Griffin akhirnya tersenyum dan pergi dari toko floris itu. Dia memakai kacamatanya untuk menghindari matanya terpapar sinar mentari. Dia mengulum senyum sambil berjalan keluar melewati pintu yang sudah di bukakan oleh anak buahnya.
Fatin memutar bola matanya. Rasanya sangat engap memikirkan orang yang tadi. Lelaki itu seakan membuntutinya. Dari sekian toko yang berjejer di tepian jalan itu, mengapa harus masuk ke toko tempat dia bekerja. Fatin kemudian merangkai bunganya dengan sangat cantik.
"Fatin," panggil Bagyo sang pemilik toko.
"Iya, Kek. Ada yang bisa saya bantu?" Tanya Fatin pada kakek Bagyo sambil berjalan mendekatinya yang berada di belakang mesin kasir.
"Kamu rangkai bunga pesanan dari Griffin tadi. Ini permintaannya." Kakek Bagyo memberikan sebuah kertas yang berisi pesanan dari Griffin. Dia mengiyakan saja permintaan kakek Bagyo. Selain memang permintaan dari Griffi, kakek Bagyo juga percaya, bahwa hanya Fatin yang bisa memberikan kepuasan pada pelanggan. Apalagi untuk mamanya Griffin yang super prefeksionis melebihi Griffin sendiri.
Fatin merangkainya dengan hati-hati. Enam belas bunga mawar berwarna putih dengan kombinasi dengan mawar berwarna merah muda melambangkan cinta kasih. Maka dia sudah selesai sekitar empat puluh menit. Dia kombinasikan dengan daun-daun yang menjari, membuat bunga itu tidak monoton.
"Kakek, saya sudah selesai. Bunganya mau diantar pukul berapa?" tanya Fatin. Kakek Bagyo tersenyum sambil membetulkan kaca matanya. Dia menunjukan nota yang ada di depan kasir. Tanpa bicara apapun, Fatin melenggang untuk mengantarkan beberapa bunga pesanan yang searah dengan pesanan milik Graffin.
Fatin mengayuh sepedanya dengan gembira. Sebelum sampai di kantor Graffin, dia mengantarkan bunga ke pelanggan lain, karena kantor Graffin berada paling jauh. Dia melihat waktu yang dia butuhkan tinggal sepuluh menit lagi. Dia mengayuh sepedanya dengan sangat kuat agar sampai ke kantor yang di tuju tepat waktu.
"Permisi, Pak. Ini pesanan atas nama bapak Griffin. Mohon untuk tanda tangani." Fatin memberikan kertas tersebut.
"Maaf, Nona. Mister Griffin menyuruh anda langsung ke atas untuk bertemu beliau." Fatin mengerutkan keningnya. Bunga itu sudah di bayar. Untuk apa dia menyuruh untuk bertemu? Lelaki itu pasti memiliki niat jahat. Tapi dia membatin tidak akan pernah takut pada apapun. Dia bisa bela diri kalau lelaki itu macam-macam.
Fatin mengangguk kemudian berjalan masuk melewati lobi. Di lobi, Fatin dicegat sama seorang perempuan yang duduk di belakang meja resepsionis.
"Maaf, Nona. Mau ke mana?" tanya wanita itu.
"Oh, iya. Kebetulan, saya mau titip bunga pesanan atas nama Griffin. Silakan tanda tangan di sini." Fatin membatin, dengan menitipkan bunga itu pada petugas resepsionis tersebut, maka dia tidak perlu lagi bertemu dengan lelaki arogant itu. Akan tetapi, pembicaraan Fatin dengan resepsionis itu terganggu oleh telepon. Wanita itu mengangguk dan mengiyakan orang yang ada di telepon tersebut.
"Nona Fatin, silakan anda sudah di tunggu oleh tuan Griffin. Resepsionuis itu kemudian keluar dari kubikelnya dan meninggalkan temannya untuk mengantar Fatin sampai ke ruangan Griffin. Fatin mengikuti wanita itu. Mereka sampai di lift, kemudian wanita itu terlihat memencet tombol lift. Fatin belum pernah naik lift. Dia tidak tahu bagaimana caranya menggunakan ruangan berjalan itu. Saat lift bergerak, bahkan dia ketakutan dan pucat pasi. Dia memegang tangan wanita resepsionis itu dengan sangat kencang.
"Kenapa, Nona?" tanya resepsionis itu.
"Aku takut, Nona. Aku takut benda ini tidak kuat membawa kita. Ini kali pertama aku naik lift. Aku selalu memilih tangga untuk naik, aku takut." Suara Fatin terdengar bergetar. Fatin lega, ketika bunyi cicitan terdengar dan pintu lift tersebut terbuka.
Mereka menuju ke ruangan paling besar. Ruangan itu sangat canggih dilengkapi dengan pengaman ganda. Hanya orang-orang tertentu yang bisa memasuki ruangan Griffin.
