Chereads / Aku dan Mafia / Chapter 7 - Malunya

Chapter 7 - Malunya

"Bagaiman kalau mamanya yang asli datang?" tanya Fatin memastikan.

"Ya, malah bagus kalau dia mau pulang. Itu malah membuat tugasmu ringan." Fatin mengerutkan keningnya. Ini manusia benar-benar mempermainkan pernikahan.

"Maksud anda apa? Apa semua ini permainan? Aku tidak mau. Hanya sore ini saja saya ke rumah anda. Selebihnya mohon maaf. Cari saja orang lain. Sore ini karena sudah janji sama putra anda, saya akan datang.tapi tidak untuk hari lain. Saya akan bilang ke putra anda bahwa saya bukan mamanya." Fatin sangat marah. Dia mengajaknya menikah, akan tetapi dia hanya di permainkan.

"Tunggu! Saya mohon, Nona. Dia bahkan lebih sayang padamu dari pada pada Helia mamanya. Hanya sampai Helia mamanya pulang anda pura-pura menjadi mamanya." Fatin memebelalakkan matanya. Dia menepuk jidadnya.ternyata yang dia maksud adalah menjadi pengasuh dari anak itu. Dia mengira menjadi istrinya. Duh, Fatin merasa sangat malu. Dia sudah salah sangka bahwa lelaki itu mengajaknya menikah. Akan tetapi, Fatin kemudian memperbaharui raut wajahnya agar tidak terlihat dia ke ge-er-an.

"Ehem, baiklah. Aku mau, tapi jangan kekang aku. Aku mau bebas. Aku mau tetap bekerja sebagai perangkai bunga di sini." Fatin memberikan sayarat seperti ini. Hening sejenak, kemudian Griffin menyanggupi syarat yang di ajukan Fatin. Kemudian Fatin tanpa permisi pergi meninggalkan ruang belakang itu.

Griffin tersenyum miring. Dia seakan bahagia memiliki cara untuk mengikat wanita itu. Dia belum pernah sebahagia ini. biasanya dia akan menyewa wanita hanya untuk menemani pesta setelah itu selesai dengan menyuruhnya pulang diantar sopir atau diantar oleh taxi. Dia bahkan berbeda dengan orang kaya pada umumnya yang selalu mencari wanita sebagai pemuas ranjangnya. Bahkan dia menikah dengan Helia karena jebakan. Walau Nevan tetap anaknya.

Griffin beranjak dari tempat itu. Dia berpapasan pandang ketika sampai di ruang tengah dengan Fatin. Akan tetapi, wanita itu memalingkan wajahnya. Wanita itu sangat marah dengan Griffin. Rasanya bawaannya ingin mengomel saja kalau ketemu dengan lelaki itu.

"Jangan marah-marah, entar jododh lho." Rasya temannya meledek.

"Apa? Gue? Jodoh dengan manusia kutub itu? Si beruang Drizly itu? Tidak akan!" Dengan mantap Fatin mengatakannya.

"Hahaha, jangan begitu, Fat. Banyak yang awalnya bermusuhan tahu-tahu nglipek saja. tahu-tahu memberi undangan." Dinda menimpali, sehingga Fatin sangat dongkol dengan kedua sahabatnya itu dan melempar bunga yang baru dia pisahkan dari durinya ke arah Rasya.

"Ait, nggak boleh KDRT, ya? Sesama sahabat dilarang saling menyakiti." Dinda menangkap bunga itu.

"Biarin! Kalau sahabatnya macam kalian mah, gue nggak peduli." Fatim manyun sambil melanjutkan merangkai bunganya. Entah mengapa dia ingin cepat untuk menyelesaikan pekerjaanya kali ini. Dia sudah merasa sayang dengan anak kecil berumur sekitar empat tahun itu. Lelaki kecil bernama Nevan itu sudah mencuri hatinya sejak pertama dia melihatnya.

*Flash Back On*

"Aduh, aku di mana? Kenapa kepalaku pusing sekali?" gumam dia pada dirinya sendiri. Dia baru saja membuka mata setelah pingsan selama beberapa jam, karena dilihatnya sekarang sudah pukul enam sore. Dia tahu karena di dinding terpampang jam dinding dengan model klasiik, bingkai dari kayu dengan ukiran kepala singa di bagian atas. Dia memindai kanan dan kiri. Dia tidak mengetahui ada di mana. Dia bangkit. Ruangan itu serba putih dengan pernak-pernik yang unik. Bukan hanya jam dinding yang sangat cantik. Di sudut ruangan ada guci berisi bunga edelwais yang dijuluki bunga abadi. Guci itu sangat besar dengan gambar naga tiga dimensi. Setelah matanya melihat guci yang sangat cantik, dia mengedarkan pandangan lagi.

