Chereads / Aku dan Mafia / Chapter 19 - Pura-pura Tidak Peduli

Chapter 19 - Pura-pura Tidak Peduli

"Cepat! Tuan Bos sudah pingsan." Sang pilot melajukan heli lebih cepat. Akhirnya mereka sampai di pangkalan. Griffin langsung dibawa ke ruang perawatan di pangkalan itu untuk mendapatkan pertolongan pertama.

"Bagaimana?" tanya Ronald pada sang dokter.

"Ini harus dibawa ke rumah sakit. Disini peralatannya sederhana. Sepertinya, bos tertembak dibagian pembuluh besar." Ronald mengerti. Dia menelpon ambulance untuk memindahkan tuan bos ke rumah sakit. Sampai detik ini, Griffin belum sadarkan diri. Ambulance datang setelah beberapa saat. Suara sirine memekakan telinga.

Sementara itu, Fatin mengulat di kursi. Dia merasa lehernya sangat sakit. Dia membuka matanya pelan-pelan. Saat membuka matanya lebar, dia bingung karena berada disebuah ruangan serba putih.

"Gue di mana? Sepertinya ini rumah sakit? Aduh, kaki gue kesemutan lagi." Fatin celingukan. Tidak ada satu orang pun yang bisa di tanyai. Dia berjalan untuk ke kamar mandi. Sepertinya, panggilan alan telah memanggil di dalam perutnya.

"Waduh, gawat! Kemana pacarnya, Bos? Bisa berabe ini? Bisa diamuk kalau dia kembali." Toni melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah jam dua dini hari. Toni segera mencari ke sana- ke mari. Di tangannya sudah ada nasi goreng dan minuman ringan karena dia kelaparan.

Toni mendengar suara gemeicik dari dalam kamar mandi. Biar menunggu. Kalau tidak ada, baru cari ke tempat lain. Setelah beberapa saat, muncul Fatin dari dalam kamar mandi. Fatin dan Toni sama-sama berjingkat karena kaget.

"Mas Toni? Kok saya bisa ada di sini?" tanya Fatin.

"Oh, itu ibu nona sakit dia ada di dalam." Fatin segera bergegas melihat ke arah dalam lewat kaca. Memang terlihat ibunya sakit dan dipasang selang oksigen juga infus. Mata Fatin langsung luruh. Dia tidak bisa menahan tangis.

"Siapa yang membawa ibu ke rumah sakit, Mas?" tanya Fatin.

"Si Bos yang membawa." Fatin menoleh ke arah Toni.

"Bang Griffin? Kemana dia? Aku akan mengucapkan terima kasih. Tapi, kenapa di ruangan yang bagus? Ini bayarnya pasti sangat mahal." Fatin masih terisak tapi dia juga dia bingung nanti bayarnya. Dalam tabungannya hanya ada dua juta. Sedangkan ini kelas satu, asuransi kesehatan milik ibunya yang diberikan gratis oleh pemerintah untuk kelas tiga.

"Bos ada keperluan. Tadi suruh pamitin sama nona. Paling besok pagi kembali." Tidak begitu lama, ada pasien yang di dorong lewat lorong di mana mereka sedang bicara. Tapi Fatin tidak menoleh sama sekali. Itu adalah Griffin. Dia akan sama-sama masuk ruang ICU, di kamar sebelah. Demikian juga Toni. Dia tidak melihat bahwa yang baru saja lewat adalah Griffin.

Sedangkan Ronald tidak ikut naik ke atas karena mengurus banyak hal. Dia hanya mengurus administrasi setelah itu pergi lagi. Kali ini, dia harus mengurus segalanya. Griffin tentu akan sedikit lama, karena sepertinya peluru itu menembus begitu dalam. Biasanya, jika tidak dalam, di pangkalan juga bisa diambil oleh dokter yang ada di sana.

"Kira-kira, mama sakit apa, ya? Hampir tiap hari dia mengeluh sakit kepala. Kalau diperiksakan ke rumah sakit, bilangnya selalu tidak usah. Tapi aku takut jika sakitnya sangat parah." Toni menelan ludahnya sangat susah. Dia tidak bisa mengatakannya. Tangan Toni mengangkat seolah dia tidak tahu.

Fatin kembali duduk karena di dalam ruangan itu intensif tidak boleh ditunggui. Fatin merogoh tangannya dan melihat gawainya. Ada banyak panggilan tak terjawab dari ibunya. Sepertinya, ibunya sudah coba menelponnya dan akan meminta tolong. Akan tetapi dia tidak mendengar. Fatin merasa sangat menyesal. Mengapa dia bisa tidak mendnegarkannya?

