"Jangan panggil aku nona, panggil saja Fatin. Hmmm, iya dia galak. Dia macam harimau padang pasir yang suka menerkam. Hrrr ...." Fatin menirukan suara harimau, hingga Toni tertawa melihatnya. Sedang Griffin di seberang sana merasa kesal sendiri dikatakan galak.
"Terima kasih, Bang Toni." Toni tersenyum kemudian melajukan mobilnya kembali. Sedangkan Griffin di seberang sana merasa sangat kesal karena sepertinya Fatin lebih ramah dengan Toni dari pada dengan dirinya. Griffin menjadi sangat cemburu dengan Toni. Nanti sore, dia sendiri yang akan menjemput Fatin. Sepertinya hatinya tidak rela jika wanita itu terus memberikan senyum manisnya dengan sopirnya itu.
Fatin masuk ke dalam Floris dengan bersenandung hingga teman-temannya mengerutkan keningnya. "Sepertinya, ada yang lagi bahagia, nih?" Rasya menggodanya. Dia menyenggol lengan Dinda yang berada di sampingnya. Hari ini masih pagi. Mereka akan mengantar pesanan langganan sebentar lagi. Mereka dipersilakan sarapan dulu, jadi lebih santai sejenak.
"Fatin, kamu harus mengantarkan sedap malam ini ke kantor tun Griffin. Ingat, ha. Jangan naik lift lagi kalau takut. Kecuali ada temannya." Kekek Bagyo memperingatkan.
"Tidak apa-apa, Kakek. Fatin 'kan punya super hero bernama babang Griffin yang keren dan gantengnya pol." Mereka tertawa, tapi tidak dengan Fatin. Dia ngedumel. Rasanya tidak rela jika Griffin di bilang keren dan ganteng.
"Keren dari Hongkong? Orang gitu keren. Buat apa keren kalau nyebelin?" Fatin mengemas bunga sedap malam agar selamat sampai tujuan.
"Hati-hati, kamu marah-marah begitu, nanti jodoh lho." Rasya menggoda fatin.
"Apa, gue? Jodah sama beruang drizly macem dia? Ogah!" Fatin mengeluarkan lidahnya kepada mereka sambil membawa bunga sedap malam tersebut.
"Hahaha, hati-hati dijalan dan hati-hati dengan ucapanmu. Entar kena karma jodoh beneran lho!" Dinda setengah teriak mengatakannya. Sedangkan Fatin sudah membuka pintu dan berlalu. Kakek Bagyo menggeleng-geleng melihat para pekerjanya saling bercanda seperti itu. Baginya itu seperti hiburan.
Fatin mengambil sepedanya yang ada di garasi. Dia meletakkan bunga tersebut di keranjang depan. Kali ini, dia hanya membawa bunga milik Griffin saja. Sebelumnya, Griffin tidak pernah langganan bunga. Dia mana suka bunga? Tapi karena ingin dekat dengan Fatin dia menjadi langganan bunga. Fatin sudah sampai di depan kantor milik Griffin. Wanita itu memarkirkan sepedanya diantara mobil dan motor mewah yang berjejer.
"Pak satpam, saya mau mengantarkan bunga milik tuan Griffin. Titip, ya?" Fatin melaporkan kepada satpam yang ada dipos depan.
"Oh, silakan nona. Anda harus mengantarkan sendiri ke ruangan tuan. Demikian perintahnya. Mari, akan saya antarkan." Fatin memutar bola matanya. Griffin memang menyebalkan. Tinggal memberikan saja kenapa tidak boleh di titipkan? Sungguh orang yang aneh. Demikian dalam hati Fatin ngedumel.
Fatin berjalan mengikuti satpam tersebut. Sampai di lobi, dua resepsionis membungkuk dan tersenyum tanda hormat sama Fatin. Wanita itu tidak curiga. Dia mengira itu hanya tugas resepsionis untuk menghormati siapa pun. Akan tetapi, setelah berlalu kedua resepsionis tersebut berbisik-bisik.
"Kau tahu, wanita itu sungguh beruntung. Dia disukai oleh bos kita yang super ganteng dan super keren itu." Wanita itu mengatakannya dengan temannya.
"Hooh, sudah begitu super kaya. Tapi sepertinya dia tidak menyadari." Wanita yang satunya menimpali.
"Kok kamu bisa bilang begitu?" tanya yang satunya.
"Karena ...." Kalimat wanita itu tercekat karena melihat Griffin sudah ada di depan mereka.
"Karena ada aku! Jangan merumpi. Aku membayar kalian untuk bekerja bukan merumpi." Griffin dengan tajam mengatakannya pada karyawannya tersebut. Kedua wanita itu ketakutan hingga tangannya menciptakan fibrasi. Grifin dan juga Ronald jalan meninggalkan mereka. Jika Griffin medninggalkan mereka dengan suek, berbeda dengan Ronald yang sedikit mengganggunya.
