"Bang, aku menengok ibu. Sudah siuman belum." Griffin dengan terpaksa melepaskannya. Fatin tersenyum dan memegang dadanya sendiri. Sepertinya dia harus buru-buru memegang dadanya agar tidak loncat.
"Fatin ...."
Cup ... satu buah kecupan kenyal mendarat di bibir kenyal Fatin. Wanita itu langsung bersemu merah dan bangkit berlari karena malu. Griffin sangat suka ajah kekasihnya yang malu-malu meong seperti itu. Griffin tidak lagi melihat punggung Fatin karena wanita itu yang sudah berlari pergi dan menutup pintu ruangannya. Fatin memasuki ruangan ibunya. Dia melihat alat-alat itu terpasang di tubuh ibunya.
"Bu, aku tidak tahu apa ini. tapi, sepertinya aku mulai jatuh cinta. Ibu bangun. Aku butuh ibu untuk menenangkan hatiku. Sepertinya, sejak kenal dengannya hatiku sering kali berdebar. Takutnya hatiku sakit. Aku harus periksa ke dokter." Tidak lama kemudian terdengar bunyi ponsel di sakunya. Terlihat di layar nama beruang drizly yang itu berarti Griffin yang menelpon.
"Keruanganku. Makanannya sudah siap." Fatin tidak menjawab. Dia mengantongi kembali gawainya. Seakan sudah tahu, bahwa itu perintah yang tidak butuh jawaban. Dia berjalan santai mendekati ruang rawat inap Griffin.
Griffin terlihat bahagia dan tersenyum ketika yang membuka pintu adalah sang kekasih. Fatin sendiri membalas senyumnya dan mendekat ke arah ranjang Griffin.
"Hai, pinjam ponselmu." Fatin memberikan dengan sedikit bingung. Jika Griffin bisa menelponnya dengan gawainya, mengapa harus meminjam ponsel Fatin?
Griffin membuka dus baru yang di bawa oleh Toni supirnya. Sedangkan Fatin sudah tidak melihat aktifitas Griffin. Dia sibuk mempersiapkan makan malam Griffin dan dirinya. Setelah berbalik, Griffin memberikan ponselbaru itu kepadanya.
"Memang ponselku kenapa? 'kan sayang, masih bagus. Walau lemot si." Fatin meletakkan bangku kecil di depan Griffin.
"Buang saja. sudah tidak layak pakai." Griffin dengan santai mengatakannya.
"Apa? Ck, mulai deh ngeselin." Griffin bukannya marah malah tertawa terbahak-bahak.
"Sudah, suapi aku saja." Griffin membuka mulutnya sedangkan Fatin melakukan yang Griffin minta menyuapinya.
"Pakai tangan lebih enak kayaknya." Fatin memutar bola matanya dan melakukannya permintaan Griffin. Dia menyingkirkan sendok dan mulai membersihkan tangannya dengan tisu antiseptik dan menyuapi Griffin dengan tangannya. Griffin makan dengan lahap, sampai tandas.
"Sekarang, giliran kamu aku suapi." Griffin mengambil piring milik Fatin.
"Eh, jangan ...." Tapi bukan Griffin namanya kalau tidak memaksa. Fatin terpaksa buka mulut. Fatin menunduk malu. Baru kali ini ada orang lain yang sangat perduli kepadanya selain ibunya.
"Enak 'kan? Makan dari tangan orang lain?" Fatin hanya tersenyum saja. Jika dia dapat membekukan waktu. Ingin rasanya waktu berhenti sekarang. Kebahagiaan ini ingin menjadi mimpinya. Tapi kemudian kenyataan menamparnya, bahwa jenjang yang terlalu dalam mungkin akan mempersulit mereka. Fatin sudah menyelesaikan makannya. Dia membersihkan sisa makan, dan membuangnya ke tempat sampah untuk yang tidak perlu. Sedangkan peralatan makan dia letakkan di box yang nantinya akan di bawa pulang. Hanya membuang sisa kotoran yang menempel saja di kran mengalir. Setelah itu, Fatin membersihkan tangan Griffin dengan tisu anti septuk.
"Sayang, besok menikah, yuk?" Fatin diam dan memandang wajah Griffin.
"Kita sudah membicarakannya 'kan? Tunggu ibu siuman. Kamu mau membuat ibuku jantungan?" Fatin sedikit melotot.
"Hahaha ... lihat wajahmu. Sangat lucu. Baiklah! Tapi jangan ingkar janji." Fatin berusaha membuang wajahnya dan menaruh wajahnya baik-baik jauh dari wajah Griffin. Dia tidak ingin lelaki itu melihat aura bahagianya.
