"Aufhh ...." Mereka berdua kaget dan nyengir. Mereka takut terkena amukan dari tuannya tersebut. Tapi diluar dugaan. Griffin membuka matanya dan langsung keluar dari mobil. Mereka melongo melihat tingkah dari tuannya tersebut. Keduanya menganga dan saling menatap. Mereka saling menggelengkan kepala tertanda tidak tahu.
"Papa," Seorang anak laki-laki menubruk paha Griffin dan memeluknya.
Griffin yang garang di medan laga langsung meneduh. Lelaki itu kemudian menggendong putra kesayangannya.
"Papa, Nevan sudah bertemu dengan mama." Griffin mengernyitkan dahi. Dia masuk kedalam rumahnya dan menurunkan putra kesayangannya.
"Bi, Bi...." Griffin memanggil Bi Inah.
"Iya, Tuan. Ada yang Tuan butuhkan?" Griffin mengendurkan darinya. Dia melepas sepatunya dan meletakkannya di rak. Griffin sangat bersih dan prefeksionis. Semua harus sesuai dengan yang dia inginkan termasuk barang-barang di rumahnya.
"Fatin sudah siuman? Apakah Nevan sudah bertemu dengannya?" Nevan yang mendengar nama yang asing di telinganya tiba-tiba datang menghampiri papanya.
"Fatin? Siapa Fatin, Pa?" tanya Nevan. Graffin menepuk jidadnya. Dia lupa bahwa membawanya ke rumah ini suruh pura-pura menjadi ibunya Nevan.
"Oh, dia teman papa. Nevan sudah bertemu dengan mama? Mana mama?" tanya Graffin.
"Mama kerja, Pa. Tapi mama janji nanti sore mau pulang." Grafin yang tadi sudah sangat lelah tidak jadi istirahat. Dia marah kepada penjaganya Fatin. Dia sudah menyuruh untuk menjaga wanita itu, tapi mereka membiarkan wanita itu pergi.
"Kalian sudah bosan hidup? Dia sedang sakit! Kalian saya suruh menjaganya! Toni! Siapkan mobil!" Toni tanpa suara langsung keselek kopi yang baru di hirupnya. Dia langsung menuju ke mobilnya. Sedangkan Ronald tertawa terbahak-bahak melihat temannya itu tersedak karena panggilan dari bosnya.
Suara mobil sudah terdengar. Griffin sedikit berlari. Nevan merengak pingin ikut. Griffin tersenyum, dia mempunyai alasan untuk menyuruh Fatin pulang dan tinggal di rumah itu.
Mereka menuju ke Floris toko bunga milik kakek Bagyo. Cukup jauh dari rumah. Memerlukan waktu sekitar setengah jam. Nevan berlari setelah keluar dari mobil. Dia langsung mengedarkan pandangan begitu sampai di dalam toko itu. Griffin masuk ke dalam toko itu, didikuti oleh dua pengawalnya.
"Kalian tunggu di luar!" Griffin melangkah melihat anak laki-lakinya sudah meringsek mengitari bunga-bunga yang sudah disusun rapi.
"Uyut, di mana mama?" Kakek Bagyo terlihat mengerutkan keningnya. Dia tidak tahu maksud dari anak kecil itu. Graffin mendekati kakek Bagyo yang ada di belakang kubikel kasir.
"Maksud dia Fatin, Kek." Kakek Bagyo mengerti. Fatin memang mirip sama istrinya Graffin. Entahlah, ada hubungan apa, atau hanya sekedar mirip. Kemiripan mereka hampir sembilan puluh persen. Hanya yang berbeda adalah cara penampilan dan sikap.
"Oh, jagoan uyut mau ketemu mama? Kamu bisa mencarinya di belakang. Mama sedang merangkai bunga." Tanpa pikir panjang anak laki-laki tersebut berlari kemudian mencari mamanya. Sedangkan Grifin duduk di kusi minibar di depan.
"Kau membohongi anakmu?" tanya Kakek Bagyo. Lelaki paruh baya itu mengernyitkan keningnya.
"Tidak, Kek. Aku baru tiba dari Filipina. Kemarin karena pingsan, aku bawa dia ke rumah. Maka dari itu, mereka bertemu. Setelah dia ditangani dokter, aku terbang ke Filipina. Aku sama sekali tidak tahu interaksi antara mereka berdua." Griffin tidak bohong. Bahkan dia belum istirahat langsung pergi ke toko bunga itu.
