamar pengantin." Ronald memberikan amplop coklat pada Griffin.
"Ini apa?" tanya Griffin.
"Tiketmu." Fatin membelalakkan matanya.
"Kamu masih sakit mau pergi lagi? Bagai mana caranya? Memang harus, ya?" Ronald tertawa. Sepertinya Fatin yang sangat lugu itu tidak tahu yang dimaksud tiket di sini. Griffin tersenyum. Dia melihat surat cerai itu dan terlihat berbinar.
"Ah, tau ah. Kalian nggak nyambung." Fatin pergi meninggalkan ruangan itu dan tawa mereka yang meledak karena Fatin memang terlalu polos.
"Kenapa dia?" Tanya Ronald. Griffin malah tertawa.
"Lagi bingung bibirnya digigit semut. Sehingga bengkak."
"Kamu yang melakukannya?" Ronald memicingkan matanya.
"Tentu saja! Mana kuijinkan orang lain menyentuh milikku!? Mau aku pecat!" Ronald mengantongi tangannya kemudian pergi dari ruangan itu. Diluar seperti biasa dua body guard siap siaga menjaganya.
Hari-hari berlalu. Keadaan dirumah sakit ada keceriaan karena Griffin dan Fatin semakin lengket saja. Griffin sudah mulai sembuh. Bahkan dia sudah bisa jalan walau masih bantuan dengan tongkat. Hari ini saatnya Griffin pulang. Hanya ibunya Fatin yang masih terbaring lemah. Fatin pamit sama ibunya yang masih terpejam. Ada rasa tidak rela meninggalkan wanita paruh baya itu.tapi dia juga tidak bisa membiarkan calon suaminya pulang sendiri. Hatinya bimbang tidak menentu.
"Bu, cepat bangun. Fatin antar Abang Griffin pulang dulu, ya?" Fatin tidak tega melihatnya. Tapi dia harus mengantar calon suaminya tersebut untuk pulang. Hatinya meronta tidak tahu mana yang harus dia pilih.
Griffin dalan menggunakan tongkat. Dia menolak untuk duduk di kursi roda. Fatin hanya membantunya dan membimbingnya untuk bisa sampai ke lift.
"Ronald, bagaimana saham?" tanya Griffin.
"Stabil. Mereka tidak tahu kalau kamu sakit. Nyatanya, kamu bisa mengendalikan walau sakit. Hanya dua hari saat berita kamu tertembak mencuat sempat drop. Tapi tidak sampai merosot tajam. Hanya beberapa level saja." Griffin mengangguk. Fatin tidak tahu obrolan mereka memilih diam.
Mereka sudah sampai di tempat parkiran. Body guard membukakan pintu dan mereka masuk ke dalam mobil. Tidak ada yang melihat mereka karena mereka lewat jalur khusus. Setelah sampai di parkiran, tentu body guard siapsiaga untuk membukakan pintu mobil. Mereka masuk ke dalam mobil. Griffin memakaikan sabuk pengaman untuk Fatin. Dengan senyum cantiknya, Fatin mengucapkan terima kasih.
Fatin sangat kelelahan sehingga dia pulas tertidur. Griffin yang menyadarinya menyediakan bahunya untuk berdandar.
"Bagaimana area Asia Timur?" Griffin menanyakannya, setelah beberapa kabar gempuran saat dia dirumah sakit.
"Masih terkendali." Griffin mengangguk.
"Tuan bos, sebaiknya merahasiakan pernikahan anda nanti. Media tidak usah tahu, atau nona Fatin jadi bulan-bulanan." Griffin menatap tajam.
"Kamu mengajariku? Mau aku pecat! Tentu aku sudah sangat tahu." Ronald tertawa. Sahabat yang juga bosnya itu mulutnya memang pedas. Setiapkali dia ingin memecatnya tapi selalu tidak jadi. Karena itu hanya gertakan saja.
Mereka sudah sampai di rumah. Griffin ingin mengangkat tubuh Fatin. Tapi tidak bisa karena kakinya masih sakit. Hingga dia menungguinya sampai wanita itu bangun. Dengan masih mesin menyala, dia menunggu sang kekasih. Tidak lama, ponsel Fatin berbunyi. Nomor rumah sakit yang menelpon.
"Hallo, dengan nona Fatin." Suster tersebut memastikan.
"Saya suaminya, ada apa?" Mungkin di seberang suster itu mengerutkan keningnya atau bahkan tidak peduli dengan pengakuan dari seorang Griffin.