"Kenapa, hem?" Griffin memegang dagu Fatin. Mata merekabertemu. Getaran itu semakin kuat menyerang. Lama kelamaan menuntut dan sangat menuntut. Griffin sudah tidak tahan untuk tidak mencium bibir mungil yang menjadi kesukaannya sekarang. Dia melumatnya sangat kuat. Posisi mereka dangat tidak enak sekarang. Griffin menarik punggung Fatin agar mendekat ke arahnya, sehingga ciuman itu bisa lebih mudah dan menggairahkan. Semakin lama, Griffin semakin menuntut lebih.
"Ya Tuhanku yang maha perkasa. Aku tahu ini tidak boleh. Tapi mengapa aku tidak bisa berkata tidak pada lelaki ini. Darahku terasa mendidih. Dia yang mengambil ciuman pertamaku. Dan ini ...." Hati Fatin bergejolak. Ini baru pertama dia melakukannya. Dia masih sangat kaku. Tapi bisa mengimbangi tuntunan yang diberikan oleh Griffin. Mereka tidak menyadari ada yang datang.
"Kita kembali nanti, Sus. Tuan sedang jatuh cinta rupanya." Dokter dan timnya memilih pergi meninggalkan mereka. Griffin baru melepaskan Fatin saat dia mulai kehabisan nafas.
"Baru pertama kali?" Fatin menutup mulutnya dan menunduk karena merasa malu. Sebesar itu tapi baru kali ini berciuman.
"Hai, tidak usah malu. Aku bahagia. Itu artinya, aku akan buka segel." Griffin menggoda kekasihnya itu. Fatin mengernyitkan dahi. Dia tidak mengerti yang dimaksud lelaki absurb itu.
"Buka segel? Beli barang baru?" Griffin menepuk jidadnya.
"Nanti, kalau sudah menikah aku beri tahu bagaimana caranya buka segel." Fatin mencubit perut Griffin. Peningkatan, dia sudah berani menyentuh Griffin.
"Dari kemarin ngasih tahunya kalau sudah menikah. Kalau gagal menikah, nggak jadi tahu dong?" Griffin tertawa.
"Ih, malah ketawa? Mau aku cubit lagi?" Fatin memelototkan matanya.
"Boleh, yang mesra, ya?" Griffin menaik turunkan alisnya menggoda Fatin.
"Ih, dasar mesum." Fatin beranjak. Dia ingin buang air kecil. Aktivitas ciuan itu membuatnya ingin buang air kecil. Entah mengapa, bagian area sensitifnya terasa basah dan lembab. Dia harus buang air kecil sekaligus membersihkannya.
"Mau kemana?" Tanya Griffin melihat kekasihnya membuka handle pintu.
"Ke toilet." Fatin berbalik ingin pergi.
"Kenapa keluar? Di sini 'kan ada toilet, Sayang?" Fatin bersemu merah. Entah mengapa panggilan sayang itu membuat hatinya berbunga-bunga.
"Boleh? Tapi ...." Fatin ragu menggunakannya. Dia tahu jika Griffin paling tidak suka orang lain memakai privasinya.
"Kau calon istriku. Kenapa tidak boleh?" Fatin menurut. Keburu ngonpol kalau berdebat dulu. Tidak akan menang berdebat dengan lelaki itu.
Fatin membuang semua air yang ada di kandung kemihnya. Dia membersihkan area kewanitaannya. Setelah itu dia bangkit dan memanggut dirinya di depan cermin. Dia meraba bibirnya sendiri yang sepertinya terlihat lebih besar. Dia memijitnya lembut seolah ingin mengempeskannya. Namun tidak dapat. Tetap saja bibirnya terlihat lebih besar.
"Aduh, kok bisa? Sepertinya aku digigit semut." Lagi-lagi dia memijit bibirnya.
"Fatin, kenapa lama?" Griffin khawatir jika terjadi sesuatu dengan Fatin.
"Iya," teriak Fatin. Dia membenarkan bajunya kemudian keluar.
Griffin tersenyum melihat kekasih kecilnya keluar dari kamar mandi.
"Kenapa?" tanya Griffin.
"Apanya?" Griffin memutar bola matanya. Di tanya malah balik nanya.
"Kenapa lama sekali?" Tanya Griffin sambil menggenggam tangan Fatin seolah ingin menguasainya.
"Ini, aku digigit semut sepertinya. Bibirku membesar." Griffin tertawa mendengarnya. Betapa lugunya kekasihnya itu. Tentu saja ini ulah Griffin, karena dia baru saja menghisap bibir merah itu. Sepertinya Griffin sudah pada puncak nafsunya, sehingga tanpa sadar melumatnya terlalu kuat dan membuat bibir Fatin bengkak .