"Kau akan berhadapan denganku dan kakekmu jika mengganggu Fatin. Dia bukan wanita jalang yang biasa kamu tiduri. Akan tetapi dia wanita baik-baik dan suci." Zgriffin mengagguk mengerti. Entah mengapa, bahkan dia saja sudah tidak tertarik mengurusi klub malamnya. Dia lebih tertarik minum di rumah sambil membayangkan wajah ayu wanita itu yang beberapahari ini mengisi pikirannya.
"Mama ...." Fatin kaget. Begitu juga dengan kedua temannya Dinda dan Rasya.
"Hai, Ganteng. Kau menyusul kemari? Sama siapa?" tanya Fatin.
"Sama papa." Fatin mengerutkan keningnya. Dia menebak, bahwa yang dimaksud pasti Griffin. Dia tahu dari beberapa foto yang terpajang di dinding. Dia juga kaget waktu melihat seseorang yang mirip dengannya terpampang di dinding itu. Selebihnya dia tidak tahu lagi siapa-siapa saja yang ada di rumah itu. Akan tetapi sangat sepi waktu dia ijin pergi.
Kedua temannya saling pandang. Mereka tidak tahu apapun. Mereka bingung, dalam sekejap Fatin bisa memiliki status sebagai mama bahkan oleh anak berumur sekitar empat tahun.
"Fat, lo harus jelasin ini semua." Fatin menoleh ke arah kedua temannya dan memeluk anak lelaki yang sudah bergelayut manja di pelukannya.
"Gue akan ceritakan nanti. Kalian simpan dulu penasarannya." Sedang Nevan dan Fatin bercanda di ruangan itu, Griffin datang.
"Nevan, kita pulang, yuk?" ajak Griffin.
"Nggak mau. Mau ikut mama." Nevan bangkit kemudian memeluk erat Fatin. Fatin menajamkan matanya ke arah Griffin. Dia masih saja galak dengan lelaki itu. Lelaki itu juga berhutang cerita dan penjelasan, mengapa dia bisa berada di rumahnya.
"Nevan, Sayang. Sekarang ikut papa dulu, ya? Mama kerja dulu." Akan tetapi Nevan masih bergelayut manja.
"Mama tidak usah kerja. Papa sudah kaya, kenapa mama kerja. Nevan tidak mau di tinggal." Fatin menlan ludahnya dengan sangat payah. Dia merasa kasihan dengan anak laki-laki ini.kemana sebenarnya mamanya? Anak laki-laki itu sudah salah sangka. Dia bukan mamanya.
"Jika benar aku mamamu, memiliki suami sekaya papamu tentu aku tidak perlu kerja. Tapi sayangnya aku bukan mamamu, Nevan." Hati Fatin bergejolak. Dia mengatakan itu di dalam hatinya dengan sangat perih. Dia pribadi pernah merasakannya, dia tidak tahu bahkan siapa ayahnya. Dia hanya hidup dengan mamanya. Hatinya merasa sangat pilu. Dia bisa merasakan kesepian yang dirasakan oleh anak laki-laki itu.
"Nevan, Sayang. Kau menyayangi mama? Apa kau mau menolong mama?" tanya Fatin sehingga anak laki-laki itu melepaskan pelukannya.
"Tentu saja, Ma. Nevan akan melakukan apapun. Nevan sayang sama mama." Fatin tersenyum sangat manis. Griffin bahkan tidak berkedip melihat interaksi keduanya. Nevan tidak mudah akrab dengan siapa pun. Bahkan sebenarnya sama mamanya juga jarang berbicara. Karena Helia tidak pernah meresponnya kalau dia berbicara. Tapi dengan Fatin begitu menjadi penurut. Lama-lama Griffin bisa terkena diabetes karena melihat dan merasakan senyum dari Fatin.
"Baik, jika Nevan sayang sama mama, mama akan kerja, nanti sore mama pulang. Nevan pulang dulu sama papa." Nevan kemudian bangkit dan mencium kening Fatin dia juga mencium punggung tangan Fatin kemudian berlari ke arah papanya.
"Nevan jagoan papa keluar dulu dan temui uncle Toni di mobil. Papa mau bicara sama mama dulu." Nevan berbalik ke arah Fatin kemudian menunjukkan jempolnya dan so imut mengedipkan matanya satu. Sehingga yang ada di ruangan itu tertawa termasuk Fatin, kecuali Griffin.
"Fatin, bisa kita bicara?" tanya Griffin kepada Fatin.