"Masuk!" Sebuah suara terdengar, sehingga Fatin yang baru pertama kali menengok dari mana arah suara itu.
"Silakan, Nona. Tuan saya permisi." Wanita itu pamit pergi.
Fatin diam di depan pintu. Dia membawa karangan bunga yang sudah dirangkai dengan indah itu di pelukannya. Mamanya Griffin yang bernama Alicia baru saja datang dari kamar mandi. Griffin hanya memandangi wanita itu saja. Dia terpesona dengan wajah ayu gadis itu. Meskipun berwajah mirip dengan sang istri, tapi dia berbeda. Dia lebih cantik dari Helia. Cantiknya sangat alami, tanpa adanya polesan sedikit pun.
"Helia? Dari mana saja kamu? Kamu sudah punya anak, jangan seperti lajang, pergi berhari-hari. Kamu kira, dengan berpakaian seperti itu aku bisa tertipu? Tidak! Kau tetap wanita menjijikkan!" Mamanya Griffin dengan sarkas membentak Fatin.
"Ma, dia bukan Helia. Fatin, terima kasih sudah mengantarkan bunga untuk mama saya." Griffin meminta bunga yang ada di tangannya. Fatin memberikan bunga tersebut, kemudian menunduk untuk menghormati sang pemesan. Griffin memberikan bunga tersebut kepada mamanya, Alicia merasa sangat senang dengan bunga itu. Sangat cantik dan juga rangkaiannya berbeda dari biasanya. Rangkaiannya sangat rapi dan terlihat elegan.
"Baik, Tuan. Saya permisi." Fatin pamit, akan tetapi dicegah oleh Griffin.
"Tunggu, Nona. Saya mempunyai sesuatu untuk kamu." Grifin berbalik kemudian membuka laci.sepertinya dia membuka sebuah dompet besar warna hitam. Terlihat jelas banyak kartu yang ada di dompet tersebut. Fatin tidak berani menoleh apalagi memandangi apa yang dilakukan oleh Griffin. Griffin mengambil beberapa lembar uang seratus ribuan.
"Untumu, karena sudah membawakan bunga itu tepat waktu. Dan ungkapan minta maaf saya, karena sudah mengotori bajumu." Griffin memberikan beberapa lembar uang tersebut, akan tetapi Fatin menolaknya. Uang itu terlalu berlebihan untuknya. Fatin boleh menerima tips akan tetapi tidak berlebihan seperti itu. Ibunya mengajarkan, untuk tidak menerima apapun, jika tidak berkeringat. Maksudnya, dia akan menerima upah, sesuai dengan hasil kerja kerasnya.
"Maaf, Tuan. Itu berlebihan. Saya tidak bisa menerimanya. Saya permisi. Mari Nyonya." Griffin terpaku. Dia masih memegang uang tersebut dia bahkan belum menarik tangannya, masih mengulur. Fatin sudah pergi dan keluar dari ruangan itu. Dia bisa kelauar, karena pintu itu belum di tutup.
"Griffin, kau terpesona? Kau ini, mengapa seleramu rendahan? Kemarin wamita jalang itu, sekarang dia yang hanya penjual bunga." Alicia menepuk pundak putranya.
"Ma, dia berbeda dari Helia. Mama lihat, bahkan dia tidak suka uangku. Aku akan mengejarnya."Griffin mencium uang yang tadi terkena tangan Fatin.seolah-olah dia sangat gila oleh wanita itu. Alicia menggeleng-gelengkan kepalanya. Rasanya putranya itu sudah kesambet hantu cinta. Sepertinya, putranya itu tengah jatuh cinta. Waktu dia membawa seorang Helia ke rumah, bukan berwajah seperti ini. Bahkan dia terlihat muram dan suram. Tapi hari ini, dia bisa mengagumi seorang wanita sampai segitunya.
"Eh, tapi boleh juga idemu. Kita sewa dia untuk mengasuh anakmu. Kau tahu, sudah sebelas pengasuh tidak betah. Dia meminta Helia yang menemaninya. Mama sudah pusing. Mama ini sudah tua, Griffin. Cari istri kok yang model begitu. Sama anaknya saja, tidak mengurusi." Lelaki itu tersenyum mendengar keinginan mamanya. Dia tinggal mencari cara untuk menjerat Fatin agar mau menjadi pengasuh dari putranya.
Griffin tersenyum jahat. Dia akan tetap membawa Fatin pulang bagaimanapun caranya. Dia memiliki kekauasaan tentu saja, dia akan menggunakan kekuasaannya tersebut untuk menyeret Fatin ke rumahnya.
Tidak berapa lama, Griffin tersenyum melihat siapa yang datang. Dia bahkan membukakan pintu sendiri untuk kedatangan tamunya itu.