Griffin tersenyum jahat. Dia akan tetap membawa Fatin pulang bagaimanapun caranya. Dia memiliki kekauasaan tentu saja, dia akan menggunakan kekuasaannya tersebut untuk menyeret Fatin ke rumahnya.
Tidak berapa lama, Griffin tersenyum melihat siapa yang datang. Dia bahkan membukakan pintu sendiri untuk kedatangan tamunya itu.
"Kau kembali lagi, Nona? Apa kau menyesal meninggalkan tipsmu di sini? Atau sengaja akan bertemu lagi sama saya?" Griffin dengan percaya diri menganggap bahwa wanita muda berumur dua puluh lima tahunan itu terpsona dengan ketampanannya. Sedangkan Alicia memutar bola matanya karena merasa bahwa wanita itu juga mata duitan.
"Anu, Tuan. Saya mau tanya tangganya di sebelah mana? Saya takut naik lift." Griffin dan juga Alicia saling menatap. Griffin akan tertawa tapi ditahan dalam tenggorokannya saja. Dia tidak percaya yang dikatakan oleh Fatin.
"Jangan membuat alasan yang tidak masuk akal, Nona. Saya tahu, saya begitu tampan. Mana mungkin kamu tidak bisa naik lift?" Tawa Griffin akhirnya pecah. Demikian juga dengan Alicia. Fatin sedikit dongkol. Dia berjalan keluar tidak jadi meminta tolong. Dia kembali ke dalam lift kemudian mengingat-ngingat kembali bagaimana wanita yang tadi mengantarnya ke ruangan itu melakukannya. Dia memencet tombol itu, setelah itu pintu itu terbuka Fatin memasuki lift itu.
Lift mulai bergerak dan dia mulai mengeluarkan keringat dingin. Lama kelamaan wanita itu kehilangan kesadaran dan terkulai lemas. Dia pingsan dalam lift itu. Karena sedang beraktifitas di dalam ruangannya masing-masing, maka lift tidak ada yang menaiki. Fatin masih terus berada di lift itu. Satu jam kemudian Bagyo menelpon ke gawai milik Griffin.
"Kakek, terima kasih. Bunganya sudah saya terima. Dan seperti permintaan saya, Fatin yang mengantarkan." Griffin menjawab telepon dari kakek Bagyo.
"Iya, sama-sama. Tapi, Cu, Fatin belum sampai di rumah. Apakah dia masih ada di situ?" tanya Kakek Bagyo. Kakek Bagyo mencarinya karena telepon Fatin tidak aktif.
"Belum pulang? Ma, dia belum sampai berarti dia betul-betul tidak bisa naik lift," cecar Griffin. Perkataannya masih bisa didengar oleh kakek Bagyo.
"Apa? Fatin tidak bisa naik lift. Dia ketakutan pada ruang sempit." Mendengar hal itu, maka Griffin langsung berlari ke arah Lift. Dia membuka lift satu, nihil tidak ada. Dia membuka lift yang khusus dibuat untuk eksekutif. Ternyata dia sudah terkulai lemah. Kemudian, dia mengangkat tubuh wanita itu. Lelaki itu sekalian membawanya pulang saja. dia sangat khawatir terhadap wanita itu. Bagaimana dia bisa tidak percaya dengan wanita itu? Padahal dia sudah meminta tolong. Akan tetapi dirinya malah mentertawakannya.
"Bukakan pintu!" Griffin menyuruh sang sopir untuk membukakan pintu mobil. Sang sopir melakukannya dan menutup kembali pintu mobil, sedangkan sang sopir beranjak membuka pintu depan akan mengemudi. Griffin terlihat sangat gugup dan takut. Untuk pertama kalinya dia merasa takut kehilangan seseorang. Griffin memangku kepala Fatin. Dia mengelus puncak kepalanya.
"Aku tidak membayarmu untuk bermain-main, aku sedang mengendarai mobil, bukan kura-kura!" Sarkasme Griffin di mengerti oleh sang sopir. Dia menambah kecepatan untuk dapat sampai di rumah majikannya lebih cepat. Tidak butuh waktu lama, mereka sudah bisa sampai di rumah. Sang sopir kemudian membukakan pintu belakang.
Griffin mengangkat tubuh itu setelah sang sopir membukakan pintu. Bagi Griffin tubuh Fatin yang mungil dan ramping sangat ringan. Dia kemudian meminta pelayannya untuk membukakan pintu. "Bi, ambilkan aku air hangat. Sepertinya wanita ini harus di kompres. Panggilkan dokter juga!" Sang pembantu bersiap untuk melakukan yang diinginkan majikannya tersebut. Setelah beberapa lama, pembantu wanita itu membawakan baskom diisi air hangat. Griffin dengan telaten mengompres wanita itu.