Fatin beranjak kemudian menuju ke belakang tanpa berkata apapun, sehingga Griffin terbengong. Melihat Griffin yang tidak mengikutinya, maka Fatin berbalik kembali.
"Jadi tidak! Aku sedang bekerja, jadi jangan buang waktuku!" Griffin tergagap. Baru kali ini dia tergagap karena orang lain. Dia seorang pengusaha sukses dibidang properti dan juga seorang mafia senjata. Tapi di depan wanita itu, dia bahkan takluk dan tunduk.
"Silakan duduk!" Fatin mempersilakan lelaki itu untuk duduk kemudian mengambilkan minuman instan yang ada di kulkas belakang.
"Ada apa? Waktumu lima menit! Saya sedang sibuk!" Fatin duduk di depan dia. Griffin malah senyam-senyum sendiri tanpa bicara apapun.
"Baiklah, kalau tidak jadi saya permisi saja." Fatin beranjak, akan tetapi tangannya di raih oleh Griffin sehingga wanita itu terjatuh di pangkuannya. Griffin menggunakan kesempatan itu untuk memeluknya dan mencekalnya agar tidak pergi.
"Kurang ajar! Jangan macam-macam. Aku bisa mematahkan tulang lehermu!" ancam Greiffin.
"Maaf, Nona. Saya sudah melepaskan kamu. Kamu yang betah duduk di pangkuanku." Griffin menggoda wanita itu, sehingga wanita itu wajahnya memerah. Griffin sangat menikmati wajah malu dari Fatin. Baginya sangat bergitu menggoda dan memukau.
Fatin mengencangkan rahangnya. Rasanya beruang amerika macam dia sangat menyebalkan dan membuatnya salah tingkah. Wanita itu bangkit dan membetulkan pakaiannya.
"Jadi bicara tidak? Nanti sore saya tidak akan ke rumahmu, karena pekerjaan saya selesai sampai malam!" Fatin setengah membentak.
"Baiklah! Jadilah mamanya Nevan!" Hening ... Fatin masih mencoba mencerna perkataan Griffin. Setelah otaknya itu mampu menjabarkan arti kata Griffin, dia membelalakkan matanya. Gila! Artinya, dia mengingkan Fatin menjadi istrinya? Fatin membulatkan matanya.
"Pembicaraan macam apa ini! Kamu benar-benar bajingan, ya? Sudah bagus aku mau baikin anak kamu ngelunjak lagi." Fatin sudah marahnya tingkat Dewa Bujana, eh salah tinggat dewalah pokoknya. Darahnya sudah mendidih. Dia pikir, apaan? Menikah segampang itu? Dia tampan sih? Tapi Fatin tidak mengenalnya. Menikah itu sekali seumur hidup.
Baru juga beberapa hari bertemu. Itu pun selalu dalam suasana tidak tepat. Selalu membuat Fatin kesal. Apalagi menjadi istrinya? bisa-bisa mati berdiri. Tidak! Tidak! Fatin tidak bisa bicara lagi. Lelaki di depannya memang benar-benar sinting.
"Kamu lihat 'kan? Anakku menganggapmu mamanya. Jadi saya mohon dengan sangat. Kalau perlu saya berlutut tidak apa-apa. Atau syarat apapun akan aku lakukan." Busyet! Seorang Griffin pemimpin mafia? Berlutut di depan gadis penjual bunga? Fatin menjadi salah tingkah dengan ulah Griffin yang seperti itu.
Fatin terlihat kebingungan. Dia berusaha melepaskan diri, pada pelukan tangan Griffin di kakinya. "Tuan, tidak perlu seperti ini. tolong bangunlah!" Fatin mengangkat tubuh Griffin.
"Aku tidak mau bangun jika kamu tidak mengiyakan permintaanku." Fatin menjadi bingung. Dia sangat bingung. Dia merasa kasihan pada pria itu, terlebih dia juga sudah sayang dengan wanita itu. Maka dari itu, dia mau menilak tapi kasihan. Mau mengiyakan, bagaimana dengan hatinya.
"Saya pikirkan lagi, ya? Sepertinya akan saya coba. Tapi tuan, apakah anda yakin?" tanya Fatin dengan sangat hati-hati. Menikah itu sekali dalam seumur hidup.
"Bagaiman kalau mamanya yang asli datang?" tanya Fatin memastikan.
"Ya, malah bagus kalau dia mau pulang. Itu malah membuat tugasmu ringan." Fatin mengerutkan keningnya. Ini manusia benar-benar mempermainkan pernikahan.