Chereads / Aku dan Mafia / Chapter 9 - Kontrak Yang Membingungkan

Chapter 9 - Kontrak Yang Membingungkan

"Tunggu! Ini maksud kontrak yang sebelah sini apa? Aku kagak faham." Fatin menunjukkan poin terakhir yang dia tidak mengerti. Mengapa harus ikut selama liburan? Padahal perjanjian awal hanya menemaninya saat di rumah. Sungguh Fatin tidak setuju jika saat liburan harus ikut. Bukankah seharusnya tidak? Karena dia hanya berpura-pura menjadi ibunya saja.

"Sebagai pengasuhnya, kamu harus selalu berada di sampingnya, Nona. Tidak boleh sedikit pun kamu berjauhan darinya. Apa kau mengerti?" tanya Griffin sambil duduk di meja depan Fati. Dia meletakan kedua tangannya di atas meja digunakan untuk menopang tubuhnya.

"Tunggu, tuan Griffin yang terhormat. Aku sudah bilang, aku akan membantumu. Tapi aku tidak mau diatur-atur seperti ini." Fatin berdiri kemudian akan meninggalkan ruangan itu. Akan tetapi Griffin menarik tangannya sehingga tubuh wanita itu membentur dada Griffin yang keras dan bidang.

"Dengar, Nona. Jangan membantahku! Aku sangat tidak suka dibantah. Tanda tangan, atau aku akan menelan bibirmu yang cantik ini." Mata mereka bertemu. Fatin mengedipkan matanya berkali-kali. Tidak dipungkiri meskipun pria itu sudah dewasa, tapi dia masih sangat tampan. Garis wajahnya yang tegas, bulu-bulu halus yang mulai terbentuk membuat lelaki itu terlihat sangat macho. Jantung mereka sama-sama berpacu sangat kuat. Demikian juga dengan seorang Griffin. Dia bahkan sering dekat dengan jalang-jalang murahan, tapi tidak dengan wanita ini. wanita ini sangat berbeda. Dia bahkan masih sangat natural.

"Lepaskan saya, Tuan. Anda mau apa?" Fatin ketakutan. Tangannya terihat bergetar dalam genggaman hangat yang dekat dengan tubuh Griffin.

"Kau bertanya aku mau apa? Satu ciuman untuk satu pembangkangan. Kau paham!" Fatin sedikit frustasi. Dia kembali duduk dan manyun saat berhasil dilepaskan oleh Griffin. Sedangkan Griffin tersenyum puas sudah mengkungkung wanita itu. Bukan Griffin namanya jika tidak punya sejuta trik untuk menarik barang buruannya.

"Kita lihat! Sampai di mana kamu dapat menolakku. Ini sangat menyenangkan bisa mengganggumu, Manisku. Kau berwajah hampir mirip dengan Helia. Tapi kau lebih menarik dan menantang. Aku akan menaklukanmu. Karena kau sudah berani menolakku!" Griffin berkata dalam hati. Griffin tersenyum puas saat melihat Fatin frustasi. Wanita itu membetulkan anakan rambutnya yang berkibar akibat angin yang bertiup. Rasanya Griffin bisa lepas kendali jika bersama wanita itu lebih lama.

Fatin menandatangani berkas itu, kemudian beranjak dari ruangan itu. Dia menyusuri lorang-lorong. Semua terlihat sama. Pilar-pilar tinggi dan pintu-pintu itu semua terlihat sama. Dia berputar-putar tidak tahu kamar Nevan yang mana.

"Aduh, gobloknya gue. Gue nyasar. Ini rumah apa istana, sih?" Fatin garuk-garuk kepala yang tidak gatal, karena bingung bagaimana harus menemukan kamar Nevan. Sedang Griffin tersenyum bahkan tertawa puas karena melihat raut wajah kebingungannya Fatin.

"Mbok Minah, ke lorong kamar. Ada nona Fatin yang nyasar. Tunjukkan di mana kamar Nevan." Griffin mengatakan kepada aisten kepala rumah tangganya lewat sambungan telepon. Tanpa menunggu jawaban dari sang pelayan, dia menutupnya. Karena sudah lelah, Fatin duduk di salah satu kursi didepan kamar itu. Mirip rumah sakit, ada lorong-lorong dan tengahnya ada taman.

"Ya, benar. Mirip rumah sakit rumah ini. rumah sakit jiwa. Aku bisa gila kalau bersama orang-orang di sini." Fatin mengacak rambutnya frustasi. Rasanya sangat marah, dongkol, kesal dan lelah. Seharusnya dirinya sudah berada di rumah, mandi, makan dan tidur, tapi ini masih di rumah sialan ini.

"Nona, silakan! Saya antar ke kamar tuan muda." Fatin mengaguk kemudian mengucapkan terima kasih. Dia berjalan mengikuti wanita paruh baya yang berbusana rapi itu. Tidak ada bahkan anakan rambut keluar dari ikatan sanggulnya. Wanita paruh baya itu mengetuk pintu kamar Nevan. Dia terlihat sedang bermain ditemani dengan baby sitternya.

