Hari pertama selesai dengan baik dan pada hari pertama itu juga Ana menemukan sahabat yang sesuai karakternya yaitu Hana. Hari kedua cukup melelahkan meskipun hanya duduk saja itu membuat punggungnya menjadi sakit dan mati rasa. Hari ketiga masih sama duduk di ruangan siraman rohani mendengarkan pengertian tentang EQ dan IQ semua berjalan lancar kecuali ketika jam lima sore semuanya berubah menjadi neraka. Padahal Ana berniat untuk pergi ke pasar memberi perlengkapan untuk acara di luar gedung tapi tiba-tiba tempatnya berpijak berguncang hebat itu mengakhiri semua keinginan nya.
Ana berdiri kaku di tengah lapangan melihat pohon yang bergoyang dengan keras tempat dia berdiri berguncang dan seperti di ayun-ayun hingga membuatnya kehilangan keseimbangan dan terduduk di aspal yang mulai retak dan terbelah, beberapa kaca pada bangunan pecah dan runtuh. Ana terduduk di atas aspal menutup telinga dan matanya berharap teriakan dan suara gemuruh dari tempatnya terduduk itu menghilang tapi sia-sia. Jujur saja dia ketakutan karena tidak ada siapa pun yang dia kenal. Dia terpisah dari Hana karena tujuan mereka berbeda kini dia hanya terduduk di lapangan ketakutan. Meskipun bukan hanya dirinya di sana tapi dia masih merasa ketakutan karena tidak ada tempat untuk berpegangan. Hingga akhirnya ia merasakan seseorang merangkulnya dari belakang sambil memanggil namanya.
"Ana! Ana! Buka matamu ini aku! Arka seniormu! Cepat kita harus pergi dari sini!".
Melihat wajah Arka yang berdebu bahkan beberapa noda darah pada pakaiannya jantung Ana tersentak takut "Darah!".
Arka merangkul Ana dari belakang menggenggam tangan Ana erat-erat dan berkata "Tidak apa-apa itu bukan darah milikku tapi orang yang tadi aku tolong! Cepat kita harus pergi tempat ini sangat dekat dengan laut!".
"Apa!" Wajah Ana semakin pucat. Gempa kuat baru saja terjadi dan merobohkan beberapa bangunan. Dan sekarang disusul dengan lokasi yang dekat dengan laut yang bisa memicu Tsunami kapan saja. Sebenarnya kaki Ana sudah tidak sanggup lagi untuk bergerak tapi melihat tekat dimata Arka yang ingin menjaganya dan membawanya segera pergi dari tempat kacau tersebut membuatnya memiliki sedikit kekuatan "Kak Azira.."Bisik Ana.
"Dia baik-baik saja! Sekarang kita hanya perlu melewati keramaian ini saja!". Kata Arka sambil membuka pintu mobilnya "Masuklah! Aku akan mencari cara melewati mereka!". Ana mengangguk dalam situasi seperti ini memang harus patuh dan tidak banyak tingkah.
Arka mulai menyalakan mobilnya berharap bisa melewati jalan yang sesak dan macet, semua orang berhambur keluar mencari tempat perlindungan yang lebih tinggi dan jauh dari bangunan bertingkat dan pohon tinggi. Ana melihat kening Arka berkeringat noda darah di lengan baju putih yang tergulung entah kenapa membuat jantung Ana semakin berdetak tidak karuan.
Kenapa Arka terlihat sangat tampan di saat keadaan seperti ini.
Ana memukul kepalanya agar tetap tersadar dan jangan melamun.
"Ana? Kau kenapa? Apa kepalamu sakit jangan dipukul!". Arka menggapai dan menggenggam tangan Ana yang tadi memukul kepalanya, Ana terpaku tanpa sadar ia membalas genggaman tangan Arka. Tanpa sadar dia merasakan sesuatu yang lembut menggelitik dihatinya.
"Terima kasih banyak Arka!".
Arka tanpa sadar tersenyum dan menyentil kening Ana sambil berkata "Kau adalah junior yang sangat tidak sopan! Kenapa tidak memanggilku kakak seperti kau memanggil yang lainnya".
