Muncul pria bertuxedo dengan gaya yang begitu elegan. Ibu Fatin menganga, dari mana Fatin mengenal lelaki itu? Mengapa dia bisa datang kemari? Ibunya Fatin masih mengamati saja polah Griffin. Sementara lelaki yang tadi bertanya pada ibunya Fatin terlihat hormat padanya. Berarti itu adalah tuannya.
Ibunya Fatin lebih bingung lagi ketika melihat bahwa pria itu membawa Fatin yang tak sadarkan diri. Dia membuka lebar-lebar pintu rumah agar lelaki itu dapat membawanya masuk. Griffin membawa Fatin masuk ke kamarnya. Lelaki itu menikmati tiap jengkal kamar Fatin yang bernuansa feminim. Aroma parfum yang berciri khas wanita menyeruak memenuhi ruangan itu. Sampai dia menempel di kasurnya, tidak bangun sama sekali. Ajaib memang anak itu.
Griffin duduk di tepian ranjang dan mengedarkan pandangan. Ada banyak foto Fatin bersama ibunya. Tapi tidak ada satu pun foto bersama ayahnya. Kemudian dia tertarik untuk memfoto Fatin. Dia memfoto wanita itu dalam keadaan pulas. Dia tersenyum sendiri menahan gejolaknya. Setelah mengamati ruangan itu, reflek jemarinya mengelus pipi Fatin. Wanita itu sedikit bergerak hingga Griffin menarik jemarinya kembali. Ibunya Fatin sedang membuatkan minum untuk mereka. Griffin sudah cukup lama di kamar itu, memandangi wajah Fatin yang tidur dalam damai.
Setelah puas memandangi, sepertinya bukan, bukan puas. Griffin tidak pernah puas memandangi wajah ayu wanita itu. Tapi terpaksa puas. Ya, setelah terpaksa puas memandangi wajah Fatin, Griffin beranjak dengan senyuman yang masih tersungging. Untuk pertama kalinya ada seorang wanita yang menolaknya. Dia menjadi sangat penasaran dengan wanita tersebut.
Lelaki itu beranjak dengan kedua tangannya berada di saku celananya. Dia melangkah keluar kamar dan menutup pintu kamar. Griffin berpapasan dengan ibunya Fatin yang membawa baki.
Griffin tersenyum kepada wanita yang sudah berumur tersebut, kemudian mengikuti langkahnya dari belakang. Dia duduk di sampaing Toni, kemudian dengan ramah ibunya Fatin mempersilakan kedua tamunya untuk menikmati hidangan. Griffin dan Toni menyeruput teh yang dibuat oleh ibunya Fatin.
"Mengapa anak saya bisa bersama kalian? Apa terjadi sesuatu?" tanya ibunya Fatin.
Griffin dan Toni saling berpandangan. Akan tetapi Griffin memberikan kode untuk Toni menjelaskan.
"Maaf sebelumnya, dengan ibu siapa?" tanya Toni.
"Saya Indana, ibunya Fatin." Ibunya Fatin menjawab namanya.
"Saya Toni dan beliau adalah Tuan Griffin. Nona Fatin menjadi pengasuh beliau mulai hari ini. Apakah Fatin tidak meminta ijin?" tanya Toni.
"Tidak, dia hanya cerita bertemu dengan seorang anak laki-laki saat pingsan dan ditolong oleh seorang pria. Maaf, jadi merepotkan. Lalu, kenapa dia bisa tertidur seperti ini?" tanya Indana ibunya Fatin.
"Tadi, dia pamit pulang. Tapi, karena kawasan kami tidak ada angkutan umum, maka nona Fatin sampai tertidur di pinggir jalan. Tuan Griffin hanya menolongnya." Indana mengangguk. Anaknya itu kalau sudah tidur memang ngebo. Mau ada badai sekalipun dia tetap nyenyak dengan tidurnya. Indana berterima kasih pada Griffin. Sedangkan kedua lelaki itu pamit setelah menghabiskan satu cangkir kecil tehnya.
Mamanya Fatin mengantarkan mereka pulang sampai ke depan pintu gerbang. Setelah mobil Griffin berlalu dan hilang dari pandangan ditelan jalanan, ibunya Fatin masuk ke rumah dan langsung masuk ke kamar Fatin. Dia tersenyum melihat putrinya itu tertidur dengan damai.
"Kau selalu membuat ibu khawatir. Tapi ibu sayang sama kamu." Indana mengusap-usap dahi Gatin. Dia membenarkan tidur anaknya tersebut kemudian menarik selimut sehingga dapat menutupi seluruh tubuhnya.
Pagi menjelang. Pagi ini, mentari enggan bersinar. Rintik hujan membasahi bumi. Suara air yang menggemuruh turun dari langit sangat deras. Fatin menghembuskan nafas. Dia harus tetap kerja. Langganan akan meminta diantar kalau sudah demikian. Pesanan lewat telepon akan makin membludak.
