"Hayo! Melamunin apa? Pasti si abang yang ganteng itu 'kan?" Dinda membuyarkan lamunannya.
"Kamu ngagetin aku. Tidak! Ngapain aku melamun dia? Yang ada sarap ngelamunin dia. Sudah ah, aku mau lanjut dulu. Nani sore mau ke rumahnya. Aku 'kan sudah janji sama anaknya yang tampan itu. Aku lebih tertarik sama anaknya dibanding bapaknya." Memang benar, Fatin tertarik sama Nevan anaknya Driffin yang sangat lucu dan super gemes. Sedangkan dengan Griffin dia bawaaannya mau meledak saja.
"Kamu masih hutang penjelasan dengan kita kenapa dia mengejarmu, dan siapa dia?" tanya Dinda.
"Kau tahu, dia adalah cowok nyebelin yang aku ceritakan. Dia yang nyiram aku waktu hujan, karena tidak hati-hati melewati comberan." Dinda mngerutkan keningnya.
"Lalu, apa hubungannya dengan anaknya? Mengapa kamu bisa kenal dengan sang anak?" tanya Dinda kemudian.
"Iya, tu. Pasti ada apa-apa." Rasya yang baru saja datang menimpali. Dia meletakkan keranjang bunga di pojokan. Lelaki itu kemudian bergabung dnegan mereka. Meskipun laki-laki,Rasya sangat terampil dalam merangkai bunga. Akan tetapi dia hanya bisa merangkai bunga sama seperti model yang sudah jadi. Tidak seperti Fatin yang dapat mencari dan membuat ide baru dari sebuah rangkaian bunga.
"Huff, kalian curiga melulu kerjaannya. Jadi kemarin pas aku mengantarkan bunga ke kantornya, ingat 'kan? Tiga hari lalu?" Mereka berdua mengingat-ingat. Dan mereka mengingat bahwa waktu itu Fatin tidak kembali.
"Itu, aku pingsan di lift. Karena cari tangga tidak ketemu. Itu dia bawa ke rumah. Anaknya yang kecil, menganggapku mamanya. Aneh 'kan?" Fatin menyelesaikan ceritanya.
"Kok bisa?" tanya Dinda sambil meletakkan rangkaian bunga yang sudah jadi di sudut ruangan itu.
"Nggak tahu, tiba-tiba dia mengundangku mama. Makanya, dia mengejar aku kemari. Demi anaknya, bukan karena dia suka sama aku." Fatin memutar bola matanya. Fatin dengan cepat menyelesaikan pekerjaannya. Dia sudah janji akan pergi ke rumah Griffin. Maka dari itu wanita itu akan menyelesaikan pekerjaannya lebih dini agar dia tidak kemalaman saat pulang.
Fatin sudah menyelesaikan seluruh pekerjaannya. Ini adalah bunga terakhir yang dia rangkai. Sedangkan yang mengantar adalah sahabtanya Rasya atau Dinda. Dia meminta ijin untuk pulang lebih dulu.
"Gue pamit dulu, ya? Kalian yang akur di sini." Fatin menepuk pundak Dinda. Sebagai sahabat, dia tahu bahwa Dinda menyukai Rasya. Hanya Rasya sendiri sebagai laki-laki tidak peka terhadap bahasa tubuh Dinda.
"Kakek, saya ijin pulang lebih dulu,ya? Si rese Griffin pasti akan mengomel jika saya terlambat." Fatin tersenyum dan meminta ijin sama kekek Bagyo.
"Iya, sepertinya sudah ada orang yang menjemputmu. Tadi Griffin sudah menghubungimu tapi tidak dijawab katanya. Jadi dia menghubungi kakek." Fatin mengerutkan keningnya. Dia menepuk jidadnya sendiri, karena gawainya lupa diletakkan di locker sehingga tidak mendengar panggilan.
Mendengar bahwa Griffin menghubunginya, dia mengecek apakah Griffin benar dan tidak membohongi kakek Bagyo. Dia membuka tas kecilnya, kemudian membuka kunci gawainya. Layarnya terlihat wallpaper dirinya sedang merangkai bunga. Dia membuka kunci dengan menggeser dan membentuk sebuah pola.
Dia membuka aplikasi warna hijau. Terlihat beberapa kali dia menelpon dan juga seluler biasa terlihat panggilan tak terjawab. Setelah itu, dia buka pesan,ternyata dia juga mengirim pesan. Dia tahu itu dia, walau nomer baru. Walpaper dari kontak tersebut dirinya dan Nevan seorang anak laki-laki kecil yang sangat menggemaskan.