Terlihat lemari yang masuk ke area tembok. Pintu itu terbuat dari kayu dengan bagian atas ukiran dengan ujung almari ukiran kepala singa tang menunjukan taring dan giginya. Setelah memindai lemari, di meja rias ada cermin besar dengan set make-up. Dia tidak tahu itu milik siapa. Yang dia tahu itu terlihat lengkap dan komplit. Dia berjalan menuju sebuah foto. Hanya ada foto Griffin dan seorang laki-laki kecil. Semua foto yang dipajang tidak ada wanitanya. Semua hanya Griffin dan anaknya. Sejak anaknya bayi hingga berumur kira-kira empat tahunan.

Fatin mengangkat foto itu. Dia memandangnya sangat lekat. "Tampan dan mempesona. Bahkan terlihat sangat sayang sama ibunya." Fatin kembali meletakkan foto itu.

"Ya Tuhan, kenapa aku bisa terpesaona seperti ini. aku harus mengomel sama lelaki yang telah lancang membawaku kemari. Aku akan marahi dia habis-habisan. Enak saja, tanpa tanya dulu tiba-tiba membawaku kemari. Gue akan berondong dia dengan omelan yang paling pedas pakai cabe dua kilo." Fatin mengomel pada dirinya sendiri.

Dia beranjak membuka pintu. Dia menutupnya kembali, akan tetapi dia kaget bukan main. Ada seorang pelayan yang membawa nampan menegurnya.

"Nyonya mau kemana? Tuan Griffin memerintahkan kami untuk menjaga nyonya. Beliau sedang ke luar kota. Anda tidak boleh kemana-mana." Seorang paruh baya memperingatkannya sambil memegang nampan itu.

"Maaf, dengan bu siapa?" tanya Fatin karena tidak tahu.

"Nyonya lupa sama saya? Baru empat hari pergi nyonya sudah lupa. Saya bi Minah, Nyonya Ndoro. Masa lupa?" Minah tersenyum geli.

"Saya bukan nyonyamu, Bi. Saya Fatin yang kebetulan diselamatkan oleh tuan Griffin. Kamu salah paham. Hmmm, kemana dia, Bi." Akhirnya Fatin bertanya kemana perginya Griffin.

"Tuan Griffin ke luar negeri, Nyonya. Dia pamit dan kami harus menjaga nyonya." Fatin memutar bola matanya dia harus pulang pasti ibunya sangat cemas memikirkannya.

"Bi, saya mau pulang. Saya harus pulang sudah malam. Sampaikan sama tuan Griffin terima kasih." Sedang mereka bicara, seorang anak berlari kepelukannya. Dia menangis tersedu-sedu melihat mamanya ada di rumah.

"Mama ...." Lelaki kecil itu membenturkan tubuhnya dengan tubuh Fatin dan memeluknya erat.

"Eh, kamu salah paham. Aku ...." Nevan mendongak sehingga mata Nevan dengan Fatin saling bertemu. Dia iba melihat air mata lelaki kecil itu. Wajahnya sangat memelsa, sehingga Fatin tidak tega memupuskan harapannya bahwa dirinya bukan mamanya.

"Baiklah, Ganteng. Jangan menangis lagi." Fatin menggendong lelaki kecil itu. Dan membujuknya agar berhenti menangis. Akhirnya anak kecil itu berhenti menangis dalam pelukannya Fatin. Dia mengelus punggung anak laki-laki itu sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya.

"Bi, bibi ...." Fatin memanggilnya kemudian terlihat bi Minah tergopoh-gopoh menyambutnya.

"Oh, Den Nevan sudah bobo? Biarkan bibi yang menggendong, Nyonya." Fatin memebrikan tubuh mungil itu, akan tetapi anak laki-laki itu tidak mau lepas dari gendongannya.

"Biarkan saya yang menggendong, Bi. Tunjukkan saja kamarnya." Bibi menurut saja. tapi dia masih bingung dengan keadaan ini. Sebenarnya nyonyanya ini kenapa? Mengapa bisa berubah, hingga kamar putranya saja sudah lupa.

Mereka berjalan menuju ke kamar Nevan. Kamar warna biru dengan walpaper bergambar beberapa tokoh karakter di fimn-film suoer hero. Sprey warna biru dan ranjang yang berwarna biru pula.

"Bi," panggil Fatin setelah mampu lepas dari Nevan. Dia keluar kamar dan menemui bibi Minah.

"Iya, Nyonya." Bibi dengan tergopoh-gopoh menghampiri nyonya anehnya itu.

"Saya mau pulang. Tolong katakan pada tuan Griffin terima kasih." Bibi melongo. Jadi dia betul-betul bukan nyonya Helia? Fatin berjalan menuruni tangga untuk mencapai lantai satu. Rumah itu begitu sangat luas. Dia juga hampir kesasar karena lorong rumah itu sama semua. Fatin sekali lagi menengok ke arah rumah itu. Dia trenyuh melihat anak itu sangat kesepian.tapi dia juga harus pulang.

*Flash Back Off*

"Hayo! Melamunin apa? Pasti si abang yang ganteng itu 'kan?" Dinda membuyarkan lamunannya.