Pagi menjelang. Fatin tidak bisa tertidur pulas seperti biasanya. Matanya tampak memerah karena kekurang tidur. Dia mengirim pesan kepada kakek Bagyo bahwa hari ini tidak dapat berangkat kerja. Bukannya membalas, tapi kakek Bagyo malah menelpon.

"Hallo, Kekek." Fatin terdengar serak, sehingga kakek Bagyo sudah tahu bahwa Fatin baru saja menangis.

"Fatin, apa yang terjadi?" tanya kakek Bagyo.

"Ibu, masuk rumah sakit, Kakek. Aku ...." Fatin tidak bisa menlanjutkan kalimatnya. Dia sangat menyesal. Mengapa saat ibunya membutuhkan dirinya, dia tidak menjawab teleponnya?

"Hussss, jangan menangis. Kamu berdoa saja. Nanti kita akan bergiliran membesuk ke rumah sakit kalau diperbolehkan. Soalnya masa pandemi seeprti ini biasanya tidak boleh." Fatin menghapus air matanya.

"Terima kasih, Kakek. Sebaiknya doakan saja. Sebab, pasti tidak diperbolehkan." Kakek Bagyo terlihat menyesal. Wanita itu kesusahan. Wanita yang sudah dia anggap sebagai cucunya. Tapi ternyata tidak bisa menemaninya.

"Ya sudah, jangan sungkan bilang sama kakek apapun. Kakek siap membantu." Fatin mengucapkan terima kasih, setelah itu kakek Bagyo memutuskan sambungan teleponnya. Sedangkan Fatin masih merutuki diri melihat keadaan ibunya. Dia meraba kaca besar yang menjadi penghalang antara dirinya dan ibunya tersebut.

"Mas, Toni. Kok Bang Griffin belum datang ya? Apa mungkin dia sudah sekalian ke kantor? Aku mau ijin tidak pulang menemui Nevan dulu. Aku mau jaga ibu." Toni mengangguk. Dia menghubungi Ronald untuk mengetahui kabar lapangan.

"Ronald, kalian sudah di mana? Sudah pulang belum?" Toni terdengar menghubungi Ronald.

"Hufff, sudah. Gue ada di Jakarta. Tuan Bos ada di rumah sakit yang sama dengan ibunya nona Fatin." Toni mengerutkan keningnya.

"Apa? Kamu ada di Jakarta? Tuan di rumah sakit? Tuan ... tertembak?" Toni setengah berteriak saat mengatakannya sehingga Fatin mendnegarnya.

"Apa? Mas Toni. Bang Griffin kenapa? Jawab!" Fatin mendekati Toni dan menyerobot gawainya.

"Hallo, kenapa dengan Bang Griffin? Hallo." Fatin mengangkat gawai yang dia pegang dan melihat pada layar. Terlihat nama Ronald di sana.

"Hallo, Mas Ronald? Kenapa dengan Bang Griffin?" tanya Fatin.

"Hmm, dia tertembak, Nona. Jangan panik, ya? Dia tidak apa-apa." Ronald mencoba menenangkan Fatin. Tapi, Fatin sudah tergugu. Entah mengapa dia merasa sangat sedih. Padahal, sebelumnya dia begitu jengkel dan sangat ingin pergi jauh dari lelaki itu. Fatin luruh ke lantai, sehingga Ronald memanggil-manggil dia tapi tidak dia hiraukan. Sehingga Toni mengambil gawai yang ada di tangan Fatin.

"Sudah dulu, Ronald. Gue tenangin nona." Toni memutuskan sambungannya.

Fatin bengkit kemudian pergi ke ruang sebelah untuk melihat keadaan Griffin. Tapi, dia tidak ada di dalam ruangan tersebut. Sehingga dia seperti orang gila berlari dan menanyakan kepada station nurse.

"Mbak, mohon maaf. Pasien atas nama Griffin ada di mana?" Suster jaga memberi tahu bahwa Griffin sedang di operasi.

"Nona, tenanglah. Tuan tidak apa-apa. Nona jangan khawatir." Fatin menoleh ke arah Toni. Bagaimana dia tidak khawatir. Sedangkan Griffin sekarang sedang dioperasi.

"Jangan memandangs aya seperti itu. Tuan hanya dioperasi untuk mengambil proyektil. Setelah itu, dia akan pulih. Nona khawatir, ya?" Toni tersenyum nyengir.

"Kahwatir? Benarkah? Aku mengkhawatirkan dia?" Fatin berkata dalam hati.

"Tidak! Aku tidak khawatir. Aku hanya ... aku hanya khawatir kalau dia kenapa-napa siapa yang akan membayar rumah sakit ibuku? Ya, hanya itu." Toni tersenyum.