"Ya sudah, saya permisi ya, Kakek?" Fatin mencium tangan kakek Bagyo sebagai tanda penghormatan.
"Mari, nyonya." Seorang body guard membuka pintu mobil untuknya.
"Saya belum menikah, Tuan. Siapa namamu?" tanya Fatin.
"Nama saya Toni, Nona." Fatin mengangguk.
"Iya, Tuan Toni. Panggil saya Fatin. Saya masih muda. Kalau kamu panggil nyonya artinya kamu menghinaku tua. Saya belum tua." Fatin protes dengan panggilan dari lelaki itu. Akan tetapi lelaki itu seperti tidak menggubrisnya. Dia tetap saja diam dan memperhatikan jalanan saja.
"Tuan, apakah kalian selalu demikian? Diam dan diam? Kalian memang tidak asik. Diam seperti patung. Apa enaknya? Aku mau tanya, kenapa tidak di susul saja sih mamanya Nevan? 'kan aku jadi tidak kesusahan." Fatin seakan ngomong dengan tembok. Lelaki itu hanya diam dan memperhatikan jalan saja.
"Tuan, besok lagi saya tidak mau di jemput kamu. Biar saya naik ojek online saja. kamu menyebalkan soalnya. Ditanya diam mirip seperti patung pancoran." Fatin akhirnya diam dan di dalam mobil itu hanya sepi dan sepi. Deru mobil saja yang meraung-raung mengiringi perjalanan mereka. Kebetulan sore ini ramai lancar, karena para pekerja memang belum waktunya untuk pulang. Mereka sudah sampai di rumah megah milik Griffin.
Dua kali Fatin ke rumah ini, tapi dua kali pula dia masih terkagum-kagum dengan arsitekturnya. Semua serba unik dan klasik. Pintu yang besar dengan gagah terpajang di bagian depan. Sepertinya memang Griffin penyuka ornamen berbentuk hewan.
Dia masuk ke dalam rumah. Griffin sudah menunggunya di ruang kerjanya. Toni sang sopir dan pengawal membawa Fatin masuk ke ruang kerjanya.
"Duduk! Toni, terima kasih, kembali ke tempatmu." Suara baritonnya menyapa telinga Fatin. Hanya terlihat punggung kursi dan ujung kepala Griffin karena lelaki itu menghadap ke jendela.
Sungguh Fatin ingin meledak. Lelaki itu sok sekali. Dia bahkan sok berkuasa, mentang-mentang orang kaya. Dia bahkan mengatakan semuanya tanpa memandang ke arah lawan bicara. Dengan terpaksa Fatin duduk.
Lelaki itu membalik kursinya kemudian tersenyum ke arah Fatin. "Nona, apa kamu sudah makan?" Griffin tahu bahwa Fatin belum makan. Siang tadi ada dia dan dia ajak bicara. Sehingga dia tidak sempat makan. Fatin tidak mau makan dulu, walau kakek Bagyo dan juga teman-temannya sudah memaksa. Dia ingin cepat selesai.
"Saya kemari bukan minta makan,Tuan. Saya kemari untuk menepati janji saya pada putra anda Nevan," sarkas Fatin. Dia sebal dengan lelaki itu. Entahlah, setiap bertemu dengannya harus seperti ini. lelaki itu seperti menguji kesabarannya.
"Baik, sebelum ketemu Nevan dan menjadi pengasuhnya, silakan baca isi kontrak." Fatin menerima selembar kontrak yang ada di tangan Griffin dengan kasar. Dia rasanya ingin marah. Dia baca dengans eksama isi kontrak itu. Semua umum terjadi saat menjadi pengasuh. Kecuali terakhir yang membuat dia mengerutkan keningnya. Dia harus ikut kemanapun Nevan pergi saat liburan dan harus menurut dengan pihak ke I.
"Tunggu! Ini maksud kontrak yang sebelah sini apa? Aku kagak faham." Fatin menunjukkan poin terakhir yang dia tidak mengerti. Mengapa harus ikut selama liburan? Padahal perjanjian awal hanya menemaninya saat di rumah. Sungguh Fatin tidak setuju jika saat liburan harus ikut. Bukankah seharusnya tidak? Karena dia hanya berpura-pura menjadi ibunya saja.