"Mama ...." Anak kecil itu berlari menghampiri Fatin dan menubrukkan tubuhnya ke tubuh Fatin. Fatin menarik hidung anak laki-laki itu yang mancung. Anak laki-laki itu lebih tinggi dari ukuran anak usia empat tahun pada umumnya. Wajahnya oval dengan belahan dagu dan rambutnya yang panjang di sisir menyamping membuat dirinya semakin tampan dan elegan. Bibirnya tipis, dengan mata yang lebar, namun yang bikin mempesona bulu matanya lentik dan tunggu! Sekilas wajahnya mirip dengan Fatin.

"Ah, aku ini bagaimana? 'kan emaknye memang mirip denganku?" Dalam hati Fatin mengolok dirinya, tanpa sengaja menepuk jidadanya sendiri.

"Hai, jagoan. Mama tidak bohong 'kan? Sekarang mama benar-benar pulang. Apa jagoan mama ini sudah belajar?" tanya Fatin karena memang demikian tertuang dalam kontrak sialan itu. Tapi, kali ini Fatin melakukannya dengan sangat bahagia. Karena pada dasarnya dia menyuakai anak-anak.

"Sudah, Mama. Nevan sudah belajar. Nevan belum makan." Anak kecil yang polos itu mengaku dan menjewer telinganya. Fatin mengerutkan keningnya.

"Mengapa dia menjewer telinganya sendiri?" batin Fatin.

"Oh, belum makan? Mbak, memang jam berapa biasanya dia akan makan saat sore hari?" tanya Fatin pada Mbak Linda pengasuhnya.

"Jam enam, Bu. Paling malam jam tujuh kalau ada acara, atau menunggu papanya pulang." Babby sitter sudah tahu bahwa yang didepannya bukan Helia mamanya Nevan.

"Oh, begitu? Lalu, kenapa Nevan menjewer kuping?" tanya Fatin. Dia berjongkok sekarang untuk menyamakan tinggi anak itu dengan dirinya.

"Karena Nevan bersalah." Kejujuran anak itu membuatnya trenyuh. Fatin memeluk anak malang itu. Sebenarnya seperti apa ibunya mengasuhnya? Sepertinya, ada beberapa ajaran yang harus diluruskan.

"Nevan sayang, dengarkan mama sekarang. Kamu tidak perlu melakukan seperti yang tadi jika salah. Cukup minta maaf dan tidak mengulanginya lagi. Oke? Berusahalah jangan membuat mama dan papa kecewa." Fatin merenggangkan pelukannya. Griffin yang melihat wanita itu sudah sangat akrab dengan anaknya merasa yakin, bahwa Fatin lebih baik dari istrinya. dia mulai berfikir untuk menceraikan Helia dan memilih Fatin menggantikan posisinya sebagai Helia.

"Ah, mengapa aku jadi bodoh kalau sudah bersama wanita itu. Dia pasti belum mandi. Aku akan menyuruh Mbok Minah, ah tidak pasti seleranya tidak bagus. Ronald saja untuk membelikan baju untuk Fatin." Lelaki itu mendial nomor untuk menghubungi Ronald asitennya. Ronald yang mengurus seluruh keperluannya tanpa terkecuali, bahkan urusan ranjangnya, jika dia butuh. Walau berakhir selalu tanpa melakukan ML, karena Griffin tidak suka tiba-tiba.

"Hallo," suara dentuman sangat jelas terdengar. Masih sore tapi Ronald sudah berada di club. Mungkin dia mengecek beberapa hal. Demikian pikir Griffin.

"Carikan baju perempuan segera!" Griffin memutuskan sambungannya. Dia tidak suka dibantah dan tidak suka mengulang kata dua kali. Karena berada di club, Ronald tidak mendengar perintah bosnya. Dia berusaha menghubungi nomor bosnya akan tetapi tidak diangkat. Maka Ronald memutuskan untuk kerumah saja. paling-paling bosnya itu akan marah-marah saja, jika dia datang dengan tangan hampa.

Waktu berlalu, tapi Ronald tidak kunjung datang. Griffin mengira Ronald datang dan memberikan baju itu kepada Fatin langsung. Akan tetapi, ternyata Fatin masih sama mengenakan baju yang semula. Pukul tujuh malam, Griffin ingin melihat putranya itu. Dia ingin bergabung untuk bercengkrama dengan putranya dan tentu saja ingin mencuri-curi pandang dengan Fatin. Dia berjalan sangat gagah menuju kamar Nevan.

Dengan hati-hati dia membuka pintu kamar. Akan tetapi ternyata mereka sudah tertidur pulas dengan Fatin memeluk putranya itu. Dia mengerutkan keningnya. Mengapa Fatin masih berpakaian yang sama saat dia datang? Griffin sangat murka. Dia menutup kembali pintu kamar anaknya. Rupanya Ronald belum datang untuk membawa pesanannya.