Ana tersenyum malu "Aku juga tidak tahu jika kau tidak suka aku akan memanggilmu kakak seperti yang lainnya!".
"Tidak! Aku suka! Panggil aku seperti yang kau suka!". Arka tersenyum lega melihat Ana ada di depan matanya tidak seperti saat kejadian dia berlari ke sana kemari mencari Ana sampai akhirnya ia melihat gadis itu terduduk diaspal di tengah lapangan ketakutan. Jujur saja dia juga tidak tahu kenapa saat kejadian orang pertama yang dipikirkannya adalah Ana.
"Baiklah!" Ana mengalihkan pandangannya keluar jendela mobil, jalan masih ramai dan macet bahkan beberapa motor sepertinya menabrak mobil Arka dari belakang namun cowok tampan itu tidak peduli. Mata Ana terpaku pada bangunan bimbel yang runtuh rata dengan tanah, beberapa anak-anak berdiri kaku sambil menatap bangunan tersebut. Dia merinding melihat semua itu "Sepertinya banyak yang tertimbun di bawah puing-puing itu!".
"Benar! Itu adalah salah satu gedung bimbel di sini! Apalagi pada jam ini waktu mereka untuk belajar mereka mungkin tidak sempat lagi untuk melarikan diri!".
Ana menarik nafas berat dia bersyukur karena masih hidup bahkan ditolong oleh seniornya di saat tidak ada satu pun yang dikenalnya. Rasanya dia ingin menangis.
Perjalanan yang seharusnya memakan waktu setengah jam menjadi hampir empat jam. Mereka akhirnya terlepas dari kemacetan mereka sampai di sebuah rumah yang sangat besar. Ana turun dari mobil matanya melihat sekeliling tempatnya berada di daerah bukit jauh dari laut dan sangat tenang.
"Ini...".
"Rumahku! Ayo masuk!".
Ana baru saja hendak melangkah masuk tapi sebuah pelukan erat menghentikannya, tanpa sadar Ana tersenyum pasrah sambil menatap Arka meminta pertolongan. Cowok itu hanya mengangkat bahu tidak peduli dan masuk ke dalam rumah meninggalkannya dipeluk erat oleh Azira hingga hampir menjadi remuk.
"Kak! Rasanya tulang-tulangku ada yang patah!".
"Apa!". Azira segera melepaskan pelukannya dan memeriksa seluruh tubuh Ana dari atas hingga ke bawah.
"Aku baik-baik saja, pelukan kakak yang membuat tulangku hampir remuk!".
Azira menghela nafas lega lalu menarik tangan Ana memasuki rumah Arka. "Ayo masuk! Sebaiknya kau ganti pakaianmu dan istirahat di dalam!".
"Tapi!".
"Tidak ada tapi-tapi. Pakaian Arka ada banyak!"
Ana memperhatikan pakaian Azira yang kebesaran "Pakaian kakak.."
Azira tertawa "Pakaian ini milik mama Arka! Hehehe".
"Aku juga bisa.."
"Tidak! Kau tidak bisa, hanya ini yang kecil! Kau sebaiknya meminjam pakaian Arka saja sebelum kita bisa kembali ke kontrakan!".
"Bibi pikir kalian tidak akan bisa kembali ke sana untuk dua atau tiga hari ke depan!". Ana melihat sosok wanita anggun yang berdiri di depan mereka cantik dan terlihat sangat lembut. Dia mengulurkan pakaian pada Ana "Ini pasti Ana! Dia lebih istimewa dari pada yang kau ceritakan!". Azira mengedipkan mata pada mama Arka sebagai tanggapan membuat Ana semakin bingung. "Sudah sebaiknya kau mandi dulu dan ganti bajunya!". Ana didorong masuk ke dalam sebuah kamar mandi.
Perhatian Azira beralih pada mama Arka dan bertanya "Jadi, bagaimana Bibi? Apa sesuai selera!".
Tanpa sadar bibir mama Arka tersenyum lebar dan mengangguk "Sangat menggemaskan dan bibi suka! Tinggal anak bodoh itu saja lagi harus bagaimana mendapatkannya!".