"Ini Tuan Griffin? Dia tidak pernah melakukannya selama ini. Angin apa yang membawanya berubah? Biasanya dipegang nyonya saja dia sudah marah-marah." Bi Minah membatin. Tapi dia bahagia melihat tuannya itu berubah menjadi baik. Jika tidak baik, biasanya nyonya Helia akan menumpahkan kekesalannya sama anaknya atau sama para pembantunya.
Tidak berapa lama, Nathan sahabatnya datang. Dia masih mengenakan seragam putih, khas rumah sakit karena memang dia sedang bertugas hari ini. Dia membawa box tempat peralatan dokternya diletakkan. Lelaki tinggi berkulit kuning langsat itu keturunan Tionghoa. Mereka bersahabat sejak kecil. Orang tua mereka adalah rekan bisnis, makanya mereka jadi akrab.
"Ada apa?" tanya Nathan. Dia melihat seorang wanita yang berada di ranjangnya tersebut. Lelaki keturunan Tionghoa itu mengerutkan keningnya. Wanita itu mirip Helia istri Griffin tapi, apa dia sedang menyamar? Demikian hati Nathan berbicara.
"Kau menjilat ludahmu sendiri. Ini?" Griffin mengerti arti kata dari sahabatnya itu. Dia tahu, bahwa sahabatnya itu menyindirnya. Karena Griffin pernah mengatakannya tidak akan pernah menyentuhnya.
"Jangan salah paham. Dia bukan Helia. Dia adalah fatin seorang gadis penjual bunga. Dia pingsan di dalam lift. Dia memang mirip dengan Helia." Fathan melihat ada yang lain dalam tatapan Griffin. Lelaki itu jatuh cinta kepada wanita yang disebutnya Fatin tersebut.
"Oke, sepertinya dia mengalami syock. Mungkin sia pernah trauma atau sejenisnya mengenai lifty, atau bahkan ketakutan yang berlebihan. Berakibat dia menjadi pingsan. Dia akan sadar sebentar lagi." Nathan mengatakannya, karena detak jantung dan juga pernafasannya stabil. Lelaki itu kemudian menata kembali peralatan dokternya.
"Fin, katakan padaku. Kau menginginkan wanita itu?" tanya Nathan. Griffin terdiam. Dia berjalan ke sudut ruangan untuk mengambil minuman bersoda. Setelah menemkan yang dia cari, kemudian lelaki itu melemarkannya ke arah Nathan. Lelaki itu menangkapnya.
Bunyi ces menandakan kaleng itu terbuka dan soda mengalami karbonasi di udara. Kedua lelaki itu meminumnya.
"Aku hanya memikirkan Nevan saja. Dia merengek dan juga meminta ibunya kembali. Sepertinya wanita itu sedikit akan dapat mengobati rindu Nevan kepada ibunya, juga ...." Kalimat Griffin tercekat oleh suara Nathan.
"Keinginanmu untuk dapat bersamanya. Gue sahabat lo dari orok, Fin. Gue kenal lo dan gue tahu lo. Kenapa tidak lo akui saja, bahwa lo memang tertarik dengan wanita itu. Lo tidak salah, Fin. Wanita itu memang berbeda dan sangat menarik. Wanita itu sepertinya memang berbeda dengan para wanita yang mendekatimu." Mendengar dukungan dari sahabatnya, Griffin sedikit berfikir untuk mengakuinya. Tapi tidak dia lakukan, karena tiba-tiba Bi Minah datang untuk membawakan minuman dan makanan dari dapur.
"Silakan, Tuan Nathan kopi susu campur creamer, sedangkan tuan Griffin hanya kopi pahit." Mereka mengucapkan terima kasih. Meskipun hanya seorang pembantu, Griffin dan teman-temannya bahkan lebih menghargainya. Wanita itu yang selalu ada untuk mereka dari pada ibu-ibu mereka yang selalu sibuk dengan arisan berliannya.
"Lo mau kembali ke rumah sakit atau pulang?" tanya Griffin. Lelaki itu mencoba mengalihkan perhatian Nathan agar tidak bertanya lagi mengenai perasaannya pada wanita yang dia bawa ke rumah hari ini. rasanya sangat malu jika diketahui oleh sahabatnya itu, bahwa dirinya mencintai seornag wanita. Karena baginya, mencintai adalah sebuah kelemahan.
"Gue mau ke rumah sakit lagi. Piket gue." Nathan memberikan resep untuk wanita itu. Hanya beberapa vitamin untuk membuat tenaga wanita itu pulih. Nathan pamit untuk pergi. Setelah Nathan pergi, Griffin duduk di tepian ranjang tempat tidur Fatin. Dia memandang tubuh yang terbaring itu. Sungguh, dia belum menemukan apa yang membuat dirinya tiba-tiba menginginkan wanita itu.