"Ibu anda sudah siuman." Griffin tidak lagi mendengarkan ucapan wanita di telepon itu. Dia menyuruh Ronald untuk segera melaju ke rumah sakit. Sesampainya dirumah sakit, Griffin menyuruhnya untuk parkir di bawah pohon karena akan membiarkan Fatin tertidur di mobil.
Griffin sendiri naik ke atas untuk menemui calon mertuanya. "Ibu, ibu sudah sadar?" tanya Griffin saat sampai di ruangan ibunya Fatin.
"Nak Griffin. Mana Fatin?" tanya ibunya Fatin.
"Dia tidur di mobil. Kaki saya sakit sehingga tidak bisa menggendongnya." Griffin menunjukkan kakinya.
"Hahaha, anak itu. Kalau sudah tidur dimanapun bisa. Aku sayang sama dia lebih dari apapun walau dia tidak lahir dari rahimku." Griffin membelalakkan matanya.
"Maksud ibu?" Ibunya Fatin menyesal tapi sudah terlepas kata dari biburnya. Tidak mungkin ditarik lagi.
"Iya, Fatin adalah pasienku. Dia kembar. Tapi aku merasa kasihan karena dia sepertinya selalu dikalahkan oleh anak pertama. Saat dirumah sakit, ibunya selalu menyusui kembar yang lahir pertama karena dia selalu menangis. Sedangkan bayi Fatin jarang menangis. Timbul rasa ibaku dan menukar bayi tersebut dengan bayi yang sudah meninggal." Griffin menyimak tiap kata dari ibunya Fatin. Tidak tahu apa namanya? Ini tindakan kriminal tapi bertujuan baik. tujuan baik tapi tindak kriminal.
"Rahasiakan dulu ini, sampai aku benar-benar siap kehilangannya. Kau ingin menikah dengannya 'kan? Jaga dia, jangan sakiti hatinya. Aku tidak akan lama di dunia ini. Mungkin karma dari Tuhan. Kau boleh mengatakannya kalau sudah aku mati. Dokumen asli ada di berangkasku dan kodenya hari ulang tahunnya." Grifin mengangguk tanda mengerti.
Mereka berbincang hangat. Griffin juga merasa sangat bahagia walau wanita didepannya bukan ibu kandung Fatin, tapi sepertinya dia mendapat perlakuan sangat baik. Sehingga belum perlu mencari identitas Fatin. Griffin sudah selesai berbicara pada ibunya Fatin sehingga dia pamit. Dia berjanji akan membawa Fatin ke rumah sakit jika dia sudah bangun. Griffin jalan dangan sedikit tertatih menggunakan tongkat penyangga. Setelah sampai di parkiran, dia langsung di sambut oleh pengawalnya dan dibukakan pintu.
"Kita mau pulang, Tuan Bos?" Ronald menanyakan.
"Iya, aku sangat lelah." Ada rasa yang menelusup ke dalam jiwanya. Ternyata Fatin bukan anak kandung dari nyonya Indana. Ini sangat menyesakkan dada. Dia tahu bagaimana rasanya jika apa yang sudah kita yakini tapi ternyata itu bukan untuk kita. Itu bukan seperti apa yang kita yakini.
Griffin memandnag lekat wajah sang kekasih yang damai dalam tidurnya. Seandainya dia tahu apa yang sebanarnya terjadi, apa yang akan dia lakukan? "Apa hatimu akan sakit? Sebaknya akau rahasiakan dulu." Griffin mengusap pipi mulus calon istrinya dengan sangat lembut. Dia memandang wajah damai itu dengan penuh perasaan. Dicium keningnya dengan sejuta rasa sayang yang menyelimuti jiwanya.
"Sayang, bangun!" Griffin memebisikan kata itu setelah sampai digarasi rumah. Tidak mempan.Fatin hanya mengulat. Griffin tersenyum jahil. Dia memiliki cara ampuh untuk membangunkan wanitanya, walau nanti pasti kena tonjok.
"Berbalik kalian! Jangan melihat!" Para body guard dan juga Ronald menuruti perintah dari tuan bos dengan berbalik badan.
"Abang!" Fatin menjerit setelah dapat terlepas dari Griffin. Griffin tertawa terbahak-bahak mendengar teriakan Fatin. Sedangkan para body guard hanya geleng-geleng kepala melihat dua majikannya yang kekanak-kanakan.