"Ah, aku harus semangat. Tapi rasanya lelah sangat." Fatin mengulat dan sedikit melakukan peregangan agar otot-ototnya rilex kembali.
Dia mandi air hangat kali ini. Cuaca yang sangat dingin membuat dia malas untuk mandi jika menggunakan air dingin. Selesai mandi dia berpakaian . Dia mengerutkan keningnya ketika terdengar suara klakson di depan rumahnya. Dia tidak mengindahkan. Mungkin saja orang depan rumah. Dia tetap siap-siap. Disela siap-siapnya, ibunya memanggil.
"Fatin, orang yang tadi malam menjemputmu." Fatin mengerutkan keningnya.
"Tadi malam?" Fatin membuka kembali memori fikirannya. Tadi malam? Dia tidak tahu tadi malam siapa, bersama siapa? Wanita itu tidak menjawab apapun hingga Indana ibunya menyusulnya ke dalam kamarnya.
"Itu, orang yang tadi malam mengantarmu pulang ada di depan." Indana mengulang perkataannya saat posisinya lebih dekat dengan putrinya itu.
"Ibu ini bicara apa? Lelaki semalam? Lelaki semalam yang mana? Kok saya tidak ingat?" Fatin memoleskan sedikit bedak tabur di wajahnya.
"Itu, kata dia majikan kamu. Kamu memang bekerja sebagai pengasuh? Kok tidak bilang sama ibu? Sudah tidak di Floris lagi?" tanya Indana pada anaknya tersebut.
"Pengasuh? Jadi semalam aku diantarkan oleh tuan Griffin?" Indana tersenyum kemudian mengangguk.
"Ah, lelaki itu memang membuatku frustasi. Dia benar samoai sini?" Indana mengangguk lagi. Fatin memutar bola matanya. Rasanya dia malas membicarakan lelaki yang sellau bikin keki itu.
"Kenapa?" Indana tidak tahu masalahnya, mengapa Fatin seperti tidak suka? Padahal lelaki itu terlihat baik.
"Nanti saja aku ceritakan. Aku pergi dulu." Fatin mengambil payung kemudian keluar dan membuka payung tersebut. Terlihat Toni membuka kaca mobil.
"Nona, mari saya akan antar jemput anda mulai hari ini." Fatin memutar bola matanya. Sebenarnya dia tidak mau, tapi karena saat ini hujan terpaksa dia mau. Fatin hanya tidak ingin diatur-atur oleh Griffin. Tapi dia terlanjur sayang dengan lelaki kecil bernama Nevan itu, yang sangat menggemaskan anaknya Griffin.
Fatin sudah naik ke dalam mobil. Kali ini tanpa Griffin, karena kalau dia ikut ke kantornya akan sangat pagi. Griffin hanya menikmati wajah wanita itu didalam layar gawainya.
"Tuan, maaf. Boleh saya bertanya?" Fatin mulai membuka pembicaraan mumpung tidak ada Griffin. Tidak tahu saja, dia kalau Griffin memperhatikannya lewat CCTV yang langsung tersambung ke layar laptopnya dan gawainya Griffin.
"Mau tanya apa, Nona?" Toni merespon berkataan Fatin.
"Tuan siapa namanya?" tanya Fatin. Toni tersenyum, dia mengira akan menanyakan apa? Ternyata hanya bertanya nama.
"Saya Toni nona Fatin." Toni terus memainkan stirnya. Sebenarnya jarak rumah Fatin dan Floris sangat dekat. Hanya memang harus memutar agak jauh jika naik mobil. Kalau jalan kaki atau naik sepeda lebih cepat karena memotong jalan melewati gang sangat sempit.
"Tuan Toni, boleh tidak saya bertanya? Sebenarnya, kemana mamanya Nevan. Kok bisa dia menyangka aku mamanya? Padahal mamanya seperti apa saja aku tidak tahu. Aku merasa kasihan sama anak itu. Kita semua membohonginya. Bagaimana perasaannya kalau dia tahu kita membohonginya?" Griffin di seberang sana memejamkan matanya. Ada rasa marah dalam dadanya. Bukan marah dengan Fatin yang menanyakan hal itu, tapi marah dengan Helia. Wanita itu memang menjengkelkan. Dia pergi dari rumah tanpa peduli putranya.
"Mengapa nona tidak menanyakan saja sama Tuan. Saya tidak tahu," bohong Toni.
"Tidak berani. Dia galak. Kalau sama kamu dia galak tidak?" Toni rasanya ingin tertawa mendengar hal itu. Fatin sangat blak-blakan anaknya.
"Memang dia galak sama nona?" tanya Toni.
"Jangan panggil aku nona, panggil saja Fatin. Hmmm, iya dia galak. Dia macam harimau padang pasir yang suka menerkam. Hrrr ...." Fatin menirukan suara harimau, hingga Toni tertawa melihatnya. Sedang Griffin di seberang sana merasa kesal sendiri dikatakan galak.