"Ronald! Mau saya pecat! Menggoda wanita saat bekerja." Griffin terus melaju tapi tetap memperingatkan Ronald sedangkan Ronald meninggalkan wanita-wanita itu dengan mengedipkan mata, sehingga keduanya histeris. Ronald sedikit berlari untuk menjangkau Griffin.
Fatin sendiri sudah sampai di ruangan Griffin. Dia meletakkan bunga di meja, belum dimasukkan ke dalam vasnya, karena Griffi tidak menyuruhnya. Dia melihat-lihat ruangan itu. Pertama yang membuat dia terpana adalah sebuah lukisan yang sepertinya langka. Dia pernah melihat lukisan tersebut. Tapi sepertinya lupa ada di mana. Dia memandang lukisan tersebut. Puas mengagumi lukisan, dia menggunakan ujung jarinya memegang meja kayu yang seeprtinya mengkilap dan menggunakan kayu yang mahal.
"Dia suka kebersihan rupanya. Meja ini nyaris tanpa debu." Fatin berjalan mengitari meja tersebut dan jatuh pandangannya pada sebingkai foto yang ada di meja. Ada Nevan yang masih bayi dipangku oleh Griffin. Dia masih penasaran, dari sekian banyak foto, mengapa tidak pernah ada foto istrinya Griffin.
Fatin kembali fokus pada sebuah bingkai foto. Griffin seperti ada dua. "Mungkin editan,"
tukas Fatin.
"Itu betulan. Dia adikku!" Fatin kaget dan meletakkan kembali foto itu dimeja, untung saja tidak jatuh.
"Oh, maaf. Ini bunga anda dan saya permisi." Ronald sendiri sudah tahu endingnya. Jadi dia permisi kelaur dari ruangan itu. Dia tersenyum melihat perubahan dari Griffin. Dia tidak lagi seperti monster menakutkan. Lelaki itu terlihat sedikit lebih manusiawi.
"Tunggu, Nona. Bisa saya minta tolong? Saya belum sarapan. Kita akan sarapan bersama pagi ini. silakan duduk." Fatin mengerutkan keningnya. Dia kemari untuk mengantarkan bunga bukan untuk sarapan.
"Maaf, Tuan. Saya kemari hanya mengantarkan bunga. Kebetulan saya sudah sarapan." Fatin dengan ramah mencoba bernegosiasi.
"Males banget aku harus sarapan bareng dia. Ogah gue!" Batin Fatin tidak terima, walau perut tidak bisa berbohong. Perutnya berbunyi dengan sangat keras menandakan sang empunya sedang kelaparan. Griffin tersenyum mendnegarkan bunyi perutnya Fatin.
"Sepertinya, perutmu sudah jujur, Nona. Dia tidak suka anda berbohong." Griffin terlihat menelpon seseorang. Sedangkan Fatin sudah paseah saja. dia tidak bisa membantah lelaki itu. Membantah pun percuma, dia tetapsaja kalah. Dia memutar bola matanya lelah. Setelah itu dengan dongkol duduk di kursi depan meja kerja Griffin. Dia menghempaskan bokongnya dengan malas. Bibirnya menyemburkan nafas-nafas lelah sehingga Griffin merasa sangat gemas melihatnya.
Setelah beberapa lama, datanglah makanan. Dua porsi sandwich ukuran besar dengan daging yang lezat datang menyambangi mereka. Dua jus jeruk dan beberapa potongan buah macam-macam yang disiram susu kental manis. Terlihat menggiurkan.
"Mungkin seperti ini sarapan orang kaya. Tapi, apakah kenyang? Aku biasanya nasi goreng atau nasi uduk?" Batin Fatin berbicara.
"Silakan, Nona. Atau kamu mau ganti menu?" Fatin menggeleng saja. Meskipun dia gedeg banget dengan Griffin, tapi dia juga masih punya perasaan. Dia tidak mau menyusahkan.lebih tepatnya jaga harga diri. Fatin terpaksa mau memakan sarapan yang disajikan oleh Griffin lewat seorang wanita yang mengantarkan makanantersebut.
Fatin tanpa malu-malu mulai memakan sandwich itu bahkan tanpa pisau dan garpu seperti Griffin. Dia langsung menggigit sandwich tersebut, sehingga sausnya kemana-mana. Bahkan mengenai roknya. Griffin hanya menggeleng saja, kemudian mengambilkan tisu untuk membersihkan sisa saus yang ada di baju Fatin.
"Apa kau suka berantakan seperti ini kalau makan?" tanya Griffin. Dia membantu Fatin mengelap bekas saus yang jatuh di bajunya. Aroma maskulin menyeruak di indra penciuman Fatin. Rasanya begitu menenangkan. Aroma itu membuat otaknya bekerja nyaman seakan tengah dekat dengan seorang yang sanggup melindunginya. Fatin memejamkan matanya merasakan keharuman itu memenuhi seluruh indra penciumannya.