Azira tertawa lepas "Arka memang bodoh! Sudah jelas kalau dia menyukai Ana masih saja tidak sadar! Bibi, terima kasih sudah menerima kami di sini maaf karena merepotkan bibi lagi".
"Kau ini bicara apa! Sejak kecil kau sudah bibi anggap anak sendiri kau dan Arka besar di depan mata bibi jadi kenapa kau harus sungkan. Bibi sangat senang kau di sini dan membawa adik kecilmu itu".
Saat dua orang asyik mengobrol Arka keluar dari kamarnya, pakaiannya sudah berganti rambutnya juga basah habis mandi "Di mana Ana?". Azira menunjuk kamar mandi. Arka mengangguk dan duduk di kursi yang sama "Aku hampir tidak menemukannya tadi! Dia sangat ketakutan! Keadaan di luar sana sangat kacau!".
❄❄❄.
Berita gempa tersiar di setiap acara berita, yang mereka tayangkan di tv hanya bangunan yang roboh. Bahkan banyak korban yang tertimpa bangunan seperti bangunan bimbel yang dilihatnya pada hari kejadian. Karena gempa tersebut pula mereka diliburkan selama satu bulan. Pengenalan kampus belum genap satu minggu, proses pembagian kelas dan belajar pun belum di atur tapi mereka sudah diliburkan selama satu bulan demi keamanan.
Setelah jaringan telepon diperbaiki dia baru bisa menanyakan keadaan hana yang saat itu berada di Warnet untuk membuka portal kampus tapi kejadian itu hampir membuatnya menjadi salah satu korban. Bangunan warnet itu kini telah ambruk menimbun kartu mahasiswanya tapi bersyukur dirinya selamat.
Hampir satu bulan di rumah Ana hanya bersantai-santai membuatnya sedikit stres. Beruntung sesekali Hana dan Seniornya Kak Azira menelepon dan mengajaknya mengobrol banyak hal. Ana berharap satu bulan cepat berlalu dia juga ingin melihat keadaan kampusnya. Karena dia mendengar salah satu gedung yaitu gedung Ekonomi roboh. Sedangkan gedung fakultasnya masih cukup kuat bertahan hanya meninggalkan beberapa retak pada dinding dan lantai.
Ana berdiri di balkon lantai dua rumahnya menatap langit biru yang cerah berharap cuaca akan selalu baik seperti ini, berharap bencana yang menimpa baru-baru ini membuat mereka yang ditinggalkan tabah dan kembali bersemangat. Tanpa Ana sadari seseorang berdiri di belakang dan mendorongnya ke bawah. Ana tanpa persiapan hanya bisa pasrah dan jatuh dari lantai dua rumahnya dan mendarat di atas bebatuan tanpa suara sedikit pun Ana hanya meringis menahan sakit dari pergelangan tangan kanannya yang sakit dan mengeluarkan darah. Ana berusaha untuk bangun meskipun kepalanya pusing dan tangannya sakit tapi tubuhnya tidak sejalan dengan keinginannya. Ana pingsan. Sedangkan di tempat yang jauh Arka juga menatap langit yang cerah berharap waktu cepat berlalu.
"Bagaimana skripsimu? Apakah kau mengalami kesulitan?".
Arka menatap mamanya lalu menggeleng "Semua baik-baik saja, hanya saja aku tidak ingin cepat wisuda!".
"Kenapa begitu? Bukankah sebelumnya kau ingin cepat selesai dan melanjutkan kuliah lagi ke pascasarjana? Kenapa sekarang kau seperti enggan meninggalkan kampus? Apa sesuatu terjadi di sana?"
Arka menggeleng lemah dia senang bicara dengan mamanya selalu membuatnya nyaman tapi ada beberapa hal yang tidak bisa dia ceritakan karena semua itu belum pasti. Arka menatap mamanya lalu pamit kembali ke kamar.
Dikamar Arka terduduk di kursi dekat meja belajarnya, setiap dia berada di dekat Ana hatinya selalu merasakan kehangatan, melihat gadis itu tersenyum membuat matanya sulit untuk dialihkan. Sebenarnya apa yang terjadi pada dirinya. Kenapa dia selalu ingin melihat Ana.
❄❄❄