"Apa yang terjadi, jika aku menolak?" tanya Diana.
"Nyawa kita adalah taruhannya."
"Eh, suami Helia cakep nggak, Paman?" tanya Diana, "kalau cakep aku mau. Kalau enggak cakep, ogah. Malu-maluin di ajak jalan."
"Apa yang kau pikirkan, Diana. Suaminya cekep tapi bajingan. Dia penjual narkoba dan pemilik rumah porstitusi, kamu tahu?" tukas Leonard.
"Hehehe, begitu ya? Ya sudah kalau begitu. Nggak jadi, Paman. Ngagk boleh sama papa. Aku mau masuk ke kamar lagi. Kalian jangan berantem, ya? Pusing dengarnya."
Pagi ini langit demikian cerah. Langit menunjukan senyum gairah menyapa setiap insan yang ingin memulai hari ini. Hari ini seorang wanita tengah mengayuh sepedanya menuju tempat bekerjanya. Dia kesiangan, sebab semalam lembur.
"Aduh, gimana ini? Kenapa aku bisa bangun telat, sih?" Wanita itu menggerutu.
Dia mengayuh sepedanya dengan sangat kencang. Fatin Pelangi demikian nama gadis itu. Dia adalah seorang gadis penjual bunga yang bekerja di toko bunga milik seorang kakek yang sudah sepuh. Kendati begitu, dia sangat menghormati kakek itu, selain itu kakek tersebut juga baik kepadanya. Makanya dia tidak enak kalau terlambat.
"Au ...." Tiba-tiba dia kaget karena ada mobil yang melintas dan dengan cepat melewati genangan air, sehingga dia basah kuyup karena tersiram oleh air comberan tersebut.
"Weh, kurang ajar." Dia mengayuh sepedanya sangat kencang agar dapat mengejar seseorang itu. Dia memotong jalan melewati sebuah jalan kecil.agar dapat menyusul mobil yang mengguyurnya. Dia menyetandarkan sepedanya di tengah jalan.
"Sukurin! Aku akan menghalangi jalanmu." Fatn Pelangi memiringkan senyumnya untuk menghentikan laju dari mobil tersebut.
Bip ... bip ... bip. Mobil tersebut mengklakson, akan tetapi dia tetap teguh pada pendiriannya untuk menghalangi jalan lelaki itu. Dia sangat marah sama lelaki itu, karena telah membuat dirinya basah kuyup.
"Nona, mohon untuk minggir sekejap. Kami mau lewat." Lelaki yang berpakian safari itu menjembulkan kepalanya untuk memberi tahukan bahwa dia akan lewat.
"Mau lewat ya?" Fatin mengambil keranjangnya untuk menyerok air comberan yang berbau amis dan berbau busuk. Dia menyiram mobil lelaki itu dengan comberan.
"Nona, apa yang kamu lakukan?" teriak sopir itu.
"Toni, kenapa berteriak?" Griffin tidak suka dengan teriakan Toni.
"Ampun,Tuan. Ada wanita yang sedang mengguyur mobil kita dengan air comberan." Toni membuka mobil kemudian keluar dari mobil itu. Demikian juga dengan Griffin. Dia memakai kaca mata hitamnya kemudian keluar.
Griffin terpana. Wanita itu mirip seperti istrinya, namun lebih cantik. Wajahnya ayu alami, dengan kulit yang sedikit coklat, sedang istrinya sangat putih. "Siapa sebenarnya dia?" Batin Griffin meronta-ronta.
"Sebenarnya, apa masalahmu, Nona? Kau tidak seharusnya melakukan itu. Kau wanita yang sangat cantik, tapi kelakuanmu sangat minus. Kau tahu, berapa harga mobil ini?" tanya Toni. Dia sangat marah, kerana takut dimarahi oleh bosnya tersebut. Tangan Griffin mengangkat itu berarti Toni harus diam.
"Apa yang kau lakukan, Nona?" tanya Griffin.
"Kau lihat? Kalian lihat bajuku? Bajuku penuh dengan lumpur, sedang kalian enak-enakan melenggang bebas. Kau tahu, aku terlambat kerja dan tidak bisa kerja kalau begini. Mobil kalian membuat bajuku basah," sarkas Fatin.
"Baik, Toni bawa cek kemari." Toni membawakan buku cek keluar, kemudian memberikan kepada lelaki klimis itu sekalian penanya. Lelaki itu menuliskan nominal sepuluh juta, kemudian menandatanganinya.
"Ini uang sepuluh juta untuk mengganti baju nona. Dan mohon beri kami jalan untuk melanjutkan perjalanan," ucap Driffin.
Melihat hal itu, Fatin sangat marah. Dia meminta kertas itu, kemudian menyobek-nyobek kertas cek itu dan melemparkannya ke wajah Griffin. Dia sangat muak melihat orang kaya macam Griffin. Dia berbalik badan, kemudian mendekati sepedanya dan membawa sepedanya menyingkir dari jalan itu. Dia menoleh lagi ke belakang sebelum akhirnya menaiki sepeda dan mengayuhnya.
Griffin hanya terpaku. Dia terpesona dengan gaya dan lagak dari wanita itu yang memiliki harga diri. Hatinya begitu sangat terpaut pada wanita itu. Dia mirip sama istrinya, tetapi berbeda perangainya. Jika Helia yang mendapatkan uang sepuluh juta, langsung saja di embat. Tapi, dia malah menyobeknya. Wanita itu sudah hilang karena berbelok di sebuah gang.
"Tuan, tuan. Kita berangkat?" Toni membuka pintu mobil bagian belakang, untuk mempersilakan bosnya masuk. Mereka melaju menuju ke kantor. Namun, sebelumnya dia akan membeli bunga di toko bunga langganannya. Mamanya akan datang ke kantor hari ini. Mamanya akan ngambek jika tidak di belikan bunga.
"Bunga mawar. Tolong cepat rangkaikan yang paling bagus. Untuk mama saya." Fatin mengenali suara itu. Dia menoleh kepada orang yang mengajaknya bicara. Dia mengerutkan keningnya, melihat bahwa telinganya ternyata tidak salah tangkap ini orang yang baru saja berdebat dengannya.
"Hufff, dari sekian luasnya dunia. Mengapa harus bertemu denganmu lelaki yang tidak tahu diri dan sangat menyebalkan?" sarkas Fatin.
"Oh, kamu bekerja di sini, Nona?" Griffin malah tersenyum menerima kekesalan dari Fatin. Entah mengapa, rasanya begitu suka menerima keacuhan dari wanita itu.
"Ada apa ini?" tanya kakek Bagyo sang pemilik floris itu.
"Tuan Bagyo." Griffin memeluk kakek Bagyo. Kakek pemilik floris itu adalah sahabat dari kakeknya Griffin maka dari itu dia mengenalnya. Sedangkan Fatin masih merasa dongkol pada lelaki itu.
"Ah, Fatin kamu layani nak Griffin ini, ya? Dia cucu sahabatku. Kau layani dia dengan sebaik-baiknya." Kakek Bagyo meminta Fatin untuk melayaninya, karena memang wanita itu yang memiliki rangkaian bunga sempurna.
Di tengah kedongkolan Fatin, Griffin mengedipkan mata. Dia merasa sangat bahagia karena wanita itu mau melayaninya walau terpaksa. Dia sedikit kasar. Membersihkan daun dan duri dari tangkainya. Bibirnya manyun, membuat Griffin rasanya tidak tahan ingin menciumnya.
"Tersenyumlah sedikit, Nona. Jika tidak mau aku cium." Fatin membelalakan matanya, karena hal itu. Dia sangat marah sekarang. Rasanya ingin menelan mentah-mentah lelaki itu.
Lelaki itu berjalan menuju ke ruang pak Bagyo. Dia mengedipkan matanya lagi, membuat Fatin tambah dongkol mengetahuinya. Betapa gedegnya wanita itu menerima perlakukan yang tidak menyenangkan dari seorang lelaki. Rasanya kemarahanya sudah di ubun-ubun.
"Ada apa, Cu?" tanya kek Bagyo.
"Hmmm, Kek. Gadis itu siapa namanya?" tanya Griffin.
"Namanya Fatin. Dia paling pandai merangkai bunga dan tidak jarang merangkaikan untuk para pejabat. Kenapa? Kamu naksir? Tidak boleh, ya? Kalau kamu masih prjaka atau seorang duda tidak apa-apa. Tapi, kamu 'kan sudah beristri." Kakek Bagyo menyeruput kopi hitamnya yang masih mengepul.
"Bukan, saya hanya meminta dia yang mengantarkan bunga untuk mama. Ke kantor saja ya, Kek. Aku tunggu sampai jam sembilan." Kakek Bagyo mengangguk. Tapi, kakek Bagyo orang yang sudah berumur. Dia tahu, jika ada rasa yang terpercik dari hati Griffin untuk pegawainya yang sudah dianggap sebagai cucunya tersebut.
"Saya pamit, Kek. Katakan padaku, jika dia tidak punya pacar." Griffin pamit dengan tawa yang melebar karena lemparan kalimatnya itu. Kakek Bagyo hanya menggeleng saja. Anak muda selalu saja ingin menggenggam dunia. Dia kadang sampai lupa dengan statusnya.
Griffin berjalan lagi melewati di mana Fatin sedang merangkai bunga untuknya. Dia sedang konsentrasi sekarang. Dia tidak tahu jika di perhatikan oleh Griffin. Cukup lama, lelaki itu memperhatikan sang wanita. Dia akhirnya tersenyum dan pergi dari toko floris itu. Dia memakai kacamatanya untuk menghindari matanya terpapar sinar mentari.